Suharto sebagai Presiden Penuh: Momen Sejarah Indonesia (1965-1968) Menuju Kekuasaan
“Orde Baru dibangun atas dasar kepentingan bangsa, demi stabilitas nasional, dan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat Indonesia.” — Suharto
Pernyataan ini menggambarkan bagaimana Suharto membangun narasi kekuasaannya setelah mengambil alih tampuk kepemimpinan pada tahun 1966, pasca-kejatuhan Presiden Sukarno. Namun, perjalanan Suharto menuju puncak kepresidenan tidaklah semudah itu. Ada banyak peristiwa yang membentuk periode ini, termasuk konspirasi, ketegangan politik, dan krisis ekonomi yang mencapai puncaknya antara tahun 1965 hingga 1968.
Keberhasilan Suharto dalam memperkuat kekuasaannya tidak hanya berasal dari keahliannya dalam strategi militer, tetapi juga dari keterampilan politik yang tajam serta kemampuannya dalam mengelola krisis yang melanda Indonesia pada masa itu.
Latar Belakang Kejatuhan Sukarno dan Peran Suharto
Kejatuhan Sukarno di akhir tahun 1960-an bukanlah hasil dari satu peristiwa tunggal, melainkan akibat dari serangkaian krisis yang mengancam stabilitas negara. Suharto tidak langsung menjadi presiden setelah menggantikan Sukarno pada tahun 1967. Proses transisi kekuasaan ini dimulai dengan insiden yang mengguncang Indonesia pada tahun 1965, yaitu Gerakan 30 September (G30S), yang mengubah tatanan politik nasional dan memicu ketegangan yang luar biasa. Gerakan ini, yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno, berujung pada pembunuhan beberapa jenderal tinggi militer Indonesia dan membawa negara ke dalam ketidakpastian yang besar.
Meskipun Suharto tidak terlibat langsung dalam peristiwa tersebut, ia segera diangkat sebagai komandan operasi pemulihan keamanan oleh Sukarno, yang menunjukkan kemampuannya dalam memimpin di tengah situasi darurat.
Peran Suharto dalam mengatasi krisis ini sangat penting, memberikan gambaran sebagai sosok yang mampu membawa stabilitas militer di tengah kekacauan negara. Keputusan cepat dan tegasnya untuk menangani gerakan tersebut membantu meredakan ketegangan yang semakin meningkat di kalangan masyarakat dan militer. Ini tidak hanya meningkatkan popularitasnya di kalangan angkatan bersenjata, tetapi juga memberinya kesempatan untuk memperkuat posisi dan pengaruhnya dalam pemerintahan.
Di tengah ketidakpastian yang melanda Indonesia, di mana pemerintahan Sukarno semakin lemah, Suharto memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi militernya dan meraih pengaruh politik yang lebih besar, yang akhirnya mengarah pada pengambilalihan kekuasaan secara resmi.
Peran Suharto dalam Menangani Krisis Politik dan Ekonomi (1965-1966)
Setelah peristiwa G30S, ketegangan antara berbagai kelompok ideologis di Indonesia semakin meningkat, terutama antara militer, PKI (Partai Komunis Indonesia), dan kelompok Islam konservatif. Sementara itu, perekonomian Indonesia semakin terpuruk akibat kebijakan ekonomi Sukarno yang dikenal sebagai Ekonomi Terpimpin. Kebijakan ini menekankan kontrol negara atas hampir semua aspek perekonomian, termasuk perdagangan, industri, dan distribusi barang.
Akibatnya, inflasi melambung tinggi, cadangan devisa menipis, dan ketidakstabilan ekonomi menjadi luar biasa. Pada tahun 1965, inflasi mencapai lebih dari 600%, dan Indonesia terisolasi di kancah internasional, baik secara ekonomi maupun diplomatik. Keadaan ekonomi yang melemah ini memberikan peluang bagi kelompok-kelompok yang mendukung perubahan sistem untuk berusaha menggulingkan pemerintahan Sukarno.
Dalam situasi yang sangat kritis ini, pada 11 Maret 1966, Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Suharto, yang memberinya kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban dan menangani berbagai masalah politik di Indonesia. Dengan adanya Supersemar ini, Suharto mulai mengambil peran aktif dalam mengelola negara, mengendalikan militer, dan mengurangi pengaruh PKI yang dianggap sebagai salah satu penyebab kerusuhan di tanah air. Meskipun langkah ini bertujuan untuk menstabilkan negara, secara efektif itu menandai akhir dari pengaruh Sukarno dalam politik Indonesia dan membuka jalan bagi Suharto untuk mengambil alih kepemimpinan.
Namun, Suharto tidak hanya mengandalkan kekuatan militer untuk menjaga stabilitas. Ia juga menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Barat dan lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan IMF. Langkah ini diambil untuk mendapatkan dukungan finansial yang sangat dibutuhkan Indonesia pada saat itu, yang dapat membantu meredakan dampak krisis ekonomi yang semakin parah. Dengan kecerdikannya, Suharto juga memperkenalkan kebijakan ekonomi baru yang lebih pro-pasar dan mendukung investasi asing, yang pada akhirnya menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade ke depan.
Di sisi lain, hubungan dengan pihak-pihak yang mendukung komunisme di Indonesia semakin menipis, dan militer Indonesia mendapatkan pengaruh yang lebih besar dalam pemerintahan. Ini juga mencerminkan berkurangnya keberadaan ideologi sosialisme dan komunisme dalam sistem politik Indonesia, yang beralih ke pendekatan yang lebih konservatif dan berorientasi pada pembangunan.
Secara keseluruhan, meskipun Suharto tidak berniat menjadikan situasi krisis ini sebagai langkah awal untuk meraih kekuasaan, ia berhasil memanfaatkan momentum tersebut untuk memperkuat posisinya dalam politik dan mengubah arah perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk. Keberhasilannya dalam membawa Indonesia keluar dari krisis politik dan ekonomi menjadikannya sosok sentral dalam sejarah Indonesia, meskipun harus membayar dengan harga yang sangat mahal: pengorbanan terhadap demokrasi dan kebebasan politik di negara ini.
Momen Puncak: Suharto Menjadi Presiden Penuh (1967)
Walaupun Suharto sudah memegang kekuasaan yang sangat besar setelah mendapatkan Supersemar pada Maret 1966, dia tidak langsung mengambil alih kursi kepresidenan dari Sukarno. Keputusan untuk secara resmi menggantikan Sukarno sebagai presiden Indonesia diambil dengan hati-hati. Suharto sangat menyadari pentingnya legitimasi dalam setiap langkah yang diambilnya. Selama satu tahun setelah mendapatkan wewenang penuh untuk memulihkan ketertiban, dia berusaha mengonsolidasikan kekuasaannya, baik di kalangan militer maupun di antara tokoh-tokoh politik lainnya.
Namun, pada tahun 1967, situasi politik semakin mendesak, terutama setelah ketidakstabilan yang berkepanjangan, krisis ekonomi yang semakin parah, dan tekanan dari luar negeri, mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk secara resmi mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden Indonesia.
Pengangkatan Suharto oleh MPRS terjadi setelah serangkaian peristiwa penting yang mengguncang Indonesia selama masa transisi ini. Salah satu momen kunci adalah keputusan untuk memberhentikan Sukarno sebagai Presiden Indonesia, yang diumumkan pada 22 Maret 1967, setelah proses politik yang penuh ketegangan. Langkah ini, yang dilaksanakan melalui pernyataan MPRS, menandai berakhirnya masa pemerintahan Sukarno yang berlangsung lebih dari dua dekade. Keputusan untuk mengakhiri kekuasaan Sukarno, meskipun sebagian besar disebabkan oleh masalah kesehatan dan ketidakmampuannya mengatasi krisis politik dan ekonomi yang semakin memburuk, juga berkaitan dengan keinginan untuk mengurangi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kelompok kiri lainnya yang dianggap sebagai ancaman bagi kestabilan negara.
Puncaknya, pada bulan Maret 1968, Suharto secara resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia yang penuh, meskipun saat itu ia sudah memiliki kendali yang sangat besar atas pemerintahan. Pelantikan ini menandai awal dari era Orde Baru, sebuah periode yang berlangsung lebih dari tiga dekade dan memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Di bawah kepemimpinan Suharto, era Orde Baru dikenal dengan pendekatan yang sangat terfokus pada stabilitas negara, dengan militer sebagai pilar utama.
Namun, di balik stabilitas itu, pemerintahan Suharto juga terkenal dengan kontrol ketat terhadap oposisi politik, pembatasan kebebasan berpendapat, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis. Meskipun fakta-fakta ini sering kali disorot dalam studi sejarah Indonesia, mereka sering kali terlupakan dalam narasi pembangunan ekonomi yang dibanggakan selama masa Orde Baru.
Kekuasaan Penuh Suharto: Kebijakan dan Pengaruh Politik
Setelah resmi dilantik sebagai Presiden, Suharto tidak hanya menguasai militer yang menjadi fondasi kekuasaannya, tetapi juga menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali ekonomi Indonesia yang hancur akibat krisis. Pada saat itu, negara ini terjebak dalam kemiskinan ekstrem, hiperinflasi, dan ketergantungan pada bantuan luar negeri, sehingga memerlukan kebijakan ekonomi yang radikal dan berani. Suharto, yang semakin mempercayakan urusan ekonomi kepada para teknokrat pilihannya, memulai reformasi ekonomi yang lebih pro-pasar, yang jelas berbeda dengan kebijakan ekonomi Sukarno yang lebih proteksionis dan sosialis.
Salah satu langkah awal yang diambilnya adalah memperkenalkan Program Stabilisasi Ekonomi, yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi tinggi dan memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. Kebijakan ini, yang lebih liberal terhadap perekonomian, mendapat dukungan besar dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang melihat Indonesia sebagai sekutu strategis dalam menghadapi penyebaran komunisme di Asia Tenggara selama Perang Dingin.
Namun, keberhasilan ekonomi ini tidak datang tanpa pengorbanan. Suharto dengan cepat membawa Indonesia ke dalam kerangka hubungan internasional yang lebih dekat dengan negara-negara kapitalis, terutama setelah Indonesia berusaha menarik bantuan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), yang memberikan dukungan finansial penting selama tahun-tahun awal pemerintahannya. Di sisi lain, hubungan Indonesia dengan negara-negara sosialis, termasuk Uni Soviet dan Cina, semakin menipis seiring dengan kebijakan anti-komunisme yang diusung Suharto.
Secara politik, Suharto semakin memperkuat cengkeramannya atas pemerintahan dengan melakukan pengawasan ketat terhadap partai-partai politik, serikat buruh, dan media. Di awal masa pemerintahannya, Suharto memperkenalkan sistem Demokrasi Pancasila, yang dirancang untuk mengendalikan proses politik di Indonesia dengan menjadikan Golkar sebagai partai utama. Golkar, yang awalnya dibentuk untuk mendukung pemerintahan Sukarno, berubah menjadi alat utama Suharto untuk meraih kemenangan dalam setiap pemilihan umum selama Orde Baru. Partai ini memiliki pengaruh yang sangat besar di parlemen dan lembaga politik lainnya, sementara partai-partai oposisi hampir tidak memiliki ruang untuk bernafas.
Meskipun sistem ini dikenal sebagai "demokrasi terpimpin", kenyataannya tidak ada sistem multi-partai yang bebas seperti yang diharapkan dalam demokrasi. Seluruh kekuasaan politik sebenarnya berada di tangan Suharto dan jaringannya yang terdiri dari militer dan Golkar. Bahkan, media dan kebebasan berpendapat dibatasi dengan ketat.
Selama masa pemerintahannya, Suharto memanfaatkan kekuasaan negara untuk mengawasi, mengendalikan, dan membungkam kritik terhadap pemerintahannya, baik melalui sensor media, penangkapan politisi oposisi, maupun penyalahgunaan hukum untuk menindak pihak-pihak yang dianggap mengancam stabilitas negara.
Salah satu fakta menarik yang sering terlewatkan adalah meskipun Orde Baru sering dipuji karena berhasil membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, sistem yang dibangun oleh Suharto sangat bergantung pada kekuatan militer, jaringan patronase, dan pengawasan ketat terhadap masyarakat sipil.
Di balik kemakmuran yang sering dibanggakan, banyak orang merasakan dampak dari kekuasaan yang otoriter, seperti pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis, terutama dalam kasus-kasus pembantaian politik yang terjadi pada tahun 1965-1966, di mana puluhan ribu orang diduga menjadi korban dari "pembersihan" terhadap PKI dan para simpatisannya.
Referensi
Feith, H. (2007). The Indonesian President Sukarno: A Political Biography. Cornell University Press.
Legge, J. D. (2003). Sukarno: A Political Biography. Allen & Unwin.
van Klinken, G. (2003). Crisis, Conflict, and Change in Indonesia. Rowman & Littlefield Publishers.
Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. Westview Press.
0 Response to "Suharto sebagai Presiden Penuh: Momen Sejarah Indonesia (1965-1968) Menuju Kekuasaan"
Posting Komentar