-->

Terumbu Karang dan Kelangsungan Hidup Laut: Ekosistem Kritis yang Terancam Punah

Terumbu karang juga berperan penting dalam penelitian terkait dengan penyakit kanker dan peranannya dalam ekosistem. Dari segi geomorfologi,....
Penyelam di Sekitar Ekosistem Terumbu Karang| Source: Pinterest


Terumbu karang adalah ekosistem unik yang kaya akan keanekaragaman biota. Namun, ekosistem ini sangat rentan terhadap kerusakan. Terumbu karang tumbuh subur di perairan dangkal di daerah tropis laut dan berfungsi sebagai habitat penting bagi berbagai jenis makhluk laut. Selain berperan dalam potensi biologisnya yang tinggi, terumbu karang juga bertindak sebagai perlindungan alami terhadap gelombang pasang di wilayah pesisir. Sayangnya, saat ini terumbu karang menghadapi berbagai ancaman serius. Kerusakan ekosistem ini disebabkan oleh perubahan kualitas perairan, eksploitasi yang intensif, serta pemanasan global.

Ekosistem Perairan Laut Dangkap Paling Produktif

Terumbu karang adalah ekosistem produktif yang ada di perairan dangkal laut. Ekosistem ini memiliki keanekaragaman biota yang luar biasa. Terumbu karang dapat ditemukan di seluruh dunia, tetapi pertumbuhannya yang optimal terjadi di perairan tropis. Penemuan terumbu karang dilakukan oleh Adalbert von Chamisso dan Otto von Kotzebue pada tahun 1815-1819 selama pelayaran mereka di Laut Selatan dan Lautan India. 

Terumbu karang di perairan laut Indonesia, khususnya di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, termasuk dalam segitiga paparan terumbu karang, yang merupakan pusat keanekaragaman laut dengan dinamika geologi dan oceanografi yang kompleks. Terumbu karang terbentuk dari endapan kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang dan alga berkapur. Mereka terdiri dari koloni polip yang bersimbiosis dengan alga seperti Zooxanthellae. 

Terumbu karang berperan sebagai rumah bagi berbagai jenis makhluk laut dan menawarkan pemandangan yang indah. Terumbu karang juga berperan penting dalam penelitian terkait dengan penyakit kanker dan peranannya dalam ekosistem. Dari segi geomorfologi, terumbu karang dapat dibagi menjadi terumbu karang penghalang, terumbu karang tepi, dan atol, tergantung pada posisi geografis mereka. Terumbu karang penghalang berjarak lebih jauh dari pantai dan biasanya lebih padat. Terumbu karang tepi berada dekat pantai dan membatasi pulau atau daratan. 

Atol adalah pulau-pulau laut bundar yang terletak jauh dari daratan dan memiliki laguna di tengahnya. Terumbu karang adalah sistem ekologi yang unik dengan interaksi yang kompleks antara berbagai organisme dalam lingkungannya. Contohnya, endapan organik dan kotoran burung berkontribusi pada pembentukan lapisan tanah subur di atas terumbu karang. Angin dan burung juga membantu dalam penyebaran benih tumbuhan ke atol secara alami.

Melalui celah-celah di sekitar terumbu karang, terkadang perahu atau kapal kecil dapat masuk ke laguna untuk berlindung dari badai. Atol banyak ditemukan di Samudera Pasifik, termasuk di gugus Pulau Caroline, Marshall, Gilbert dan Tuamotu, serta di Samudera Hindia, Kepulauan Maladewa, dan Loccadive. Selain itu, banyak atol memiliki berbagai jenis tumbuhan tropis, seperti pohon kelapa, pakis, dan tanaman berbunga. Tanaman seperti talas, tebu, dan tanaman makanan lainnya juga tumbuh subur di sana. Burung-burung, termasuk burung laut, juga berkembang biak dengan baik di sana, begitu juga dengan kepiting dan tikus (Saputra, 2006). 

Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, terumbu karang membutuhkan beberapa persyaratan hidup, seperti yang dijelaskan secara singkat berikut ini (Saputra, 2006):

1. Cahaya matahari sangat penting bagi zooxanthellae yang hidup dalam simbiosis dengan jaringan endodermis polip batu untuk melakukan fotosintesis. Zooxanthellae adalah alga bersel tunggal yang hidup bersama dengan jenis karang batu hermatypic, dan sangat dibutuhkan oleh karang batu untuk membentuk karang kapur. Proses fotosintesis ini juga menghasilkan oksigen terlarut di dalam air laut. Endapan, selain dapat menghalangi cahaya matahari masuk ke dasar laut, juga dapat menutup mulut-mulut karang batu, sehingga dapat membunuh karang tersebut.

2. Suhu juga dapat mempengaruhi sebaran geografis karang batu. Karang batu dapat tumbuh dengan baik di perairan dengan suhu antara 25-30°C. Suhu ekstrem dapat mempengaruhi kehidupan karang batu, seperti produksi, metabolisme, dan pembentukan kerangka luar. Oleh karena itu, pemanasan global sangat berdampak negatif terhadap kehidupan karang

3. Meskipun karang batu toleran terhadap perubahan salinitas air laut, aliran air sungai tawar dapat menghambat pertumbuhannya di sekitar muara sungai.

4. Kejernihan air sangat penting bagi proses fotosintesis endosimbion zooxanthellaen di endodermis karang batu. Air keruh dapat menghalangi sinar matahari masuk ke dasar laut dan mengganggu pertumbuhan karang batu.

5. Arus laut sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup karang batu, terutama untuk memenuhi kebutuhan makanan dan oksigen di malam hari. Arus juga membantu membersihkan endapan yang menempel pada karang.

6. Substrat dasar yang keras dan bersih sangat penting untuk penempelan larva karang batu dan membentuk koloni baru. Laju pertumbuhan karang bervariasi menurut spesies, koloni, dan lingkungan. Karang yang bercabang atau berbentuk daun tumbuh lebih cepat daripada karang masif.

Fungsi dan Manfaat Ekosistem terumbu Karang

Salah satu ciri penting dari habitat terumbu karang adalah tingginya keragaman spesies ikan dan udang. Terumbu karang memiliki wilayah yang luas dan terdiri dari berbagai tipe habitat yang kompleks. Meskipun berbeda-beda, semuanya terhubung dalam sistem yang sama dan berfungsi secara harmonis dalam ekosistem. (Carter, 1997; Bruce, 1976)

Fungsi Ekologi

Terumbu karang memiliki peran penting dalam ekosistem laut. Salah satunya adalah sebagai penyedia zat hara yang dibutuhkan oleh biota perairan. Selain itu, terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain, dan asuhan bagi biota laut. Di dalam terumbu karang, terdapat berbagai jenis ikan karang, udang karang, algae, tripang, dan kerang mutiara. Menurut Nontji (1987) dan Patton (1976), lebih dari 300 jenis karang, 200 jenis ikan, serta berpuluh-puluh jenis moluska, crustacea, sponge, algae, lamun, dan biota lainnya dapat hidup di dalam ekosistem terumbu karang.

Namun, terumbu karang juga memiliki kompleksitas fungsional yang tinggi. Interaksi antara subsistem dan kondisi biologisnya sangat rumit. Oleh karena itu, masih banyak hal yang belum dipahami dengan baik tentang sistem terumbu karang ini. Selain itu, terumbu karang juga memiliki hubungan dengan komunitas mangrove dan padang lamun di sekitarnya. 

Misalnya, terumbu karang berfungsi sebagai pemecah ombak, sehingga ombak menjadi lebih lemah ketika mencapai tepi pantai. Hal ini memungkinkan mangrove dan rumput laut tumbuh dengan baik. Selain itu, erosi rangka karang yang disebabkan oleh badai atau binatang menghasilkan sedimen kapur yang memberikan nutrisi bagi komunitas mangrove dan padang lamun (Carter, 1997).

Fungsi Ekonomi

Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, ekosistem terumbu karang sangat penting bagi kelompok masyarakat di sekitarnya. Bahkan, produk-produk dari ekosistem ini banyak diekspor ke seluruh dunia. Bersama dengan ekosistem pesisir lainnya, terumbu karang menjadi penyedia makanan dan tempat berpijah bagi banyak jenis biota lain yang memiliki potensi besar. 

Keberadaan ekosistem terumbu karang yang produktif ini sangat mendukung industri perikanan dan kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang dapat berfungsi dengan baik, produksi perikanan akan stabil dan berkelanjutan. Hal ini akan memberikan keuntungan, baik secara sosial maupun ekonomi. 

Selain itu, kondisi terumbu karang yang memiliki keanekaragaman biota laut juga menjadi daya tarik tersendiri untuk mendukung kegiatan pariwisata, terutama pariwisata bahari. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan wisata bahari yang dipersiapkan dengan baik dapat memberikan dorongan bagi pertumbuhan sosial dan ekonomi masyarakatnya.

Terumbu karang di Indonesia sangat beragam jenisnya, di mana semua tipe terumbu karang di dunia terdapat di perairan laut Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terumbu karang ini menjadi daya tarik bagi pariwisata laut karena keindahannya. Nilai ekonomi wisata terumbu karang juga sangat tinggi, diperkirakan sekitar USS 3.000 di daerah potensi rendah sampai US$ 500.000 per km per tahun di daerah potensi tinggi (Cesar, 1997). Oleh karena itu, kerusakan terumbu karang akan menyebabkan kerugian ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Namun, perlu diingat bahwa eksploitasi terumbu karang juga dapat menimbulkan kerugian netto kepada masyarakat. Saat ini, keuntungan bersih yang diperoleh dari pengambilan karang batu diperkirakan sebesar USS 121.000 per km, namun kerugian yang ditimbulkan mencapai USS 93.600 (nilai perikanan), USS 2.900-481.900 (nilai pariwisata), dan USS 67.000 (kerusakan hutan mangrove) (Cesar, 1997). Selain itu, kerugian yang tidak dapat dihitung secara langsung adalah kehilangan pangan dan kehati akibat kerusakan terumbu karang.

Tak hanya itu, terumbu karang juga memiliki potensi sebagai sumber minyak. Meskipun tidak semua fosil terumbu karang mengandung minyak, hal ini sangat tergantung pada tingkat porositas dan permeabilitas yang dapat menentukan potensi untuk mengekstraksi cadangan minyak secara efektif (Chapman, 1977).

Fungsi Sosial

Di beberapa daerah di Indonesia, karang batu digunakan untuk berbagai keperluan seperti pembangunan jalan dan bangunan, bahan baku industri, dan perhiasan. Namun, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pembuatan kapur, karang batu seringkali ditambang secara intensif, seperti yang terjadi di pantai Bali yang mengancam keamanan pantai (Dahuri dkk., 1996). Selain itu, terumbu karang juga berfungsi sebagai penghalang gelombang yang mencegah erosi pantai dan melindungi kawasan pesisir serta infrastruktur. Manfaat yang diperoleh dari terlindunginya pantai diperkirakan mencapai US$ 25.000 hingga US$ 550.000 per km² terumbu karang, tergantung pada nilai prasarana yang ada di wilayah tersebut (Wirasantosa dan Hutomo, 1998).

Permasalahan Pengelolahan Ekosistem Terumbu Karang

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki pantai yang sangat panjang, sekitar 81.000 km. Diperkirakan sekitar 60 persen penduduk tinggal di daerah pesisir, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pertumbuhan manusia dan pembangunan di wilayah pesisir ini sangat cepat, sehingga perlu dikendalikan dengan baik. Jika tidak, kondisi kerusakan terumbu karang akan semakin parah. Selain itu, pemanasan global juga menyebabkan kerusakan terumbu karang karena pemutihan.

Hasil observasi oleh Puslitbang Oceanologi-LIPI pada tahun 1994 menunjukkan bahwa sebagian besar terumbu karang di Indonesia rusak parah. Hampir 43 persen terumbu karang sudah rusak berat atau bahkan berada di ambang kepunahan, sedangkan yang masih dalam kondisi baik hanya sekitar 6,5 persen. 

Di Kepulauan Seribu, kasus kerusakan terumbu karang dari tahun 1983-1994 menunjukkan persentase tutupan karang batu hidup berkisar antara 42-46 persen. Menurut Sukarno (1995), kelompok kerja konservasi terumbu karang yang bernaung di bawah IUCN telah mengidentifikasi 24 macam kegiatan manusia sebagai penyebab kerusakan terumbu karang saat ini.

Kegiatan yang merusak oleh manusia tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu penangkapan ikan, pencemaran, dan perdagangan. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk melindungi dan melestarikan terumbu-terumbu karang ini dengan menetapkannya sebagai kawasan dilindungi dengan status taman nasional laut. 

Tujuan utama dari pengelolaan taman nasional laut ini adalah untuk melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang, sambil tetap memperhatikan peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Namun, seringkali pembangunan taman-taman nasional ini mendapat penolakan dari masyarakat setempat jika tidak didasarkan pada perencanaan yang tepat dan berbasis kelestarian masyarakatnya. Oleh karena itu, penetapan kawasan konservasi terumbu karang ini harus juga disertai dengan konsultasi publik yang cukup.

Hal yang perlu diungkapkan secara jelas adalah apa keuntungan bagi masyarakat dengan adanya pembangunan taman nasional ini. Pada umumnya, jika masyarakat merasa diuntungkan, maka akan terbangun partisipasi masyarakat yang positif. Sesuai dengan mandat pembangunan taman nasional laut, yaitu melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang, meningkatkan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya, serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun devisa negara. Terumbu karang dengan keindahan ikan-ikan hiasnya merupakan daya tarik yang sangat menarik bagi wisatawan. Salah satu kegiatan yang sangat diminati oleh pengunjung adalah kegiatan menyelam. 

Untuk menjaga kelestarian taman-taman nasional laut, diperlukan sistem zonasi yang terdiri dari beberapa zona. Pertama, ada zona inti yang tidak boleh ada kegiatan manusia kecuali untuk perlindungan. Kedua, ada zona rimba yang dapat digunakan untuk perbaikan, pendidikan, dan penelitian. Ketiga, ada zona penggunaan intensif yang digunakan untuk kegiatan wisata dan dibangun berbagai fasilitas seperti perkantoran dan mess. Terakhir, ada daerah penyangga yang berfungsi untuk mencegah kerusakan pada kawasan taman laut.

Namun, seringkali masyarakat merasa terbatas dengan adanya zonasi ini. Mereka hanya diperbolehkan menangkap ikan di daerah penyangga. Sebelumnya, mereka bebas menangkap ikan di daerah tersebut, namun sekarang daerah tangkapannya telah diubah menjadi zona inti atau zona rimba. Oleh karena itu, diperlukan sistem kompensasi bagi masyarakat sekitarnya. 

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengalihkan kegiatan masyarakat menjadi pemandu wisata, menyewakan perahu, mengelola rumah map, pengelola hotel dan rumah makan, atau menjadi pengrajin. Dengan demikian, masyarakat dapat tetap beraktivitas dan mendapatkan penghasilan yang layak.

Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan koordinasi yang jelas antara pemerintah terkait, seperti pengelola taman nasional, pemerintah daerah kota, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat. Lemahnya koordinasi dapat berdampak fatal terhadap keberlangsungan pengelolaan taman nasional. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak terkait untuk bekerja sama dan saling berkoordinasi guna menjaga kelestarian taman nasional laut ini.

Pengelolaan taman-taman nasional laut sekarang menjadi tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan, setelah sebelumnya menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Sudah banyak kebijakan yang diberlakukan untuk melindungi terumbu karang. Namun, dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, ada tiga hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, aspek sosial budaya. Pengelolaan harus memperhatikan pemeliharaan ekosistem terumbu karang yang masih utuh, agar keindahan alam seperti kehidupan dan keindahan geografisnya dapat terlindungi. Selain itu, pengelolaan juga harus mempertimbangkan penggunaan tradisional yang telah ada.

Kedua, aspek ekonomi. Pengelolaan harus mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjadi sumber devisa negara. Kegiatan wisata bahari perlu ditingkatkan perannya, baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara.

Ketiga, aspek ekologi. Pengelolaan harus melindungi habitat bagi jenis langka atau jenis yang memiliki nilai ekonomis penting. Hal ini penting untuk menjaga keberlanjutan sumber daya hayati.

Pendekatan pariwisata yang berbasis ekologi atau yang lebih dikenal dengan sebutan ekowisata menawarkan tiga keuntungan utama yang saling terkait. Pertama, ekowisata dapat melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati terumbu karang sebagai objek dan daya tarik wisata. Kedua, ekowisata dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan wisata melalui peran mereka sebagai pengelola atau pendukung kegiatan ekowisata. Ketiga, ekowisata juga memberikan pendidikan lingkungan bagi masyarakat setempat maupun pengunjung dengan tujuan meningkatkan peran aktif dalam pelestarian ekosistem terumbu karang.

Terumbu karang dapat menjadi produk yang bernilai tinggi bagi wisatawan yang ingin menikmati alam secara mandiri. Oleh karena itu, kelompok wisatawan ini cenderung menghindari melakukan kegiatan dalam rombongan besar. Dalam ilmu ekowisata, terdapat perubahan pola kunjungan dari wisata massal menjadi wisata khusus. 

Ekowisata tidak hanya bertujuan untuk menikmati keindahan alam dan budaya lokal, tetapi juga untuk membangkitkan rasa cinta terhadap alam. Perbedaannya dengan wisata massal atau wisata tradisional adalah ekowisata memiliki perhatian terhadap aspek ekologi dan sosial, meskipun tetap berorientasi pada kepentingan ekonomi.

Apapun konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang atau ekosistem lainnya dan siapa pun pengelolanya, yang penting diperhatikan adalah jangan terjebak pada paradigma environmetalis dangkal. Artinya hanya berhubungan dengan pengendalian dan manajemen lingkungan demi kepentingan manusia, sehingga perlu penanaman paradigma ekologi dalam (deep ecology) (Deval. 1985) yang berakar pada persepsi realitas yang melampaui kerangka ilmiah hingga mencapai suatu kesadaran intuitif tentang kesatuan semua kehidupan. Pengertian ini sebagai modus kesadaran di mana individu merasa terkait dengan kosmos secara keseluruhan bukan hanya ekosistem terumbu karang. Maka menjadi jelaslah bahwa kesadaran ekologis itu juga menjadi benar-benar bersifat spiritual. Gagasan manusia individual yang terkait dengan kosmos terungkap dalam akar agama (Saputra, 2006).

Keuntungan yang dijanjikan oleh pembangunan ekoturisme akan menjadi mubazir dan gagal jika pengelola taman-taman nasional laut tidak mampu mengembangkan secara optimal partisipasi para pihak terkait. Bahkan sebaliknya masyarakat sekitar akan menjadi musuh utama bagi pembangunan taman nasional. Sesuai dengan tujuan ekoturisme bagi pembangunan berkelanjutan, pengelolaan taman-taman nasional laut ini harus terintegrasi dengan pembangunan wilayahnya dan pendekatan pem- bangunannya harus pula mengutamakan kepentingan sosial-ekonomi masya- rakatnya (Fennel, 2003). Jika pengelolaan taman-taman nasional berhasil, maka pemerintah bersama masyarakat dapat menunjukkan upaya positif bagi pengendalian DoC (The Drama of the Commons) seperti yang dibahas oleh Committee on the Human Dimension of Global Change (Dietz et al., 2002)..


Daftar Pustaka:

Carter, J.A. (1997). Guideline on Assessment, Protection, and Rehabilitation of Coastal Habitat in Eastern Indonesia. Technical Report.

Dietz, T., N. Dolsak, E. Ostrom, P.C. Stern. (2002). The Drama of the Commons (In: The Drama of the Common, Ostrom, E., T. Dietz, N Dolsak, P.C. Stern, S. Stonich, E.U: Weber eds: 3-36). National Academy Press, Washington, DC.

Dutton, I.M., R. Djohani, S. D. Sastrapradja, K. M. Dutton. (2009). Balancing Biodiversity Conservation and Development in Eastern Indonesia (In: Working With Nature: Against Poverty, Resosudarmo, B. P., F. Jotzo eds: 125-146). USEAS, Singapore.

Fennel, D.A. (2003). Ecotourism: An Introduction. Routledge, New York.

Goldman, B., F.H. Talbot. (1976). Aspects of the Ecology of Coral Reef Fishes (In: Biology and Geology of Coral Reefs. Jones O.A., R. Endean Eds: 125-151). Academic Press, New York.

Nontji, A. (1987). Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Saputra, A. (2006). Tipologi Ekosistem Terumbu Karang. Makalah Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.

0 Response to "Terumbu Karang dan Kelangsungan Hidup Laut: Ekosistem Kritis yang Terancam Punah"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed