-->

Langkah Menuju Posisi Kepresidenan: Persiapan Suharto sebagai Usaha Menuju Kekuasaan (1965-1968)

Kepresidenan Suharto yang dimulai pada tahun 1967 menandai momen penting dalam sejarah Indonesia, menandai lahirnya Orde Baru—sebuah era yang penuh dengan perubahan besar di bidang politik, sosial, dan ekonomi.


Kepresidenan Suharto yang dimulai pada tahun 1967 menandai momen penting dalam sejarah Indonesia, menandai lahirnya Orde Baru—sebuah era yang penuh dengan perubahan besar di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Namun, perjalanan menuju kursi kepresidenan itu tidaklah mudah. Di balik posisi Suharto yang akhirnya menjadi presiden pada 1967, terdapat serangkaian langkah strategis yang cermat, memanfaatkan peluang yang muncul di tengah krisis yang melanda Indonesia antara 1965 hingga 1968. Proses ini bukan hanya soal kekuatan militer, tetapi juga melibatkan berbagai dinamika politik yang rumit, termasuk aliansi, pengaruh, dan manipulasi dalam situasi yang sangat tidak stabil.

Latar Belakang Politik Indonesia Menjelang 1965

Di awal 1960-an, Indonesia berada dalam keadaan yang sangat terpecah. Pemerintahan Presiden Sukarno dengan ideologi "Nasakom" (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) berusaha menyatukan berbagai kekuatan politik dan sosial yang ada. Namun, ideologi ini justru memperburuk ketegangan, terutama dengan semakin kuatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) di pemerintahan dan militer. Di sisi lain, kelompok militer yang memiliki ideologi anti-komunis yang kuat merasa terancam oleh dominasi PKI dan ketidakstabilan yang ditimbulkan oleh perpecahan politik.

Pemerintahan Sukarno, dengan konsep Demokrasi Terpimpin-nya, semakin tidak mampu mengatasi krisis ekonomi, ketegangan sosial, dan ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat. Selain itu, Sukarno juga menghadapi tekanan dari luar, terutama dari negara-negara Barat yang khawatir dengan kedekatan Indonesia dengan blok komunis. Dalam situasi ini, ketidakpuasan mulai muncul dari berbagai kalangan, termasuk di dalam tubuh militer yang merasakan adanya ancaman serius terhadap stabilitas negara dan ideologi yang ada.

Di tengah ketegangan yang melanda, Suharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), mulai menjadi sosok yang semakin diperhitungkan di kalangan militer. Dengan posisi strategis ini, Suharto memiliki akses langsung untuk memanfaatkan situasi yang ada, menempatkan dirinya sebagai tokoh yang bisa menjaga stabilitas negara. Dalam banyak hal, Suharto menunjukkan dirinya sebagai figur yang mampu mengatasi krisis, dengan menonjolkan keberhasilan-keberhasilannya dalam operasi pemulihan keamanan di daerah-daerah yang dilanda ketegangan politik.

Krisis 1965: Peluang Bagi Suharto

Pada 30 September 1965, Indonesia dikejutkan oleh peristiwa yang dikenal sebagai G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia). Peristiwa ini dimulai dengan pembunuhan enam jenderal, yang menandai awal krisis yang semakin memperburuk situasi politik di Indonesia. Meskipun banyak teori yang beredar tentang siapa yang sebenarnya berada di balik peristiwa tersebut, dampak langsungnya adalah melemahnya posisi Presiden Sukarno yang tidak mampu mengendalikan situasi yang semakin kacau. Sementara itu, kelompok militer yang dipimpin oleh Suharto melihat ini sebagai kesempatan besar untuk merebut kekuasaan dan mengakhiri dominasi PKI.

Dalam situasi yang penuh kekacauan ini, Suharto segera mengambil langkah untuk mengendalikan keadaan. Dengan dukungan dari Kopkamtib yang dipimpinnya, Suharto berhasil merebut kendali atas situasi di Jakarta dan daerah-daerah lainnya, sementara pemerintahan Sukarno semakin tampak lemah dan tidak mampu menghadapi tekanan dari berbagai pihak. Kepemimpinan Suharto dalam mengatasi krisis ini menunjukkan kemampuannya dalam menghadapi ancaman dari berbagai kelompok yang dianggap dapat mengganggu stabilitas negara.

Namun, Suharto tidak hanya fokus pada penanganan krisis; ia juga berhasil membangun narasi yang menggambarkan dirinya sebagai pemimpin yang mampu memulihkan negara. Dengan menggandeng berbagai tokoh militer dan politik, ia mengukuhkan dirinya sebagai penyelamat bangsa, sebuah citra yang sangat penting untuk perjalanan politiknya ke depan. Di saat yang sama, Suharto mulai menyingkirkan lawan-lawan politik, baik dari kalangan komunis maupun dari pihak-pihak yang dekat dengan Sukarno. Penangkapan massal terhadap simpatisan PKI dan anggota-anggota yang dianggap berbahaya bagi stabilitas politik dilakukan secara sistematis, dengan dukungan penuh dari militer.

Suharto memanfaatkan momentum ini untuk semakin memperkuat posisinya. Melalui strategi militer yang cerdik, ia berhasil menguasai pusat-pusat kekuasaan politik, termasuk kontrol atas media yang digunakan untuk membentuk persepsi publik bahwa ia adalah satu-satunya sosok yang dapat membawa Indonesia keluar dari krisis. Penggunaan operasi militer dan propaganda yang sangat terorganisir semakin memperkuat posisi Suharto di mata masyarakat, yang pada saat itu sangat menginginkan kepemimpinan yang stabil dan kuat untuk mengatasi kekacauan yang melanda negara.

Momen Penting: Supersemar dan Penguatan Posisi

Di tengah situasi yang semakin memburuk, Soeharto semakin memperkuat posisinya dengan meraih legitimasi melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Meskipun keaslian dokumen ini masih menjadi bahan perdebatan, Supersemar berfungsi sebagai instrumen penting yang memberikan Suharto kewenangan untuk memulihkan keamanan, yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Dengan dasar hukum ini, Suharto berhasil menggantikan Sukarno dalam struktur pemerintahan Indonesia dan memulai proses transisi yang menandai berakhirnya Demokrasi Terpimpin dan dimulainya era Orde Baru.

Supersemar bukan sekadar surat perintah; ia juga merupakan alat politik yang digunakan Suharto untuk melegitimasi perubahan besar dalam politik Indonesia. Proses ini dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan setiap langkah yang diambil dan dampaknya terhadap konsolidasi kekuasaan militer serta penghapusan elemen-elemen yang dianggap mengancam posisinya, baik dari kelompok kiri maupun kanan. Pada tahun 1967, Suharto resmi diangkat sebagai Pejabat Presiden melalui Sidang MPRS, yang menandai akhir era kepemimpinan Sukarno dan membuka jalan bagi Suharto untuk memulai perjalanan panjangnya sebagai pemimpin Indonesia.

Langkah-langkah yang diambil oleh Suharto selama periode 1965-1968 menunjukkan strategi yang terencana dengan baik, memanfaatkan setiap peluang dalam ketegangan politik dan krisis yang terjadi untuk memperkuat posisinya. Dalam perjalanan menuju kursi presiden, Suharto berhasil membangun koalisi yang solid, mengeliminasi lawan-lawan politik, dan membentuk citra dirinya sebagai sosok yang mampu membawa Indonesia menuju stabilitas setelah periode ketidakpastian.

Membangun Dukungan dari Militer dan Elemen Politik Lainnya

Setelah berhasil mengatasi krisis G30S/PKI, langkah berikutnya bagi Suharto adalah mengonsolidasikan kekuatan dan membangun dukungan dari berbagai elemen, dengan fokus utama pada militer. Suharto menyadari bahwa kekuatan militer adalah faktor yang sangat penting untuk mewujudkan ambisinya. Tanpa dukungan yang solid dari angkatan bersenjata, cita-citanya untuk mencapai kursi kepresidenan akan sangat sulit tercapai. Sejak awal, Suharto tahu bahwa di Indonesia saat itu, kontrol atas militer adalah kunci untuk memperoleh kekuasaan politik yang lebih besar.

Namun, meskipun militer menjadi pilar utama dalam konsolidasi kekuasaannya, Suharto tidak hanya mengandalkan kekuatan militer semata. Ia menyadari bahwa untuk memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi politik yang luas, ia harus merangkul berbagai elemen politik yang ada. Salah satunya adalah golongan-golongan yang sebelumnya berada dalam lingkaran Sukarno, terutama mereka yang kecewa dengan kebijakan Presiden Sukarno dalam berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan situasi politik yang semakin tidak stabil. Suharto mengerti bahwa membangun koalisi yang lebih besar, melibatkan berbagai elemen politik, adalah kunci untuk mendirikan basis kekuatan yang lebih kokoh.

Dalam hal ini, Suharto berhasil meyakinkan berbagai kelompok nasionalis dan Islam yang menentang pengaruh PKI di Indonesia, bahwa dirinya adalah sosok yang mampu menjaga keamanan dan stabilitas negara yang sedang menghadapi ketidakpastian politik. Suharto juga pandai memanfaatkan ketegangan yang muncul setelah G30S/PKI, ketika banyak kelompok merasa bahwa negara perlu diselamatkan dari potensi kehancuran yang ditimbulkan oleh konflik ideologi antara komunis dan anti-komunis. Melalui pendekatan ini, Suharto berhasil merangkul banyak pihak yang sebelumnya berada di luar pemerintahan Sukarno, sehingga memperkuat posisinya sebagai alternatif yang lebih aman bagi masa depan negara.

Selain itu, Suharto juga menekankan citranya sebagai sosok yang bisa menyatukan bangsa dalam menghadapi berbagai ancaman, baik dari luar maupun dalam negeri. Ia menggunakan retorika yang menggambarkan dirinya sebagai pemimpin yang mampu mengembalikan ketertiban dan stabilitas yang terganggu akibat konflik internal, sambil menjanjikan pemulihan ekonomi yang lebih baik untuk Indonesia. Hal ini membuat banyak pihak, mulai dari kalangan militer, partai politik, hingga kelompok masyarakat sipil, merasa lebih nyaman dengan pemimpin yang fokus pada stabilitas dan pembangunan, ketimbang ketegangan ideologis yang melanda Indonesia pada masa itu.

Langkah Politik Suharto Menuju Kursi Kepresidenan

Pada tahun 1966, situasi politik di Indonesia semakin mendesak, dan posisi Presiden Sukarno semakin terancam. Ketegangan antara militer dan pendukung Sukarno semakin tak terkendali, sementara ketidakpuasan terhadap kebijakan Sukarno, terutama yang berkaitan dengan hubungan dengan PKI, semakin meluas. Di tengah ketidakstabilan ini, berbagai kalangan mulai mendesak agar Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Suharto, yang dianggap lebih mampu mengembalikan stabilitas negara.

Pada Maret 1966, puncaknya terjadi melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), sebuah dokumen yang berisi perintah dari Sukarno kepada Suharto untuk mengambil langkah-langkah menjaga ketertiban negara. Meskipun secara formal Sukarno masih menjabat sebagai presiden, Supersemar memberikan otoritas penuh kepada Suharto untuk mengendalikan pemerintahan. Dalam konteks ini, meskipun Suharto tidak secara langsung mengangkat dirinya sebagai presiden, otoritas yang diberikan melalui Supersemar memungkinkan Suharto untuk mengambil langkah-langkah politik dan militer yang akan mengubah lanskap politik Indonesia secara drastis.

Surat Perintah Sebelas Maret menandai momen krusial dalam perjalanan politik Suharto, memberikan legitimasi yang lebih kuat dan memberi Suharto kesempatan untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Dengan dukungan dari militer dan sejumlah tokoh politik yang merasa kecewa dengan Sukarno, Suharto mulai melakukan perombakan dalam pemerintahan. Salah satu langkah penting yang diambilnya adalah membersihkan pengaruh PKI yang saat itu masih cukup dominan, baik di pemerintahan maupun di masyarakat. Meskipun proses pemberantasan PKI yang dilakukan Suharto sering dianggap keras dan represif, banyak yang melihatnya sebagai upaya untuk menjaga kelangsungan ideologi nasionalis-religius yang lebih diterima oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Namun, perhatian Suharto tidak hanya terfokus pada pengaruh PKI. Ia juga mulai memperkuat posisinya dengan menjalin hubungan erat dengan kelompok-kelompok militer dan nasionalis yang memiliki pengaruh besar dalam politik Indonesia pasca-G30S. Dalam hal ini, Suharto berhasil membangun koalisi yang luas dengan berbagai kekuatan politik yang sebelumnya terpecah, termasuk partai-partai yang merasa terpinggirkan pada masa Sukarno. Dengan cermat, Suharto menjalin komunikasi dengan berbagai golongan ini, menawarkan jaminan keamanan, stabilitas politik, dan janji-janji pembangunan ekonomi untuk mengatasi krisis yang melanda saat itu.

Selain itu, Suharto juga memanfaatkan media untuk memperkuat citranya di mata publik. Dalam konteks langkah politik yang lebih luas, ia mengendalikan narasi yang berkembang di media untuk menggambarkan dirinya sebagai pemimpin yang tegas, berwibawa, dan mampu membawa Indonesia keluar dari krisis. Meskipun banyak yang mengkritik pendekatannya yang otoriter, Suharto berhasil menyatukan berbagai elemen dalam masyarakat, mulai dari kalangan militer, sipil, hingga politik, yang akhirnya membuka jalan baginya untuk menjadi presiden pada tahun 1967, setelah MPRS mengangkatnya sebagai Pejabat Presiden.

Proses ini menunjukkan bahwa perjalanan Suharto menuju kursi kepresidenan bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dari serangkaian langkah cermat dan strategi yang melibatkan aliansi, pengelolaan krisis, serta kemampuan untuk meyakinkan berbagai elemen politik agar mendukungnya. Langkah-langkah ini menciptakan fondasi yang kuat bagi konsolidasi kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade, yang dikenal dengan sebutan Orde Baru.

Pada tahun 1967, Suharto berhasil mendapatkan dukungan yang lebih luas dari berbagai elemen politik, terutama dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Momen penting dalam perjalanan ini terjadi pada Sidang Istimewa MPRS di bulan Maret 1967, ketika Suharto secara resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, menggantikan Sukarno, yang saat itu sudah sangat terpinggirkan dalam kancah politik nasional. Meskipun Sukarno masih secara resmi menjabat sebagai presiden, pengaruhnya dalam pemerintahan telah menurun drastis, dan Suharto telah mengambil alih kendali penuh atas pemerintahan Indonesia.

Pengangkatan Suharto sebagai presiden ini merupakan puncak dari perjuangan politik yang panjang antara tahun 1965 hingga 1968. Melalui serangkaian langkah strategis yang cermat, termasuk penanganan krisis G30S/PKI, konsolidasi kekuatan di kalangan militer, serta menjalin aliansi dengan berbagai kelompok politik, Suharto berhasil meraih posisi yang sangat strategis dalam politik Indonesia. Namun, yang mungkin tidak banyak diketahui adalah bahwa meskipun Suharto mendapatkan legitimasi dari MPRS, proses ini tidak terjadi begitu saja. Selama masa transisi ini, Suharto juga memanfaatkan ketegangan internal dalam MPRS dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk memastikan dukungan penuh dan mengeliminasi potensi tantangan terhadap pemerintahannya.

Suharto juga berusaha agar proses peralihan kekuasaan berjalan lancar dengan menjalin hubungan erat dengan tokoh-tokoh berpengaruh dalam MPRS, termasuk kelompok-kelompok nasionalis yang sebelumnya mendukung Sukarno. Dukungan dari berbagai faksi ini semakin menguatkan posisinya dan memberikan dasar yang lebih solid bagi masa kepresidenannya yang akan datang. Suharto menggunakan taktik politik yang halus, menunjukkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang mampu menjaga stabilitas politik dan sosial, serta membawa Indonesia keluar dari ketegangan politik yang melanda.

Analisis Politik: Bagaimana Suharto Memanfaatkan Keadaan

Strategi politik Suharto antara tahun 1965 hingga 1968 menunjukkan betapa cerdasnya dia dalam membaca situasi dan mengelola berbagai aliansi politik yang ada. Suharto bukan hanya seorang pemimpin militer yang handal dalam mengendalikan pasukan dan menghadapi ancaman, tetapi juga seorang politisi yang sangat terampil, tahu kapan harus mengambil langkah-langkah tertentu dan bagaimana memainkan perannya dengan efektif. Ini terlihat jelas saat dia mengatasi krisis G30S/PKI, yang benar-benar menguji kapasitas kepemimpinannya dan kecepatan pengambilan keputusan di tengah ketidakpastian.

Suharto menyadari bahwa untuk memperkuat posisinya, dia perlu mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, baik dari militer, golongan nasionalis, maupun kelompok politik yang selama ini terpinggirkan oleh Sukarno. Dengan taktik diplomasi dan perhitungan politik yang cermat, Suharto berhasil merangkul banyak pihak yang sebelumnya menentang pemerintahan Sukarno, termasuk mereka yang merasa terancam oleh dominasi PKI. Salah satu fakta menarik yang sering kali terlewat adalah bagaimana Suharto berhasil menjalin hubungan dengan kelompok Islam yang terpinggirkan, seperti NU (Nahdlatul Ulama), dengan meyakinkan mereka bahwa pemerintahan Orde Baru akan lebih melindungi nilai-nilai agama dan sosial yang mereka perjuangkan. Suharto menunjukkan dirinya sebagai sosok yang mampu meredakan ketegangan antara golongan Islam dan golongan nasionalis, sebuah langkah penting yang semakin memperkuat koalisinya.

Pada saat yang sama, Suharto sangat cerdik dalam memanfaatkan krisis yang melanda untuk memperkuat posisinya, termasuk dengan mengeliminasi lawan-lawan politik yang bisa menghalangi ambisinya. Salah satu langkah strategis yang sangat krusial adalah keberhasilan Suharto dalam memerangi PKI. Dengan mengurangi pengaruh PKI di Indonesia, yang dianggap sebagai ancaman utama bagi kestabilan negara, Suharto berhasil meraih dukungan besar dari militer dan kelompok-kelompok lain yang khawatir akan pengaruh komunis yang semakin menguat. Suharto dengan hati-hati mengelola kampanye anti-komunis yang berujung pada pemberantasan PKI, yang meskipun menimbulkan kontroversi dan kekerasan, dianggap sebagai langkah penting dalam menciptakan stabilitas politik yang lebih luas.

Suharto juga sangat terampil dalam mengelola persepsi publik, baik melalui kontrol media maupun dengan melakukan reformasi yang menonjolkan dirinya sebagai pemimpin yang bersih dan berfokus pada pemulihan negara. Banyak yang tidak menyadari bahwa selama periode ini, Suharto secara aktif mengatur narasi publik untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, jauh dari kekacauan dan ketidakpastian yang ditinggalkan oleh pemerintahan Sukarno.

Sumber Referensi:

Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since C. 1300. Stanford University Press.

Cribb, R. (2001). The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali. Monash University Press.

Anderson, B. (2006). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Cornell University Press.

Chambert-Loir, H. (2007). Suharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President. Southeast Asian Studies.

0 Response to "Langkah Menuju Posisi Kepresidenan: Persiapan Suharto sebagai Usaha Menuju Kekuasaan (1965-1968)"

Posting Komentar

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed