-->

Mahasiswa Perantauan: Di Antara Jarak, Ada JNE yang Menjaga Koneksi

Kartun ilustrasi anak membuka paket JNE
Ilustrasi by AI


Ada satu hal yang tidak pernah benarbenar diajarkan di bangku kuliah, tapi harus dipelajari sendiri oleh para perantau: bagaimana menjaga koneksi dengan rumah, meskipun jarak memisahkan.

Aku lahir dan besar di Jember, sebuah kota yang lekat dengan aroma tanah basah dan kehangatan keluarga. Tapi sejak kuliah di Malang, aku mulai mengenal arti rindu dalam wujud yang paling nyata. Rindu makanan rumah, rindu suara ibu di pagi hari, bahkan rindu akan halhal sederhana seperti aroma baju yang baru dijemur di halaman rumah. Di tengah semua itu, satu hal yang diamdiam menjadi penghubung antara dua kota itu adalah: JNE.

Ketika Rindu Datang dalam Bentuk Paket

Sebagai mahasiswa rantau, aku belajar untuk hidup mandiri memasak sendiri, mencuci sendiri, bahkan belajar menyembuhkan diri sendiri saat demam menyerang dan tak ada yang mengingatkan untuk minum obat. Tapi mandiri bukan berarti tak butuh bantuan. Justru di balik kemandirian itu, aku semakin peka terhadap makna perhatian kecil dari jauh. 

Dalam berbagai momen, aku sangat bergantung pada pengiriman barang dari rumah. Kadang hanya sebungkus makanan ringan kesukaan yang ibu tahu akan membuatku tersenyum, kadang buku pelajaran yang tertinggal di rak kamar, atau bahkan jaket dan sepatu boots yang baru sempat dikirimkan setelah ibu mendengar kabar hujan pertama turun di Malang.

Namun, ada satu pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan sebuah momen yang sederhana tapi begitu membekas: saat aku kehabisan tempat untuk menyimpan pakaian di kos, dan tanpa diminta, keluarga di rumah memutuskan untuk mengirimkan lemari. 

Ya, lemari kayu sungguhan. Bukan rak plastik lipat yang ringan dan mudah dirakit, tapi lemari besar, berat, dan penuh kenangan. Awalnya aku menganggap ide itu konyol. Aku membayangkan kerepotan pengiriman, biaya yang mahal, dan ruang kosku yang sempit. Tapi keesokan harinya, petugas JNE benar-benar datang. Ia berdiri di depan pintu kos dengan napas tersengal dan senyum ramah, membawa serta lemari itu membawa serta, tanpa ia tahu, pelukan dari rumah.

Saat itu, aku benar-benar terharu. Bukan karena harga lemarinya, bukan karena ukurannya yang besar, tapi karena aku merasa seperti ditolong oleh tangan-tangan tak terlihat: tangan ibu yang membungkus rindu dengan kardus, tangan ayah yang mungkin ikut membantu mengangkatnya ke mobil, dan tangan-tangan para petugas ekspedisi yang menjalankan tugas mereka tanpa tahu bahwa mereka sedang menjadi jembatan antara anak rantau dan kampung halaman. 

Hari itu, aku belajar bahwa bentuk kasih sayang tidak selalu berupa kata-kata. Kadang, ia hadir dalam bentuk lemari, dikirim melintasi ratusan kilometer, sampai ke sudut kecil tempatku bertumbuh jauh dari rumah.

Magang, Koneksi, dan Persahabatan dalam KardusKardus

Waktu berlalu. Kuliah hampir usai, dan masa-masa genting itu datang masa ketika teori harus diuji di dunia nyata. Kesempatan magang membawaku ke Pasuruan, sebuah kota kecil yang sebelumnya hanya kutahu lewat peta. Di sana, aku tidak sendiri. Ada delapan teman magang lainnya, datang dari penjuru Indonesia: Jakarta, Semarang, Lombok, hingga Maluku Utara. 

Kami membawa aksen yang berbeda, cerita masa kecil yang berbeda, bahkan sambal favorit pun berbeda. Tapi satu hal menyatukan kami sejak hari pertama: kebiasaan menggantungkan banyak harapan pada kardus-kardus dari rumah. Dan di balik itu, ada satu nama yang menjadi penghubung: JNE.

Hari-hari awal magang terasa asing dan kaku. Kami sibuk menyesuaikan diri dengan ritme kerja dan cuaca Pasuruan yang panasnya menusuk tulang. Tapi malam hari, saat kardus-kardus mulai berdatangan, suasana berubah. Seolah-olah rumah kami masing-masing datang menyapa. Ada yang menerima kiriman pakaian kerja yang tertinggal, ada yang bersorak gembira saat menerima bumbu dapur dan makanan khas dari ibu, dan ada juga yang membuka paket sambal buatan neneknya seperti sedang membuka harta karun. Kami mulai bertukar cerita, mencicipi makanan satu sama lain, dan tertawa ketika mencoba mengucapkan nama masakan khas yang sulit dilafalkan. Dari dalam kardus-kardus itu, tumbuhlah koneksi. Tak lagi antar pulau, tapi antar hati.

Saat magang selesai, perpisahan terasa berat. Pasuruan yang awalnya terasa asing kini telah menyimpan potongan kecil kehidupan kami. Ketika hari kepulangan tiba, kami kembali menaruh kepercayaan pada JNE bukan hanya untuk membawa pulang pakaian dan oleh-oleh, tapi juga kenangan. Foto-foto yang dicetak, cendera mata, hadiah kecil dari teman sekamar, bahkan tiket nonton pertama kami di kota itu semua masuk ke dalam kardus. Rasanya seperti membungkus satu fase hidup untuk dikirim pulang.

Pernah satu teman dari Jakarta panik karena kardusnya terlalu ringkih dan ia takut kenangan di dalamnya rusak di jalan. Petugas JNE datang memeriksa dengan sabar, menyarankan kardus tambahan, membungkus ulang dengan plastik pelindung, dan mengikatnya dengan tali ekstra. Bukan karena mereka diminta, tapi karena mereka peduli. 

Saat itu aku sadar, layanan yang baik bukan cuma soal kecepatan atau biaya. Ia adalah tentang empati tentang memahami bahwa isi paket bukan sekadar barang, tapi ada cerita, ada rasa, ada harapan di dalamnya.

Semangat JNE Dalam Melayani Tanpa Batas

Mungkin bagi sebagian orang, JNE hanyalah sebuah perusahaan ekspedisi sekadar layanan antar-kirim barang, bagian dari rutinitas logistik sehari-hari. Tapi bagiku, dan bagi begitu banyak perantau lain, JNE adalah lebih dari itu. Ia adalah jembatan antara rindu dan pertemuan, penjaga koneksi yang tetap hidup meski dipisahkan jarak, dan penolong setia saat kesepian menyerang di kamar kos yang sunyi. Wujudnya mungkin sederhana ketukan pintu dari kurir dengan senyum lelah tapi tulus, atau notifikasi digital yang mengatakan "paket telah diterima" namun maknanya begitu dalam.

Karena sejatinya, kehadiran mereka bukan cuma fisik. Setiap paket yang tiba membawa lebih dari sekadar barang. Ia membawa rasa diperhatikan, disayang, diingat. Dalam setiap langkah kurir yang melintasi hujan atau panas demi satu alamat yang mungkin tersembunyi di gang kecil, ada dedikasi yang tidak bisa dinilai dengan nominal. Mereka bekerja bukan hanya dengan tangan, tapi dengan hati. Dan di sanalah letak keistimewaannya: menyampaikan sesuatu yang tidak terlihat, tapi sangat terasa.

Pengalaman-pengalaman kecil itu membentuk satu kesadaran dalam diriku: inspirasi tidak selalu datang dari pidato motivasi, dari panggung megah, atau dari kata-kata besar. Kadang, ia datang dari seseorang yang dengan tenang membantu mengikatkan tali kardus agar tak robek di jalan. 

Dari kurir yang tetap tersenyum walau sudah menjelajahi puluhan alamat. Dari orang-orang yang memilih untuk bekerja dengan niat baik, meski tak pernah tahu isi sebenarnya dari paket yang mereka bawa.

JNE, lewat kesederhanaannya, telah menunjukkan bahwa pelayanan sejati adalah tentang kepedulian. Tentang memastikan bahwa setiap kiriman, sekecil apapun, tiba dalam keadaan utuh, karena tahu bahwa ada hati yang menanti di ujung sana. Bahwa dalam setiap kardus ada cerita, dalam setiap paket ada harapan, dan dalam setiap petugas yang berseragam biru itu, ada semangat yang berjalan tanpa pamrihtanpa batas.

Dan karena itulah, setiap kali aku menerima paket, aku tidak hanya menerima barang. Aku menerima rasa dari rumah, dari orang-orang yang peduli, dan dari mereka yang diam-diam telah menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupku.

#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas

0 Response to "Mahasiswa Perantauan: Di Antara Jarak, Ada JNE yang Menjaga Koneksi"

Posting Komentar

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed