Hubungan Kerusakan Konservasi Keanekaragaman Hayati Pada Perubahan Iklim
Hutan Gundul Sebagai Awal Kerusakan Konservasi Keanekaragaman Hayati| Source: Pinterest |
Negara-negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, terutama yang terletak di daerah tropis, seringkali merupakan negara berkembang dengan tingkat pendapatan per kapita yang rendah. Kehati dianggap sebagai barang milik umum (public good). Negara-negara berkembang ini menghadapi masalah utama, termasuk pertumbuhan populasi yang cepat dan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang telah meningkat pesat, sementara negara maju mengalami pertumbuhan yang lebih lambat. Hal ini menimbulkan tekanan besar pada keanekaragaman hayati. Perkiraan menunjukkan bahwa dalam 100 tahun ke depan, jumlah penduduk di negara-negara berkembang akan meningkat dua kali lipat, dari 4,0 miliar menjadi 8,7 miliar. Hal ini akan semakin rumit jika masalah emisi gas rumah kaca tidak teratasi.
Perubahan iklim juga memiliki dampak signifikan pada keanekaragaman hayati. Ozon di lapisan atas atmosfer memainkan peran penting dalam melindungi makhluk hidup di Bumi dari radiasi ultraviolet (UV) berbahaya. Depleksi ozon dan peningkatan radiasi UV-B dapat menyebabkan kulit terbakar, meningkatkan risiko kanker kulit, merusak hasil panen, dan berdampak buruk pada ekosistem air.
Indonesia, dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa, diakui sebagai prioritas utama dalam upaya konservasi global. Namun, beberapa tahun terakhir telah menyaksikan ancaman serius terhadap habitat hutan Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang cepat, pembangunan yang pesat, dan eksploitasi tanpa batas telah mempersempit ruang gerak bagi spesies fauna. Banyak spesies, termasuk gajah, badak, harimau, dan orangutan, menghadapi risiko kepunahan akibat hilangnya habitat dan perburuan yang intensif. Oleh karena itu, spesies-spesies ini dianggap sebagai "flagship species" dan menjadi fokus konservasi.
Penyebab Tekanan Terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati
WWF dan lainnya (2010) mengidentifikasi lima penyebab utama yang memberikan tekanan terhadap keanekaragaman hayati (kehati), yaitu:
1. Kehilangan, Kerusakan, dan Fragmentasi Habitat: Penggundulan hutan, perubahan penggunaan lahan, dan urbanisasi telah menyebabkan kehilangan, kerusakan, dan fragmentasi habitat alam. Ini mengancam keberlanjutan spesies dan ekosistem.
2. Eksploitasi Berlebihan Spesies Liar: Berburu, penangkapan ikan berlebihan, dan perdagangan satwa liar ilegal telah mengancam banyak spesies. Eksploitasi yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan populasi hingga risiko kepunahan.
3. Pencemaran: Pencemaran lingkungan termasuk pestisida dari pertanian dan perikanan, sampah perkotaan dan industri, limbah pertambangan, dan penggunaan pupuk pertanian. Pencemaran ini merusak lingkungan dan dapat membahayakan keanekaragaman hayati.
4. Perubahan Iklim Global: Perubahan iklim global dapat mempengaruhi kehati dengan cara yang beragam. Ini termasuk perubahan dalam distribusi spesies, meningkatkan laju kepunahan, perubahan waktu reproduksi, dan perubahan musim pertumbuhan tanaman. Spesies yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan iklim menjadi rentan.
5. Invasive Species (Spesies Invasif): Masuknya spesies asing yang tidak asli dari suatu daerah ke ekosistem lain dapat menyebabkan persaingan, pemangsaan, atau parasit terhadap spesies asli (native species), yang dapat mengganggu ekosistem alami.
Perubahan iklim global adalah ancaman serius bagi keanekaragaman hayati, dan diperlukan upaya bersama dunia untuk menghadapinya. Meskipun kehati dapat terpengaruh negatif oleh perubahan iklim, tindakan pengelolaan yang baik dapat membantu mengurangi dampak negatif tersebut.
Di Indonesia, meskipun memiliki kekayaan hayati yang luar biasa, terjadi kehilangan spesies pada tingkat yang mengkhawatirkan. Setiap minggu, satu spesies atau bahkan lebih diduga punah. Data tentang keadaan keanekaragaman hayati seringkali tidak lengkap atau kedaluwarsa, yang memperumit upaya pelestariannya. Masalah lain adalah perdagangan ilegal satwa liar, yang semakin meningkat menjadi ancaman serius terhadap kehati.
Misalnya, populasinya hanya tinggal 8.613 ekor, dan perkiraan menunjukkan bahwa sekitar 2.817 orangutan punah setiap tahun di Kalimantan. Laju kepunahan yang diakibatkan oleh perilaku manusia melebihi laju kepunahan alam secara signifikan.
Pentingnya pelestarian kehati dan tindakan yang mendukung keanekaragaman hayati sangat krusial untuk menjaga ekosistem bumi dan mendukung kelangsungan hidup spesies-spesies yang ada.
Penunjukan kawasan-kawasan konservasi in-situ, seperti kawasan hutan produksi terbatas (HPH) dan perkebunan kelapa sawit, telah membantu memperlambat kerusakan keanekaragaman hayati di Indonesia. Meskipun demikian, untuk menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati secara lebih efektif, diperlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan pelestarian keanekaragaman hayati ke dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Hal ini karena spesies-spesies keanekaragaman hayati sering tersebar dan bergerak di luar kawasan konservasi.
Perlu dicatat bahwa ekosistem laut juga terancam oleh aktivitas manusia. Eksploitasi berlebih, perusakan lingkungan fisik, pencemaran laut, introduksi spesies asing, dan perubahan iklim adalah beberapa penyebab utama kerusakan ekosistem laut. Masalah inti melibatkan terlalu banyak manusia yang mengkonsumsi sumber daya laut, kurangnya institusi yang mendukung pelestarian daripada merusak, kurangnya pengetahuan yang diperlukan, dan kurangnya pemahaman tentang pentingnya ekosistem laut.
Dasar Hukum Perlindungan Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Dasar hukum untuk perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia sebagian besar sudah ada, dan ini mencakup peraturan yang didasarkan pada perjanjian-perjanjian internasional. Beberapa peraturan tersebut mencakup:
1. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES): Konvensi tentang perdagangan spesies yang terancam, yang ditetapkan pada tahun 1978. Konvensi ini mengatur perdagangan internasional spesies yang terancam punah untuk melindungi mereka dari pemusnahan.
2. Konvensi RAMSAR: Konvensi tentang perlindungan kawasan rawa dan lahan basah, ditetapkan pada tahun 1991. Konvensi ini fokus pada perlindungan ekosistem rawa dan lahan basah di seluruh dunia.
3. Convention on Biological Diversity (CBD): Konvensi tentang keanekaragaman hayati, yang disahkan pada tahun 1994. CBD adalah perjanjian internasional yang menekankan pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya hayati secara berkelanjutan.
Kerjasama internasional berdasarkan perjanjian-perjanjian ini adalah langkah penting dalam implementasi pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia dan di seluruh dunia. Tetapi, yang masih menjadi tantangan adalah menerjemahkan kerangka hukum ini menjadi tindakan nyata di lapangan dan memperkuat kapasitas untuk melindungi dan mengelola sumber daya hayati dengan efektif.
Konservasi keanekaragaman hayati melibatkan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Pemanfaatan harus memastikan kelestarian serta memberikan manfaat sosial dan ekonomi. Bio-prospekting dan ekowisata adalah dua cara pemanfaatan yang menjanjikan, tetapi harus didukung oleh pengetahuan bioteknologi dan bioekologi, serta kebijakan konsisten.
Pengembangan ekowisata harus berfokus pada perbaikan sosial ekonomi masyarakat setempat. Kendala utama adalah jika penduduk setempat tidak mendapatkan manfaat dari kawasan konservasi, mereka mungkin akan merusaknya. Oleh karena itu, pengembangan ekowisata harus matang dan terintegrasi dengan pembangunan wilayah. Pengelolaan kawasan dan perilaku manusia harus dipertimbangkan secara hati-hati untuk menghindari dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan budaya.
Sebagai contoh positif, Rwanda telah berhasil membuka kawasan konservasi Varunga Volcanoes untuk ekowisata. Pengunjung dikenai biaya untuk melihat gorila, yang telah memberikan penghasilan signifikan. Hal ini memberikan insentif kepada masyarakat setempat untuk melindungi gorila dan habitatnya, karena mereka merasakan manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh. Sebagai hasilnya, mereka berkontribusi aktif dalam perlindungan gorila dan lingkungan mereka.
Daftar Pustaka:
WWF, GFN, ZSL. (2010). Living Planet Report 2010: Biodiversity, biocapacity, and development. WWF International, Gland, Switzerland.
0 Response to "Hubungan Kerusakan Konservasi Keanekaragaman Hayati Pada Perubahan Iklim"
Post a Comment