Merumuskan Orde Baru: Membangun Tatanan Politik Baru (1965-1968)
“Orde Baru dibangun untuk menstabilkan negara, menghindari chaos yang disebabkan oleh ideologi komunis, dan membawa Indonesia pada kemakmuran yang berkelanjutan.” — Suharto
Pada tahun 1965, Indonesia berada di ambang krisis. Ketegangan politik semakin meningkat setelah Gerakan 30 September (G30S) mengguncang negara dan mengoyak fondasi pemerintahan yang telah dibangun sejak kemerdekaan. Peristiwa G30S, yang melibatkan pembunuhan enam jenderal tinggi dan percobaan kudeta terhadap pemerintahan Sukarno, menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan elit militer dan politisi.
Di tengah suasana yang penuh ketidakpastian ini, Indonesia juga menghadapi krisis ekonomi yang sangat parah. Inflasi yang melambung, kelangkaan barang kebutuhan pokok, dan ketidakmampuan negara dalam menangani utang luar negeri semakin memperburuk penderitaan rakyat. Sementara itu, kekuasaan Sukarno, meskipun masih menjabat sebagai Presiden, semakin tergerus.
Kondisi fisik Sukarno yang semakin rapuh, ditambah dengan melemahnya kontrolnya atas situasi politik, membuatnya kehilangan kemampuan untuk meredakan gejolak sosial dan ekonomi yang kian memburuk.
Di tengah kekacauan ini, muncul sosok Suharto, seorang komandan militer yang sebelumnya tidak begitu menonjol dalam kancah politik Indonesia. Suharto, yang awalnya hanya berperan dalam mengatasi gangguan keamanan, secara bertahap mulai menunjukkan dirinya sebagai pemain kunci dalam merumuskan masa depan Indonesia.
Dengan latar belakang militernya, Suharto berfokus pada pemulihan stabilitas dan pengendalian negara, yang membuka jalan bagi lahirnya Orde Baru, yang akan membentuk politik Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Perjalanan menuju Orde Baru dimulai setelah peristiwa G30S, saat situasi politik yang sangat tidak stabil memberikan peluang besar bagi Suharto dan militer untuk memperkuat posisi mereka. Ketegangan yang muncul akibat ketidakpastian politik memberi Suharto kesempatan untuk lebih dalam terlibat dalam kekuasaan.
Meskipun awalnya hanya diberi mandat terbatas untuk menangani ancaman terhadap keamanan negara pasca-G30S, Suharto dengan cepat menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang dapat diandalkan untuk meredakan krisis. Pemerintahan Sukarno, yang semakin kehilangan kontrol, berada di ambang kehancuran. Keputusan para pemimpin militer, termasuk Suharto, untuk segera merespons ancaman ini adalah langkah strategis yang menandai perubahan besar dalam arah politik negara.
Pada tahun 1966, di tengah suasana yang semakin menekan, Sukarno memberikan Suharto kekuasaan yang jauh lebih besar melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Perintah ini memberi Suharto wewenang untuk mengambil alih pengelolaan negara, termasuk menangani krisis politik dan keamanan. Supersemar menjadi titik balik penting dalam perjalanan politik Suharto, karena memberinya otoritas penuh untuk menggantikan Sukarno dalam mengendalikan negara.
Meskipun awalnya hanya menjabat sebagai pejabat presiden, Suharto mulai mengambil langkah-langkah untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Banyak yang berpendapat bahwa peristiwa ini bukan hanya langkah pertama menuju Orde Baru, tetapi juga simbol berakhirnya era kekuasaan Sukarno, meskipun secara resmi Sukarno baru dipecat pada tahun 1967.
Membangun Tatanan Politik Baru: Dari Supersemar ke Orde Baru
Dengan Supersemar di tangannya, Suharto memulai serangkaian kebijakan yang secara perlahan menggantikan sistem yang telah dibangun oleh Sukarno selama bertahun-tahun. Sukarno, yang sebelumnya memiliki pengaruh besar berkat kepemimpinannya dalam revolusi kemerdekaan dan pengaruh politiknya yang besar dalam mempertahankan kesatuan Indonesia, mulai kehilangan posisi dominannya. Salah satu kebijakan pertama Suharto adalah mereduksi pengaruh dari partai-partai politik yang dianggapnya tidak lagi mendukung stabilitas nasional, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu menjadi musuh utama dalam kebijakan anti-komunis Suharto.
Pada saat yang sama, Suharto memperkuat posisi Golkar, yang pada awalnya merupakan organisasi yang dibentuk oleh militer pada masa pemerintahan Sukarno sebagai kendaraan politik dalam menangani pemilu. Golkar, yang sebelumnya bukanlah sebuah partai politik yang dominan, mulai dibentuk menjadi mesin politik yang sangat kuat di bawah kontrol Suharto.
Golkar dipilih karena dianggap sebagai alat yang dapat diandalkan untuk mendukung stabilitas politik, mengingat struktur organisasinya yang bersifat pragmatis dan mudah dipengaruhi oleh kekuatan militer. Dalam beberapa tahun ke depan, Golkar akan menjadi mesin pemilihan utama yang memungkinkan Suharto untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan posisi politiknya selama lebih dari tiga dekade.
Suharto, yang diangkat sebagai Pejabat Presiden pada 11 Maret 1966, tidak langsung mengambil alih kekuasaan sepenuhnya. Pada awalnya, ia berusaha menata ulang struktur pemerintahan agar lebih teratur dan tidak langsung menyingkirkan Sukarno. Meskipun begitu, penunjukan Suharto sebagai Pejabat Presiden pada 1966 menandai awal dari era baru yang perlahan-lahan mengikis kekuasaan Sukarno.
Dengan dukungan militer dan kekuatan politik yang semakin menguat, Suharto secara bertahap mengambil alih seluruh sistem pemerintahan Indonesia. Meskipun langkah pertama menuju Orde Baru belum sepenuhnya terwujud saat itu, keputusan tersebut membuka jalan bagi berakhirnya masa pemerintahan Sukarno dan dimulainya dominasi Orde Baru yang akan bertahan hingga tahun 1998.
Selama masa transisi ini, Suharto memainkan perannya dengan sangat hati-hati. Ia tidak hanya mengendalikan militer, tetapi juga secara perlahan menggantikan pengaruh Sukarno di berbagai sektor kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Menariknya, meskipun Orde Baru dikenal dengan keberhasilannya dalam menstabilkan negara, pemerintahan Suharto juga sangat bergantung pada jaringan patronase militer yang kuat, yang bisa dianggap sebagai fondasi utama dari keberlanjutan Orde Baru itu sendiri.
Struktur Politik Orde Baru dan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan tatanan politik Orde Baru yang diprakarsai oleh Suharto tidak hanya berfokus pada penguatan Golkar, tetapi juga melibatkan perubahan signifikan dalam struktur politik dan sistem pemerintahan Indonesia secara keseluruhan. Salah satu kebijakan utama dari Orde Baru adalah penerapan Demokrasi Pancasila, sebuah konsep yang secara efektif mempersempit ruang bagi partai-partai oposisi dan menjadikan Golkar sebagai penguasa utama dalam politik Indonesia.
Sistem ini, yang dikenal sebagai “Demokrasi Terpimpin”, dirancang untuk mencegah perpecahan politik yang dapat mengancam stabilitas negara, sebuah isu yang sangat nyata pada masa pemerintahan Sukarno. Demokrasi Terpimpin membatasi partisipasi politik dari kelompok-kelompok yang dianggap berpotensi mengganggu kekuasaan pusat, terutama partai-partai dengan ideologi yang lebih radikal seperti komunis dan sosialis.
Dalam praktiknya, sistem politik Orde Baru menekankan pada kontrol terpusat, di mana Suharto, dengan dukungan penuh militer, mengendalikan seluruh struktur pemerintahan. Militer, yang sebelumnya berperan utama dalam menjaga keamanan nasional, kini juga mendominasi berbagai sektor penting, termasuk ekonomi dan sosial. Bahkan, pada awal Orde Baru, hampir setiap sektor strategis negara dikuasai oleh individu-individu yang memiliki latar belakang militer, menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang otoriter dan sangat terpusat.
Militer tidak hanya berfungsi dalam tugas pertahanan, tetapi juga menjadi instrumen utama dalam menjaga kestabilan politik melalui berbagai kebijakan yang membatasi kebebasan berpendapat dan membungkam oposisi politik. Akhirnya, militer menjadi inti dari aparat negara, yang membuat kritik terhadap pemerintah sangat terbatas dan bahkan berisiko. Selain itu, kontrol politik yang terpusat ini menyebabkan munculnya berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, dengan pengaruh Suharto yang semakin dominan di berbagai tingkatan pemerintahan.
Selain memperkuat struktur politik, Orde Baru juga menerapkan kebijakan ekonomi yang sangat berbeda dibandingkan dengan yang ada di masa Sukarno. Ketika menghadapi krisis ekonomi yang parah, Suharto mengubah arah kebijakan ekonomi Indonesia menuju liberalisasi dan pendekatan pro-pasar, yang jelas bertolak belakang dengan kebijakan sosialis yang diterapkan oleh Sukarno sebelumnya. Salah satu langkah penting yang diambil adalah menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Barat serta lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF.
Ini semua dilakukan sebagai respons terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia di awal 1960-an, di mana inflasi melambung tinggi dan produksi nasional mengalami penurunan drastis. Suharto menyadari bahwa untuk memulihkan ekonomi Indonesia, dukungan internasional dan investasi asing sangat diperlukan, sehingga ia memutuskan untuk membuka pintu bagi kapitalisme global, meskipun hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi yang dianut oleh Sukarno.
Suharto mulai fokus pada sektor-sektor tertentu dalam pembangunan ekonomi, seperti pertanian, industri, dan infrastruktur, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Salah satu pencapaian penting yang layak dicatat adalah perkembangan sektor industri yang pesat selama era Orde Baru, yang menghasilkan berbagai produk manufaktur yang mampu menembus pasar internasional. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan, dan bandara, juga menjadi prioritas utama, yang pada gilirannya turut mendorong pertumbuhan ekonomi di luar pulau Jawa.
Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia di awal Orde Baru menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan, kebijakan pro-pasar tersebut pada akhirnya menciptakan ketergantungan yang besar terhadap modal asing. Pembangunan yang lebih mengandalkan investasi asing membuat Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi ekonomi global, yang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi ekonomi Indonesia di tahun-tahun berikutnya.
Salah satu hal yang sangat krusial dalam membangun tatanan politik baru yang diusung oleh Suharto adalah penguatan ideologi Pancasila sebagai fondasi negara. Suharto menegaskan kembali Pancasila sebagai ideologi negara yang tidak hanya menjadi dasar bagi kebijakan politik, tetapi juga sebagai pedoman utama dalam kehidupan sosial dan budaya Indonesia.
Dengan lima sila yang mencakup aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, Pancasila dijadikan alat untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Dalam praktiknya, Pancasila digunakan untuk menangani perbedaan ideologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara, terutama komunisme dan sosialisme, yang pernah menjadi kekuatan politik yang signifikan selama pemerintahan Sukarno.
Suharto secara aktif memanfaatkan Pancasila untuk memperkuat legitimasi politiknya. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Orde Baru selalu dihubungkan dengan Pancasila, yang berfungsi sebagai alat untuk membenarkan setiap langkah pemerintah, sekaligus menanggulangi kelompok-kelompok yang berusaha menantang kekuasaan Suharto. Orde Baru tidak hanya berupaya mengurangi pengaruh komunisme dan sosialisme, tetapi juga membatasi perkembangan kelompok oposisi lain yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politik.
Pancasila, yang awalnya dirumuskan oleh para pendiri Indonesia sebagai ideologi yang inklusif, kini digunakan dalam konteks yang lebih eksklusif, di mana pemerintah Orde Baru berusaha memastikan bahwa hanya ideologi yang sejalan dengan Pancasila yang diperbolehkan untuk berkembang.
Salah satu fakta menarik yang mungkin belum banyak diketahui adalah bahwa di awal masa Orde Baru, Pancasila sebenarnya bukanlah satu-satunya ideologi yang diusung oleh Suharto. Pada fase awal kekuasaannya, Suharto juga memperkenalkan konsep “Anti-Komunisme” sebagai bagian penting dari politik Orde Baru. Dalam konteks ini, Pancasila tidak hanya berfungsi untuk menyatukan rakyat Indonesia, tetapi juga sebagai alat untuk menanggulangi ancaman dari ideologi-ideologi yang dianggap berbahaya bagi stabilitas negara. Penggunaan Pancasila sebagai ideologi negara yang kuat juga terlihat dalam pendidikan, media, dan budaya, di mana semua bentuk pengajaran tentang nasionalisme dan ideologi negara selalu merujuk pada lima sila tersebut.
Dengan demikian, Pancasila menjadi pilar utama dalam Orde Baru yang tidak hanya mengatur hubungan sosial dan politik, tetapi juga berfungsi sebagai simbol yang mengukuhkan posisi Suharto sebagai pemimpin yang sah dan tak terbantahkan. Namun, dalam praktiknya, ideologi ini sering kali digunakan sebagai alat untuk membungkam perbedaan pendapat dan menegakkan sistem yang lebih otoriter. Pancasila di era Orde Baru tidak hanya mencerminkan konsensus politik, tetapi juga menjadi sarana untuk mempertahankan kekuasaan yang sangat terpusat, sekaligus membatasi ruang bagi oposisi dan kebebasan berpendapat.
Referensi
Feith, H. (2007). The Indonesian President Sukarno: A Political Biography. Cornell University Press.
Legge, J. D. (2003). Sukarno: A Political Biography. Allen & Unwin.
Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. Westview Press.
Van Klinken, G. (2003). Crisis, Conflict, and Change in Indonesia. Rowman & Littlefield Publishers.
0 Response to "Merumuskan Orde Baru: Membangun Tatanan Politik Baru (1965-1968)"
Posting Komentar