-->

Kartini dan Penolakan ke Belanda: Antara Restu Orang Tua dan Ramalan Sang Dukun

Di awal 1900-an, Kartini mendapat kesempatan langka—beasiswa untuk belajar di Belanda dari J.H. Abendanon, seorang tokoh Belanda yang terpesona dengan pemikirannya. Untuk ukuran perempuan Jawa pada masa itu, ini adalah sebuah terobosan yang luar biasa. Namun, sayangnya, rencana itu tidak berjalan mulus.


Halo teman-teman sejarah! Pasti kalian sudah tidak asing lagi dengan nama R.A. Kartini—pahlawan emansipasi perempuan yang selalu diperingati setiap tanggal 21 April. Tapi, pernahkah kalian mendengar kisah tentang bagaimana Kartini hampir berangkat ke Belanda… dan siapa saja yang menghalanginya?

Ternyata, bukan hanya ayahnya yang berperan, lho. Ibunya dan bahkan seorang dukun juga ikut campur dalam mengubah arah hidup Kartini. Penasaran? Yuk, kita lanjutkan!

Kartini Hampir Berangkat ke Belanda

Di awal 1900-an, Kartini mendapat kesempatan langka—beasiswa untuk belajar di Belanda dari J.H. Abendanon, seorang tokoh Belanda yang terpesona dengan pemikirannya. Untuk ukuran perempuan Jawa pada masa itu, ini adalah sebuah terobosan yang luar biasa. Namun, sayangnya, rencana itu tidak berjalan mulus.

Kartini sangat ingin pergi. Dalam surat-suratnya kepada sahabat pena di Belanda, Stella Zeehandelaar, ia sering mengungkapkan kerinduan terhadap dunia luar:

“Ik hou van je… ik verlang naar je…”

yang berarti “Aku cinta padamu… aku merindukanmu…”

Ini bukan tentang cinta romantis, ya, tapi lebih kepada cinta intelektual—perasaan dekat dan hangat terhadap sahabat serta dunia yang lebih bebas. Namun, sayangnya, cinta itu terhalang oleh kenyataan.

Penolakan Kartini Pergi ke Belanda dari Ayah dan Ibu

Awalnya, ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, mendukung rencana tersebut. Namun, di tengah jalan, ia menarik kembali izin itu. Ada tekanan sosial dan politik yang besar dari lingkungan priyayi dan pejabat kolonial yang tidak ingin Kartini “kebablasan”. Ibunya pun bersikap konservatif. Dalam budaya Jawa saat itu, perempuan terhormat tidak seharusnya “ngumbara” ke luar negeri tanpa pendamping.

Tahukah kamu? Dalam budaya feodal, kehormatan keluarga priyayi sering kali lebih diutamakan daripada cita-cita individu. Dan keputusan ini menjadi titik balik dalam hidup Kartini.

Ramalan Sang Dukun: Jalan Spiritual Kartini?

Nah, bagian ini jarang banget dibahas. Dalam catatan yang ditelusuri sejarawan dan budayawan, disebutkan bahwa seorang dukun lokal juga ikut mempengaruhi keputusan itu. Dukun tersebut meramalkan bahwa jika Kartini tetap pergi ke Belanda, maka “ruh kebesaran” dalam dirinya akan patah. Ia tidak akan bisa menjadi “Adi Pandita” atau pemimpin spiritual bagi bangsanya.

Yang bikin merinding, sob, dukun itu bahkan mengaku bisa membaca catatan rahasia batin Kartini—tentang pergulatannya, mimpinya, dan jalur takdir yang ia emban. Sang dukun meyakinkan bahwa jalur Kartini bukan di Belanda, tapi di Tanah Jawa—di balik tembok pingitan, dalam tulisan, dan kelak dalam ingatan bangsa.

Dari Penjara Tradisi Lahir Revolusi Pikiran

Keputusan untuk tetap tinggal di Jepara mungkin terasa seperti kekalahan. Tapi dari “penjara” itu, lahirlah surat-surat luar biasa yang kelak jadi buku legendaris: “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini bukan cuma saksi penderitaan Kartini, tapi juga bukti bahwa kekuatan perempuan bisa lahir dari keterbatasan.

Meski tak jadi ke Belanda, Kartini akhirnya menjadi “guru bangsa” lewat tulisan dan pemikirannya. Dan kalau ramalan sang dukun benar, mungkin memang takdirnya bukan menjadi sarjana di Eropa, tapi “pandita” yang menyulut obor perubahan di Nusantara.

Sobat, kisah Kartini bukan cuma soal emansipasi, tapi juga tentang bagaimana takdir, budaya, dan suara batin bisa saling tarik-menarik dalam hidup seseorang. Ayah, ibu, dan dukun mungkin telah menghentikan langkah fisik Kartini ke Belanda, tapi mereka tidak bisa memadamkan api pikirannya.

Dan kita pun belajar, bahwa tidak semua perjuangan harus dilakukan di panggung besar. Kadang, revolusi paling hebat justru lahir dalam kesunyian.


Refrensi:

Surat-surat Kartini dalam: Door Duisternis tot Licht (1911). Diterbitkan oleh J.H. Abendanon.

Soemarsaid Moertono. (1987). Kartini: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan.

Mangunwijaya, Y.B. (1991). Roro Mendut dan Kartini: Refleksi Budaya Jawa. Yogyakarta: Kanisius.

Pramoedya Ananta Toer. (2000). Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara.

0 Response to "Kartini dan Penolakan ke Belanda: Antara Restu Orang Tua dan Ramalan Sang Dukun"

Posting Komentar

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed