-->

Partai-Partai Politik, Pemilu, dan Penguatan Dukungan Politik: Usaha Menuju Kekuasaan di Indonesia (1965-1968)

Periode 1965-1968 dalam sejarah politik Indonesia adalah waktu yang sangat penting dan penuh gejolak, ditandai dengan berbagai perubahan kekuasaan yang signifikan, baik di level partai politik maupun dalam pelaksanaan pemilu. Selama periode ini, ketegangan politik meningkat pesat, terutama disebabkan oleh perbedaan visi dan ideologi antara berbagai kekuatan politik yang ada. Pergeseran ini tidak hanya terjadi di pemerintahan, tetapi juga mencerminkan perubahan besar dalam dinamika sosial dan budaya di Indonesia.


“Dalam demokrasi, partai politik adalah instrumen utama yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam proses politik dan menentukan arah pemerintahan. Di Indonesia, perjalanan partai-partai politik menuju kekuasaan tidak lepas dari dinamika pemilu, strategi-strategi penguatan dukungan politik, dan perubahan lanskap politik yang terjadi pada periode 1965-1968.”

Periode 1965-1968 dalam sejarah politik Indonesia adalah waktu yang sangat penting dan penuh gejolak, ditandai dengan berbagai perubahan kekuasaan yang signifikan, baik di level partai politik maupun dalam pelaksanaan pemilu. Selama periode ini, ketegangan politik meningkat pesat, terutama disebabkan oleh perbedaan visi dan ideologi antara berbagai kekuatan politik yang ada. Pergeseran ini tidak hanya terjadi di pemerintahan, tetapi juga mencerminkan perubahan besar dalam dinamika sosial dan budaya di Indonesia. 

Era Demokrasi Liberal yang telah ada sejak kemerdekaan pun berakhir, memberi jalan bagi dimulainya era Orde Baru yang lebih otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto. Pemilu, yang seharusnya menjadi sarana demokrasi untuk memilih wakil rakyat, pada masa ini berubah menjadi arena perebutan legitimasi politik yang sangat intens, dengan fokus yang tidak hanya pada perolehan kursi, tetapi juga pada kontrol ideologi dan arah kebijakan negara.

Partai-Partai Politik di Indonesia pada 1965-1968

Di antara tahun 1965-1968, Indonesia mengalami ketegangan politik yang luar biasa. Tiga kekuatan besar mendominasi panggung politik nasional: kelompok kiri yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), kelompok kanan yang terdiri dari militer dan partai-partai berbasis agama seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta kelompok sekuler yang dipimpin oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketegangan ini terlihat jelas dalam persaingan sengit antar partai yang berjuang untuk mendapatkan kekuasaan.

Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa itu adalah kekuatan yang sangat dominan, dengan strategi yang terencana dengan baik. Mereka tidak hanya fokus pada dukungan dari dalam negeri, tetapi juga menjalin hubungan internasional dengan negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan China. PKI berhasil menarik perhatian kelompok buruh dan petani dengan menawarkan janji-janji kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta mengusung ideologi sosialisme dan komunisme. 

Di sisi lain, kelompok kanan yang dipimpin oleh militer dan partai-partai berbasis agama seperti NU dan Masyumi, mengambil pendekatan yang berbeda, lebih menekankan pada nilai-nilai agama dan peran militer dalam menjaga stabilitas negara.

Di samping itu, partai-partai sekuler, terutama PNI, memainkan peran penting dalam mendukung pemerintahan Sukarno. Namun, pengaruh mereka semakin berkurang seiring dengan meningkatnya ketegangan antara Sukarno dan militer, serta munculnya kekuatan politik baru yang mendukung perubahan kekuasaan.

Pemilu Sebagai Arena Perebutan Dukungan Politik

Pemilu di Indonesia pada masa ini lebih dari sekadar cara untuk memilih wakil rakyat. Pemilu menjadi medan pertempuran legitimasi politik antara berbagai kekuatan ideologis yang berseteru. Pemilu pertama setelah kemerdekaan yang diadakan pada tahun 1955, meskipun dianggap lebih demokratis dibandingkan pemilu sebelumnya, ternyata tidak mampu menyelesaikan perpecahan mendalam antar partai. Ketidakpuasan terhadap hasil pemilu tersebut memicu ketegangan politik yang semakin meningkat, menciptakan suasana yang semakin tidak stabil.

Pada tahun 1965, situasi politik di Indonesia semakin memanas. Ketegangan ini mencapai puncaknya dengan tragedi G30S/PKI pada 30 September 1965. Peristiwa ini terjadi akibat konfrontasi antara militer dan PKI, yang berujung pada pembunuhan enam jenderal senior TNI dan satu perwira. Konflik ini dipicu oleh ketakutan militer terhadap ambisi PKI untuk memperkuat pengaruhnya dalam pemerintahan, serta upaya PKI untuk memaksakan ideologi komunis di Indonesia. Sebelum tragedi G30S/PKI, hubungan antara Presiden Sukarno dan militer juga sudah tegang, terutama karena keberpihakan Sukarno terhadap PKI dan kebijakan luar negeri yang lebih pro-komunis.

Setelah tragedi G30S/PKI, situasi politik Indonesia mengalami perubahan besar. Militer, yang sebelumnya mendukung pemerintahan Sukarno, mulai mengambil alih peran dominan. Dengan dukungan dari partai-partai politik lain, terutama Masyumi dan NU, yang merasa terancam oleh dominasi PKI, militer berhasil menggulingkan rezim Sukarno. Pada tahun 1966, Sukarno terpaksa menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang memberikan wewenang penuh kepada Soeharto untuk mengendalikan pemerintahan.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto membawa perubahan besar dalam struktur sosial dan ekonomi Indonesia. Soeharto, dengan dukungan militer dan partai-partai Islam, mulai meluncurkan program-program pembangunan yang lebih terpusat dan otoriter. Kebijakan ini membawa perubahan signifikan dalam perekonomian Indonesia, termasuk devaluasi mata uang, stabilisasi ekonomi, dan pembangunan infrastruktur yang pesat. 

Namun, di sisi lain, langkah-langkah otoriter Soeharto dalam membatasi kebebasan politik dan menekan oposisi, termasuk pembubaran partai-partai politik yang dianggap bertentangan dengan pemerintahan baru, menjadi dasar bagi pemerintahan Orde Baru yang berlangsung lebih dari tiga dekade.

Periode 1965-1968 menandai awal dari proses Islamisasi dalam politik Indonesia. Di masa ini, partai-partai Islam, yang sebelumnya tidak begitu berpengaruh, mulai mengambil peran yang lebih signifikan dalam politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Ini juga menunjukkan adanya perubahan besar dalam pola pemilihan umum, dengan fokus pada pemilihan yang lebih terstruktur dan dikoordinasikan oleh pemerintah. Hal ini pada gilirannya memperkuat kontrol politik Orde Baru yang semakin otoriter.

Dengan demikian, periode 1965-1968 menjadi titik balik yang krusial dalam perjalanan politik Indonesia. Pergeseran kekuasaan yang dramatis ini menggantikan era Demokrasi Liberal yang penuh ketegangan dengan era Orde Baru yang lebih terpusat dan otoriter, memberikan dampak yang sangat besar terhadap sistem pemerintahan, ekonomi, dan struktur sosial Indonesia di abad ke-20.

Penguatan dukungan politik menuju kekuasaan di Indonesia, terutama menjelang era Orde Baru, ternyata jauh lebih rumit daripada sekadar meraih suara dalam pemilu. Meskipun pemilu adalah salah satu aspek penting, penguatan dukungan politik sebenarnya melibatkan pembentukan koalisi yang kuat, pengaruh di tingkat lokal, dan penciptaan kestabilan politik yang berkelanjutan. Setiap partai politik pada masa itu berusaha untuk memperkuat posisinya, baik di tingkat nasional maupun daerah, demi memastikan kelangsungan kekuasaan dan memenangkan persaingan ideologi yang semakin memanas.

Salah satu strategi yang diterapkan oleh partai-partai politik adalah dengan mengendalikan dan mempengaruhi media massa. Di periode ini, media menjadi alat yang sangat penting dalam membangun narasi politik. Mereka yang mendukung Presiden Sukarno dan militer, termasuk Soeharto, menyadari bahwa untuk memperkuat legitimasi mereka, mereka perlu menguasai saluran komunikasi massa yang dapat mempengaruhi opini publik. 

Media massa, seperti surat kabar, radio, dan televisi yang mulai berkembang, menjadi sarana utama untuk menyebarkan ideologi dan program-program politik yang mereka usung. Pada saat itu, media seperti Koran Rakjat yang dikelola oleh PKI dan Kedaulatan Rakyat yang lebih mendukung pemerintah menjadi arena pertarungan ideologi yang tak terlihat. Penyebaran informasi melalui media ini sangat krusial dalam membentuk opini masyarakat, menciptakan citra positif bagi penguasa yang ada, serta menghalau kritik dari pihak oposisi.

Selain itu, hubungan internasional memiliki peran yang sangat krusial dalam memperkuat posisi politik di dalam negeri. Ketika Indonesia menghadapi ketegangan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, PKI yang berafiliasi dengan ideologi komunis mulai memperkuat jalinan mereka dengan Uni Soviet dan China. Dukungan dari kedua negara ini tidak hanya bersifat ideologis, tetapi juga material, di mana Indonesia menerima bantuan ekonomi dan politik. 

Keberpihakan Indonesia pada blok komunis ini menjadi salah satu faktor yang memperburuk ketegangan domestik, terutama dengan pihak militer yang cenderung pro-Barat. Namun, kelompok yang lebih dekat dengan Barat, seperti partai-partai Islam dan militer, berusaha memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya untuk mendapatkan dukungan dan bantuan. Hubungan internasional ini tidak hanya memperkuat posisi di dalam negeri, tetapi juga memberikan legitimasi tambahan terhadap kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh pihak yang berkuasa.

Di balik layar, proses konsolidasi kekuasaan oleh militer, khususnya oleh Jenderal Soeharto, berlangsung dengan sangat hati-hati dan terorganisir. Suharto, yang awalnya hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan Sukarno, mulai memperkuat posisinya melalui hubungan erat dengan kelompok-kelompok yang menentang PKI dan mereka yang merasa terpinggirkan oleh pemerintahan Sukarno. Soeharto memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan-kebijakan Sukarno yang semakin tidak stabil, termasuk masalah ekonomi yang semakin memburuk, serta ketidakmampuan pemerintah untuk mengendalikan pengaruh PKI yang semakin kuat. 

Di sini, Soeharto tidak hanya membangun koalisi dengan partai-partai berbasis Islam seperti NU dan Masyumi, tetapi juga dengan kalangan militer yang mendominasi struktur kekuasaan negara. Proses ini sangat strategis, karena Soeharto mampu menciptakan citra dirinya sebagai penyelamat negara, yang siap membawa Indonesia keluar dari krisis politik dan ekonomi yang tengah berlangsung.

Pemilu Sebagai Alat untuk Legitimasi

Pada tahun 1967-1968, pemilu tidak hanya berfungsi untuk memilih wakil rakyat, tetapi juga sebagai alat untuk memberikan legitimasi terhadap perubahan politik yang sedang terjadi. Setelah peristiwa G30S/PKI yang mengguncang tatanan politik Indonesia, Soeharto semakin memperkuat posisinya dengan mendapatkan dukungan dari partai-partai politik utama yang masih ada. 

Pemilu di bawah kekuasaan Orde Baru menjadi sarana untuk menunjukkan bahwa pemerintahan baru yang dipimpin oleh Soeharto memiliki dukungan rakyat, meskipun proses pemilu tersebut sering kali diwarnai oleh manipulasi politik dan tekanan terhadap oposisi. Di balik legitimasi yang coba dibangun, banyak pihak yang mengkritik integritas dan transparansi pemilu pada masa itu.

Pada periode ini, sistem pemilu juga mulai mengalami perubahan yang signifikan. Orde Baru menerapkan sistem pemilu yang lebih terstruktur dan dikoordinasikan oleh pemerintah pusat, yang memungkinkan pengawasan ketat terhadap proses pemilihan. Partai-partai politik didorong untuk membentuk koalisi yang lebih solid dan luas, serta mendapatkan dukungan dari berbagai sektor masyarakat, baik dari kalangan militer, partai-partai berbasis agama, maupun kelompok bisnis yang mendukung pemerintah. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa posisi kekuasaan yang dipegang Soeharto tetap terjaga, sekaligus menunjukkan kepada dunia luar bahwa Indonesia telah menjalani proses demokrasi, meskipun dalam kenyataannya, kebebasan politik sangat dibatasi.

Namun, di balik semua ketelitian dalam pengelolaan pemilu ini, banyak yang mengungkapkan kritik terhadap keberpihakan pemerintah terhadap hasil-hasil pemilu. Banyak partai yang terhalang untuk berpartisipasi dalam pemilu, sementara partai yang didukung oleh pemerintah mendapatkan berbagai keuntungan, seperti akses media, dana kampanye, dan jaminan keamanan bagi para kandidat mereka. Masyarakat yang tidak sejalan dengan pemerintahan baru juga harus menghadapi pembatasan hak politik dan kebebasan berserikat. Dalam banyak kasus, pemilu ini tidak benar-benar mencerminkan suara rakyat, melainkan lebih sebagai alat legitimasi bagi rezim yang semakin otoriter.

Dengan demikian, meskipun pemilu saat ini dianggap berhasil menciptakan kestabilan politik yang diinginkan oleh pemerintahan Orde Baru, di sisi lain, proses ini juga mencerminkan ketegangan antara tujuan politik dan praktik demokrasi yang sesungguhnya. Pemilu menjadi lebih dari sekadar proses demokrasi; ia juga berfungsi sebagai sarana untuk menunjukkan kekuatan politik yang dimiliki oleh pemerintah baru, serta untuk memastikan bahwa dominasi Orde Baru tetap terjaga di tengah tantangan dari berbagai pihak oposisi yang semakin terpinggirkan.


Referensi:

Feith, Herbert. The Indonesian Revolution and the Consolidation of the Indonesian State. Cornell University Press, 1962.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia. Stanford University Press, 1993.

Crouch, Harold. The Army and Politics in Indonesia. Cornell University Press, 1978.

Anderson, Benedict R. O'G. Java in a Time of Revolution. Cornell University Press, 1972.

0 Response to "Partai-Partai Politik, Pemilu, dan Penguatan Dukungan Politik: Usaha Menuju Kekuasaan di Indonesia (1965-1968)"

Posting Komentar

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed