Teknokrat, Reformasi Ekonomi, dan Bisnis ABRI: Menguatkan Basis Kekuasaan
"Kekuatan ekonomi bukan hanya terletak pada kekayaan, tetapi pada kendali dan pengaruh terhadap sumber daya yang ada. Kekuasaan bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi siapa yang menguasai ekonomi."
Pada periode antara 1965 hingga 1968, Indonesia mengalami perubahan besar yang tidak hanya menyentuh aspek politik, tetapi juga merambah ke bidang sosial dan ekonomi. Masa ini, yang dikenal sebagai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, menjadi titik balik penting dalam sejarah bangsa. Negara ini, yang sebelumnya dilanda gejolak politik pasca-G30S/PKI dan ketidakstabilan ekonomi yang memprihatinkan, mendapati dirinya di persimpangan jalan.
Perubahan signifikan dalam kekuasaan terjadi dengan cepat, terutama di kalangan militer dan teknokrat yang muncul sebagai kekuatan dominan. Salah satu hal yang paling mencolok dari transformasi ini adalah perubahan mendalam dalam kebijakan ekonomi, yang digerakkan oleh rezim Orde Baru untuk memperkuat posisi politik dan pengaruh mereka. Ini kemudian dikenal dengan istilah Bisnis ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sebuah kebijakan yang memberikan pengaruh besar bagi kelompok militer dalam dunia bisnis dan ekonomi.
Teknokrat dan Reformasi Ekonomi
Salah satu elemen kunci dalam proses transformasi ekonomi Indonesia pada masa itu adalah munculnya kelompok teknokrat. Mereka adalah para profesional dengan latar belakang pendidikan tinggi, terutama di bidang ekonomi dan manajerial, yang dipilih untuk merancang dan melaksanakan kebijakan ekonomi baru. Kehadiran mereka sangat penting, mengingat Indonesia saat itu menghadapi situasi yang sangat sulit. Inflasi yang tinggi, ketidakstabilan politik yang mendalam, serta ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri, menciptakan tantangan ekonomi yang hampir tak terpecahkan. Kelompok teknokrat ini, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Widjojo Nitisastro, Adam Malik, dan Ali Wardhana, mulai memainkan peran penting dalam pemerintahan baru.
Teknokrat yang dipilih oleh Soeharto untuk membantu merumuskan kebijakan ekonomi sangat berbeda dari para birokrat sebelumnya. Mereka memiliki latar belakang yang lebih teknis dan tidak terikat pada pola-pola politik yang ada di masa Orde Lama. Peran mereka sangat penting dalam merancang kebijakan yang berfokus pada efisiensi dan pengelolaan ekonomi yang lebih modern.
Dalam konteks ini, mereka mengusulkan serangkaian reformasi ekonomi yang menekankan stabilisasi makroekonomi. Salah satu langkah awal yang mereka ambil adalah mengendalikan inflasi yang tinggi, yang telah merusak daya beli masyarakat dan menciptakan ketidakpastian ekonomi.
Selain itu, kelompok teknokrat ini juga menaruh perhatian pada pengelolaan harga barang kebutuhan pokok dan pengendalian anggaran negara. Melalui kebijakan yang dikenal sebagai stabilisasi moneter, mereka berusaha menekan laju inflasi dengan cara mengurangi pengeluaran negara dan menerapkan kebijakan moneter yang lebih ketat. Meskipun langkah-langkah ini menuai kontroversi, mereka mulai menunjukkan hasil dalam bentuk pengendalian inflasi dan pemulihan ekonomi yang relatif cepat pada awal era Orde Baru.
Namun, keberhasilan mereka dalam menata ekonomi Indonesia tidak lepas dari kritik. Kebijakan yang lebih berorientasi pada efisiensi pasar ini, meskipun berhasil menstabilkan perekonomian, sering dianggap mengabaikan pemerataan ekonomi. Selain itu, para kritikus mencatat bahwa kebijakan ini lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu, terutama kalangan militer dan konglomerat yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa.
Salah satu hal yang mencolok adalah konsentrasi kekayaan dan kekuasaan ekonomi pada segelintir orang yang dekat dengan rezim, yang kemudian memperburuk ketimpangan sosial yang ada. Banyak pihak berpendapat bahwa kebijakan ini cenderung pro-bisnis besar dan lebih menguntungkan elit-elit ekonomi dibandingkan dengan rakyat biasa.
Penting untuk diingat bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru tidak hanya bergantung pada para teknokrat. Keberhasilan dalam menstabilkan ekonomi sangat dipengaruhi oleh dukungan kuat dari militer, yang menguasai berbagai sektor perekonomian. Melalui Bisnis ABRI, militer tidak hanya terlibat dalam urusan pertahanan, tetapi juga memiliki peran yang sangat dominan dalam sektor ekonomi, mulai dari perusahaan-perusahaan besar hingga proyek-proyek infrastruktur. Ini menambah lapisan kompleksitas dalam ekonomi Indonesia pada waktu itu, di mana militer menjadi aktor utama dalam dunia bisnis, sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip pasar bebas yang diterapkan oleh para teknokrat.
Seiring berjalannya waktu, meskipun perekonomian Indonesia mulai stabil, ketidakadilan sosial yang muncul akibat dominasi militer dan konglomerat dalam bisnis semakin terasa. Kebijakan yang awalnya dirancang untuk memperkuat negara dan membangun kembali ekonomi Indonesia pasca-krisis kini dipandang sebagai dasar bagi konsolidasi kekuasaan di tangan segelintir kelompok. Ini menciptakan ketegangan yang terus membayangi perjalanan ekonomi Indonesia selama bertahun-tahun setelahnya.
Secara keseluruhan, periode 1965-1968 bukan hanya masa transisi, tetapi juga pembentukan fondasi bagi sistem ekonomi dan politik yang akan mendominasi Indonesia selama beberapa dekade ke depan. Kebijakan yang diprakarsai oleh para teknokrat memberikan harapan baru bagi perekonomian, namun juga menimbulkan tantangan besar dalam hal pemerataan dan keadilan sosial yang menjadi sorotan utama di masa-masa selanjutnya.
Bisnis ABRI dan Penguatan Kekuasaan
Peran besar teknokrat dan perkembangan Bisnis ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) telah menjadi faktor penting dalam memperkuat kekuasaan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Istilah Bisnis ABRI menggambarkan keterlibatan aktif militer dalam hampir semua sektor ekonomi negara, yang pada masa itu tidak hanya terbatas pada sektor pertahanan, tetapi juga merambah ke berbagai bidang seperti perdagangan, konstruksi, distribusi, dan industri. Selama era Orde Baru, militer menguasai banyak perusahaan yang sebelumnya dimiliki oleh negara maupun swasta. Seringkali, perusahaan-perusahaan yang sudah berjalan dengan baik tersebut berpindah ke tangan militer melalui berbagai mekanisme hukum dan kebijakan yang menguntungkan mereka.
Penting untuk dicatat bahwa keterlibatan ABRI dalam dunia bisnis bukan sekadar kesepakatan bisnis biasa, melainkan lebih merupakan bagian dari strategi politik untuk memperkuat posisi militer dalam struktur kekuasaan negara. Seiring berjalannya waktu, ABRI, melalui perannya dalam pembangunan infrastruktur seperti proyek jalan raya, jembatan, dan gedung perkantoran besar, memperluas pengaruhnya tidak hanya dalam bidang pertahanan, tetapi juga dalam ekonomi. Dalam konteks ini, militer berperan sebagai kontraktor utama yang memanfaatkan sumber daya negara untuk keuntungan bersama, meskipun lebih banyak menguntungkan pihak-pihak yang dekat dengan rezim. Banyak proyek besar, termasuk pembangunan infrastruktur yang menjadi simbol kemajuan ekonomi Indonesia, melibatkan militer dalam dua peran utama: sebagai pengawas dan pelaksana proyek.
Selain itu, melalui kebijakan yang dirancang oleh pemerintah, militer berhasil mendirikan berbagai perusahaan dan yayasan yang didukung oleh lembaga-lembaga militer seperti Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat) dan Kodam (Komando Daerah Militer). Perusahaan-perusahaan ini beroperasi di berbagai sektor, termasuk konstruksi, transportasi, dan distribusi barang.
Dengan dukungan pemerintah dan kebijakan yang menguntungkan mereka, ABRI mendapatkan akses ke sumber daya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang bisa diraih oleh sektor swasta biasa. Ini semakin memperkuat posisi militer sebagai aktor ekonomi utama dalam pemerintahan Orde Baru, di mana sebagian besar kekayaan dan kekuasaan ekonomi terpusat pada elit-elit militer.
Pembentukan yayasan dan koperasi militer juga menjadi strategi penting dalam bisnis ABRI. Melalui organisasi-organisasi ini, keuntungan yang diperoleh dari berbagai proyek dan usaha yang dikelola oleh militer didistribusikan ke dalam struktur internal ABRI, sekaligus memperkuat loyalitas anggota militer terhadap rezim yang berkuasa. Selain itu, koperasi-koperasi ini berfungsi sebagai saluran distribusi sumber daya yang tidak hanya memperkaya elit militer, tetapi juga memberi mereka kontrol lebih besar terhadap masyarakat sipil, dengan berbagai program pemberdayaan ekonomi yang sering kali hanya menguntungkan kelompok tertentu. Dengan cara ini, bisnis ABRI tidak hanya mendatangkan keuntungan finansial, tetapi juga berfungsi sebagai alat strategis untuk memperkuat dan mempertahankan pengaruh militer dalam politik dan ekonomi Indonesia.
Reformasi Ekonomi sebagai Usaha Menuju Kekuasaan
Bagi Soeharto dan kelompok elit di sekitarnya, reformasi ekonomi yang dijalankan selama periode ini lebih dari sekadar usaha untuk memperbaiki perekonomian Indonesia yang hancur setelah masa transisi dari Orde Lama. Kebijakan-kebijakan ini, meskipun berfokus pada stabilisasi makroekonomi, sebenarnya merupakan bagian penting dari strategi besar untuk mengonsolidasikan kekuasaan politik mereka. Reformasi ekonomi yang diterapkan selama Orde Baru bertujuan untuk menciptakan sistem yang menguntungkan bagi militer dan teknokrat yang mendukung rezim, sambil memastikan keberlangsungan kekuasaan Soeharto di pusat pemerintahan.
Salah satu aspek kunci dalam strategi ini adalah memperkuat dukungan dari kalangan elit militer dan teknokrat yang memiliki pengaruh besar di berbagai bidang penting, baik dalam pemerintahan maupun dunia bisnis.
Reformasi ekonomi juga berfungsi sebagai alat untuk menghadapi ancaman dari kelompok oposisi, terutama dari gerakan kiri yang mendukung ideologi komunis dan kelompok lain yang berseberangan dengan ideologi Orde Baru. Dalam konteks ini, pengendalian ekonomi menjadi sangat penting untuk memastikan loyalitas dan ketergantungan berbagai kelompok terhadap kekuasaan yang baru. Dengan menguasai sektor-sektor strategis, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, energi, dan transportasi, pemerintah Orde Baru dapat mengatur distribusi sumber daya untuk menciptakan ketergantungan dan mengurangi potensi ancaman dari kelompok oposisi.
Melalui kebijakan ini, Soeharto berhasil membangun sebuah sistem ekonomi yang sangat terpusat, di mana kekuasaan politik dan ekonomi berada di tangan sekelompok orang yang mampu mengendalikan kedua sektor ini dengan sangat efisien. Namun, meskipun kebijakan ekonomi ini berhasil menciptakan stabilitas dalam jangka pendek, mereka juga menimbulkan ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok. Sejumlah kecil elit, yang terdiri dari militer, teknokrat, dan konglomerat yang dekat dengan kekuasaan, semakin kaya dan berkuasa, sementara mayoritas rakyat Indonesia tetap terpinggirkan dan semakin sulit untuk mencapai kesejahteraan. Ketimpangan ini, meskipun tidak langsung terlihat pada awalnya, akhirnya memperburuk ketegangan sosial dan menjadi salah satu pemicu ketidakpuasan yang meledak dalam berbagai protes sosial di kemudian hari.
Pada akhirnya, reformasi ekonomi Orde Baru tidak hanya mendukung pembangunan ekonomi, tetapi juga memperkuat sistem otoriter yang menguasai Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Meskipun kebijakan ekonomi ini berhasil menciptakan stabilitas jangka pendek, dalam jangka panjang, mereka meninggalkan warisan ketimpangan sosial dan konsentrasi kekuasaan yang mendalam.
Kritik terhadap Kebijakan Ekonomi Orde Baru
Meskipun kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru berhasil menciptakan stabilitas ekonomi dalam jangka pendek, tidak semua pihak menerima kebijakan ini dengan sepenuh hati. Banyak kritik tajam datang dari berbagai kelompok oposisi, aktivis, dan akademisi yang berpendapat bahwa kebijakan tersebut lebih menguntungkan segelintir elit, terutama teknokrat dan militer, daripada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Mereka menilai bahwa pengendalian ekonomi yang sangat terpusat di tangan pemerintah dan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan mengakibatkan ketimpangan yang semakin dalam antara golongan kaya dan miskin.
Salah satu kritik utama yang muncul adalah konsentrasi kekuasaan ekonomi yang berada di tangan militer melalui Bisnis ABRI. Ketika militer semakin mendominasi sektor-sektor vital seperti konstruksi, distribusi barang, dan industri pertahanan, semakin jelas bahwa sebagian besar keuntungan ekonomi tersebut tidak dibagi secara merata. Pengaruh ABRI dalam bisnis membuat mereka semakin kaya dan memperkuat posisi politik mereka, sementara rakyat biasa, terutama dari kalangan petani dan pekerja, semakin terpinggirkan. Sebagian besar program ekonomi yang dijalankan tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat, seperti peningkatan kualitas hidup dan pengurangan kemiskinan. Alih-alih memperhatikan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, kebijakan tersebut justru memperburuk ketidaksetaraan sosial yang telah ada sebelumnya.
Salah satu hal yang menjadi perhatian para kritikus adalah dampak dari militerisasi ekonomi yang terjadi selama era Orde Baru. Ketika ABRI terlibat dalam dunia bisnis, mereka tidak hanya berfungsi sebagai penjaga stabilitas politik, tetapi juga berperan sebagai pemain utama dalam ekonomi. Ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana independensi militer dalam menjalankan tugas utamanya sebagai pelindung negara. Keterlibatan militer dalam bisnis membuat mereka bergantung pada sumber daya dan keuntungan yang dihasilkan dari sektor ekonomi, yang bisa berisiko mengaburkan netralitas mereka dalam situasi politik yang penting. Para kritikus berpendapat bahwa jika militer terlalu terlibat dalam bisnis dan ekonomi, mereka mungkin kehilangan kemampuan untuk bertindak secara objektif dalam menjaga kestabilan politik negara.
Di sisi lain, ada pandangan bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pro-pasar, sering kali mengabaikan aspek keadilan sosial. Kelompok-kelompok yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini, seperti petani, buruh, dan kelompok marginal lainnya, merasa bahwa mereka hanya dijadikan objek eksploitasi dalam sistem ekonomi yang dikuasai oleh segelintir elit. Hal ini menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan di kalangan masyarakat bawah, yang merasa bahwa mereka tidak merasakan manfaat dari pembangunan ekonomi yang terjadi.
Salah satu isu yang sering dibahas adalah penerapan kebijakan neoliberalisme yang mulai muncul di era Orde Baru, yang membuka jalan bagi dominasi perusahaan besar dan investor asing. Kebijakan ini memang mendorong liberalisasi sektor ekonomi, tetapi hanya kelompok yang dekat dengan pemerintah yang bisa meraih akses dan keuntungan dari investasi tersebut. Sayangnya, dalam banyak kasus, kebijakan ini juga berujung pada kerusakan lingkungan dan penindasan terhadap masyarakat adat serta petani kecil yang terpaksa kehilangan tanah mereka demi proyek-proyek besar yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar yang memiliki hubungan erat dengan militer atau teknokrat.
Kritik lain juga muncul dari sudut pandang politik, di mana ketergantungan ekonomi pada kelompok tertentu justru memperburuk ketidaksetaraan politik. Kebijakan ekonomi di era Orde Baru cenderung menciptakan sistem yang tidak demokratis dan melemahkan proses demokratisasi di Indonesia. Dengan kekuasaan yang terpusat pada militer dan teknokrat, ruang bagi oposisi semakin menyusut. Negara ini dikuasai oleh "sekelompok kecil" yang memonopoli kekuasaan dan mengontrol sumber daya, sehingga menghalangi terbentuknya sistem politik yang lebih inklusif dan representatif.
Sumber Referensi:
Budiardjo, M. (1996). Reformasi Ekonomi dan Sosial: Studi Kasus Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Feith, H. (1962). The Indonesian Political Awakening. Jakarta: Equinox Publishing.
Roeslan Abdulgani. (2004). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Crouch, H. (1996). The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
0 Response to "Teknokrat, Reformasi Ekonomi, dan Bisnis ABRI: Menguatkan Basis Kekuasaan"
Posting Komentar