-->

Ruang Terbuka Hijau: Melestarikan Oase Kota Meningkatkan Kualitas Hidup

Ruang Terbuka Hijau (RTH) dikelola untuk melindungi habitat tertentu, menjaga lingkungan perkotaan, dan mendukung jaringan infrastruktur serta pertanian.
Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan| Source Pinterest: Angelica


Pertumbuhan perkotaan di negara berkembang terjadi dengan cepat, namun seringkali mengabaikan pentingnya ruang terbuka hijau (RTH) dan bahkan mengorbankannya. Akibatnya, RTH semakin sempit dan banyak kawasan perkotaan di Indonesia kehilangan sekitar 30 persen RTH. Pemerintah kota biasanya lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi daripada memperhatikan fungsi biologis, ekologis, dan perlindungan lingkungan, serta dampaknya pada iklim mikro dan fungsi perlindungan seperti pencegahan erosi dan banjir. Akibatnya, suhu meningkat, terjadi kerusakan lingkungan, dan seringkali terjadi banjir, erosi, dan tanah longsor.

Definisi Ruang Terbuka Hijau

Hingga saat ini, penggunaan lahan perkotaan masih belum sesuai dengan tujuan lingkungan hidup, yaitu menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Masalah utama di perkotaan adalah pencemaran, baik udara maupun air, terutama di sungai, rawa, dan pantai. Kemacetan lalu lintas yang semakin parah juga berkontribusi pada tingginya tingkat pencemaran udara di perkotaan. Selain itu, wilayah perkotaan sering mengalami pertumbuhan permukiman kumuh yang rentan terhadap bencana banjir dan tanah longsor, yang menjadi beban berat bagi pemerintah kota.

Sebagai tempat untuk interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat mempersatukan seluruh anggota masyarakat tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya mereka. Ruang terbuka ini juga memiliki potensi untuk membentuk karakter budaya masyarakat perkotaan. Tanpa akses yang mudah ke ruang publik, masyarakat dapat menjadi individualis, non-konformis, dan kurang kooperatif. Oleh karena itu, penting bahwa ruang terbuka ini bersifat netral, dapat diakses oleh semua orang, dan tidak dimiliki atau diklaim oleh pihak tertentu.

Ruang terbuka mencakup berbagai jenis, mulai dari ruang pribadi yang hanya dapat diakses oleh pemiliknya, hingga ruang publik yang dimiliki oleh pemerintah dan dapat diakses oleh masyarakat tanpa batasan waktu. Ruang terbuka juga berperan sebagai tempat interaksi, seperti taman, kebun binatang, atau kebun raya.

Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu jenis ruang terbuka umum, yang dimiliki oleh pemerintah dan dapat diakses oleh masyarakat tanpa batasan waktu tertentu. RTH dikelola untuk melindungi habitat tertentu, menjaga lingkungan perkotaan, dan mendukung jaringan infrastruktur serta pertanian. Selain itu, RTH juga berkontribusi pada kualitas udara, pelestarian air, dan perlindungan tanah. Di tengah kota, RTH juga berperan dalam meningkatkan estetika lingkungan perkotaan.

Meskipun belum ada penelitian khusus, luas ideal lahan RTH diperkirakan sekitar 30 persen dari luas wilayah kota. Namun, hampir semua kota besar di Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 10 persen RTH dari total luas wilayahnya. Banyak kota di seluruh dunia yang telah mengadopsi konsep kota hijau atau kota berkelanjutan, dengan tujuan membangun kota yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sebagai contoh, Rustam (2000) mengutip kasus Kota Curitiba di Brazil, di mana pengembangan tata ruang perkotaan memberikan prioritas pada ruang terbuka hijau (RTH). Melalui berbagai upaya, seperti pengembangan pusat perdagangan ke lima penjuru kota, peningkatan sistem transportasi, insentif pengembangan wilayah, pengelolaan sampah, dan RTH, kota ini berhasil meningkatkan rata-rata luas RTH per kapita dari 1 meter persegi menjadi 55 meter persegi dalam waktu 30 tahun. Hasilnya adalah kota yang lebih nyaman, produktif, dan pendapatan per kapita penduduknya meningkat dua kali lipat. Keberhasilan ini didasarkan pada prinsip desain ekologi, menciptakan masyarakat yang berkelanjutan, sehingga membuktikan bahwa pengembangan RTH tidak mengurangi produktivitas ekonomi, sebagaimana banyak yang selama ini dikhawatirkan.

RTH-Binaan adalah jenis RTH yang lebih luas, berbentuk area terbuka atau jalur, dan memiliki permukaan tanah yang sebagian besar dilapisi dengan material buatan manusia, dengan sedikit tumbuhan. RTH-Binaan digunakan sebagai fasilitas umum, area rekreasi, taman, hortikultura, taman di lingkungan perumahan, pemakaman umum, jalur hijau publik, jalur hijau pengamanan sungai, jalur pengamanan kabel tinggi, dan juga mencakup bangunan dan struktur pendukungnya.

Pertumbuhan atau Kehancuran Perkotaan?

Pertumbuhan manusia dan perkembangan budaya memerlukan fasilitas seperti pemukiman, tempat ibadah, kawasan rekreasi, perkantoran, pasar, dan jaringan transportasi. Sayangnya, dalam proses pembangunan ini, seringkali lupa atau mengabaikan pentingnya ruang terbuka hijau (RTH) dan jalur hijau. Akibatnya, kawasan perkotaan kehilangan RTH yang seharusnya ada. Banyak RTH dan daerah resapan air, termasuk rawa dan hutan mangrove, digunakan untuk kepentingan permukiman dan pembangunan lainnya. Hal ini adalah ciri perkembangan perkotaan yang berpotensi merusak lingkungan.

Jumlah penduduk di kota terus meningkat dengan cepat, menyebabkan kawasan perkotaan menjadi semakin padat. Hal ini mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang parah, pencemaran udara dan air, serta masalah sosial seperti peningkatan tingkat kejahatan. Pertumbuhan penduduk yang pesat di kota utamanya disebabkan oleh migrasi penduduk dari daerah sekitarnya. Kota-kota metropolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, dan Manila mengalami kepadatan penduduk yang luar biasa, yang menciptakan permukiman yang sangat padat. 

Misalnya, Jakarta harus melayani sembilan juta jiwa pada siang hari, dan Bangkok memiliki jumlah penduduk yang mungkin lebih dari sembilan juta jiwa. Akibatnya, kota-kota ini sering kali dilanda polusi udara yang serius, dengan polutan berasal dari berbagai sumber, termasuk gas buang kendaraan, industri, pembakaran lahan, dan aktivitas vulkanik.

Peningkatan jumlah penduduk perkotaan juga telah berdampak pada perilaku yang tidak ramah lingkungan, seperti pembuangan sampah sembarangan, vandalisme, pemborosan bahan bakar kendaraan bermotor, pemborosan air dan listrik, serta penggunaan kertas yang berlebihan. Semua ini telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan perkotaan. 

Sistem perencanaan dan manajemen perkotaan yang tidak mampu mengikuti pertumbuhan penduduk yang pesat juga berkontribusi pada berbagai masalah, termasuk transportasi yang tidak memadai, kurangnya pasar yang sesuai, dan ketidaktaatan terhadap tata kota. Dalam banyak kasus, pembangunan kota juga menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan dan mengganggu tatanan lingkungan hidup. Semua ini menciptakan tantangan serius dalam menjaga kualitas lingkungan perkotaan.

Pencemaran udara dan air telah menjadi masalah yang semakin mendominasi wilayah perkotaan dan mengembangkan isu-isu global yang semakin kompleks. Di banyak kota besar, termasuk Jakarta, kualitas udara dan air telah mencapai tingkat yang tidak sehat. 

Berdasarkan indeks standar pencemaran udara (ISPU) sejak tahun 2002, Jakarta tidak pernah mencapai kategori udara sehat. Kualitas udara yang sehat menjadi semakin langka, dan begitu juga dengan pasokan air bersih. Faktor-faktor seperti peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan kemacetan lalu lintas berkontribusi pada masalah pencemaran udara yang serius di Jakarta.

Sementara itu, kawasan terbuka hijau seperti hutan lindung, taman kota, dan jalur hijau semakin menyusut. Banyak dari RTH ini yang berubah fungsi menjadi mal, perumahan, atau perkantoran, dan konsep pembangunan RTH yang berfokus pada aspek lingkungan seringkali kalah oleh kepentingan ekonomi. Akibatnya, fungsi-fungsi ekologi dan lingkungan menjadi terganggu, dan kota-kota menjadi tidak berkelanjutan.

Dengan menyusutnya RTH, air hujan tidak dapat diserap dengan baik oleh tanah, yang mengakibatkan banjir, erosi, dan tanah longsor. Kemampuan RTH untuk menyerap polutan juga berkurang karena hilangnya kawasan bervegetasi. Keadaan ini dalam jangka panjang dapat mengakibatkan keruntuhan suatu kota, seperti yang terjadi pada peradaban Maya yang mengalami keruntuhan akibat kerusakan lingkungan yang berkelanjutan, termasuk deforestasi dan erosi. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan dan perubahan iklim dapat mengancam keberlanjutan kota.

Pertumbuhan wilayah perkotaan di negara berkembang telah berlangsung dengan cepat. Pada tahun 1950, sekitar 38,92 persen dari penduduk perkotaan dunia berada di negara berkembang. Pada tahun 1975, angka tersebut meningkat menjadi 51,07 persen, dan pada tahun 1990, hampir dua pertiga dari penduduk perkotaan dunia tinggal di negara berkembang. Diperkirakan bahwa pada akhir abad ke-20, sekitar 16 dari 20 kota terbesar di dunia berada di negara berkembang. Pertumbuhan ini seringkali diwarnai oleh kemiskinan. Jika masalah kemiskinan ini tidak diatasi, dapat mengakibatkan kerusakan SDA, pencemaran lingkungan, dan konflik sosial yang berkembang, menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perkotaan.

Daftar Pustaka:
Ismaun, I. (2008). Ruang Terbuka Hijau Kawasan Reklamasi Jakarta International Resort. Jurnal Arsitektur Lansekap, Vol. 2, No. 1, 1-10.
Rustam, H. (2000). Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta. Tesis Program SI, ITB, Bandung. Tidak Diterbitkan.
Soemarwoto, O. (1995). Kata Pengantar. Dalam Perubahan Iklim, disunting oleh J. Firor (hlm. vii-xiv). Penerbit PT Rosda Jayaputra, Jakarta.

0 Response to "Ruang Terbuka Hijau: Melestarikan Oase Kota Meningkatkan Kualitas Hidup"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed