-->

Peristiwa Malari, Gerakan Mahasiswa Masa Orde Baru

Peristiwa Malairi merupakan gerakan perlawanan mahasiswa pada masa Order Baru yang bertujuan untuk menolak dengan masuknya modal asing ke Indonesia
Peristiwa Malari di Tahun 1974

Peristiwa Malari, Gerakan Mahasiswa Masa Orde Baru-Tahun 1970 kondisi di Indonesia sering kali diwarnai dengan berbagai aksi protes mahasiswa pada pemeritah. Tentu saja aksi itu dilakukan bukan tanpa sebab, ada berbagai alasan yang melatar belakanginya seperti berkurangnya anggaran pendidikan, jumlah penerimaan mahasiswa yang meningkat tapi tidak diimbangi dengan peningkatan fasilitas dan anggaran pendidikan, serta peningkatan inflasi.

sehingga menambah kehidupan semakin susah. Ditambah dengan merajalelanya korupsi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan yang tidak menyejahterakan rakyat karena hanya dinikmati oleh segelintir kelompok tertentu. 

Sejalan dengan kenaikan harga bensin dan semakin meningkatnya praktek korupsi, para aktivis mahasiswa yang diantaranya adalah Victor D, Arief Budiman, Syahrir, dan Julius Usman membentuk gerakan mahasiswa bernama “Mahasiswa Menggugat”. Bagi mereka lebih baik mengutamakan pemberantasan korupsi daripada menaikkan harga bensin. 

Sementara mahasiswa Bandung yang tergabung dalam kelompok Studi Grup Mahasiswa Indonesia pada 21 Januari 1970 mengeluarkan sebuah petisi yang berjudul “Petisi Keadilan”. 

Mereka menuntut agar pemerintah melakukan kontrol yang ketat terhadap penggunaan dan pembagian uang negara. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi maka rakyat tidak akan menerima keputusan tentang kenaikan harga bensin. 

Politik Tahun 1970-an Latar Belakang Peristiwa Malari

Memasuki bulan Juli di tahun 1970, protes terhadap praktek korupsi semakin gencar karena imbas dari korupsi adalah fasilitas kampus yang semakin menyusut. Kondisi belajar yang kurang nyaman dirasakan oleh mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan mahasiswa di Yogyakarta. Mahasiswa membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang dipimpin oleh Arief Budiman, Syahrir, dan Marsilam Simanjuntak. 

Mahasiswa Bandung yang tegabung di kelompok Studi Grub Mahasiswa Indonesia ahirnya membentuk “Bandung Bergerak” yang arah perjuanganya sejalan dengan KAK. Meski pada awalnya sempat dicurigai jika gerakan Arief Budiman dkk ini dijalankan oleh partai politik tertentu.

Pada kala itu sikap saling curiga menjadi hal biasa, apalagi jika menimbang derasnya provokasi pada mahasiswa dari berbagai pihak. Kelompok mahasiswa Jakarta dan Bandung akhirnya datang ke berbagai pejabat tinggi di kementerian, menempelkan poster-poster anti korupsi di kantor Pertamina dan Kejaksaan Agung. 

Aksi protes dari mahasiswa semakin panas dan berani, maka muncullah ide untuk mengadakan malam tirakatan pada malam 15 Agustus 1970 yang bertempat di Jalan Thamrin Jakarta. Namun rencana tersebut ditentang oleh Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yaitu Jenderal Soemitro. 

Bahkan ia mengancam jika mahasiswa tetap melaksanakan kegiatan tersebut akan dikirim tentara untuk membubarkan. Dari sini sudah dimulai ancaman oleh militer dalam menyelesaikan konflik. Perbedaan pendapat antara pihak mahasiswa dan pihak tentara tersebut dicairkan oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin dengan mengajukan pemecahan agar kegiatan tirakatan tetap dilaksanakan namun di rumah masing-masing. 

Gubernur Jakarta Ali Sadikin berjanji akan memadamkan lampu di wilayah kekuasaannya selama 5 menit. Kesepakatan tersebut akhirnya diterima oleh mahasiswa dan tentara. Ada satu tokoh yang tidak bersedia mematuhi kesepakatan antara mahasiswa dan tentara yang diusulkan oleh Ali Sadikin, yaitu penyair muda WS. Rendra. 

Dia tetap datang ke Jalan Thamrin untuk mengadakan kegiatan tirakatan disana. Akibatnya dia ditangkap oleh tentara. Parlemen kemudian bersedia membahas tentang Rancangan UndangUndang Anti Korupsi sehingga mahasiswa untuk sementara berhenti bergerak. 

Kesejahteraan mahasiswa terusik kembali menjelang pemilu tahun 1971 dengan banyaknya aktivitas mahasiswa yang mempromosikan pencalonan dari pihak Golkar. Salah satu tokoh mahasiswa yaitu Arief Budiman tidak setuju dengan aksi aktivis mahasiswa tersebut kemudian melakukan gerakan yang dinamakan “Golongan Putih”.

Gerakan bentukan Arief Budiman guna menghimpun orang-orang yang tidak ambil serta dalam pemilu dan golongan yang mengkritik keras para mahasiswa pendukung fraksi Golkar. Golongan Putih tidak mampu membendung suara yang berhasil didapat oleh Golkar hingga akhirnya Golkar berhasil menjadi pemenang pemilu 1971. 

Kemudian, Suharto mulai menekan partai poitik dengan menggabung sembila partai politik menjadi dua partai besar yaitu: Parti Persatuan Pembanguna (PPP) untuk masyarakat islam da Partai Demokrasi Indonesia (PDI) untuk partai nasionalis dan Kristen. 


Protes Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII)

Protes mahasiswa kembali lahir ketika Ibu Tien Suharto memberikan usulan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 1973 karena pembangunan ini dinilai kurang tepat melihat kondisi negara pada saat itu yang sedang mengalami masalah keuangan. Akhirnya berbagai reaksi mulai bermunculan dengan mengatasnamakan penghematan uang negara, contoh gerakan ini antara lain Gerakan Penghemat, Gerakan Akal Sehat (GAS) dan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. 

Pemerintah kemudian bersikap represif dengan melarang semua gerakan anti TMII. Tokoh-tokoh pemimpin gerakan mahasiswa seperti  Arief Budiman dan H.J Princen mulai ditangkap. Bahkan Beberapa koran (Media) juga ditutup dan wartawan mendapati berbagai macam tekanan. Persoalan itu kemudian dibawa ke meja DPR, dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Penyelidik yang akhirnya menghasilkan sebuah keputusan bahwa pembangunan TMII dilanjutkan dengan syarat tidak boleh menikmati fasilitas keuangan dari negara dan juga tidak ada sumbangan wajib. Di tahun yang sama tepatnya bulan Oktober para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung MPR/DPR untuk menyampaikan petisi bernama “Petisi 24 Oktober”. 

Petisi itu berisi tentang kritikan pada kebijakan pembangunan yang dinilai tidak populis serta hanya memberikan keuntungan pada kelompok tertentu. Gerakan itupun tidak meluas dan hanya berpusat di Jakarta. Kala itu konsep gerakan moral masih digunakan oleh mahasiswa,yaitu mahasiswa hanya sebatas memberikan kritik kebijakan dari pemerintah. 

Adapun isi petisi tersebut: 

  1. Strategi pembangunan perlu ditinjau ulang. Strategi baru hendaknya mampu memberikan/menciptakan keseimbangan di bidang politik, sosial dan ekonomi. 
  2. Rakyat harus dibebaskan dari ketidakpastian hukum, korupsi, serta penyelewenganpenyelewengan kekuasaan. 
  3. Perlunya refungsionalisasi lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat. 
  4. Penentuan masa depan adalah hak dan kewajiban generasi muda. Dilainsisi mahasiswa Jawa Timur seperti Universitas Brawijaya, IKIP Malang, Universitas Negeri Jember, IAIN, Institut Teknologi Surabaya, dan Universitas Airlangga mengeluarkan “Maklumat 73”, berikut adalah isi Maklumat 73: a) Bahwa suksesnya pelaksanaan pembangunan membutuhkan pemerintahan yang berwibawa dan bersih serta berorientasi pada kepentingan rakyat b) Motivasi pembangunan yang fundamental memerlukan pembinaan pendidikan yang demokratis dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh serta ditunjang oleh anggaran yang cukup.


Kontroversi Modal Asing

Di kalangan pengusaha terjadi rivalitas antara kelompok yang terpusat pada dua tokoh yaitu Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Murtopo. Jenderal Soemitro adalah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), sementara Jenderal Ali Murtopo adalah Asisten Pribadi (Aspri) Presiden dan Kepala Operasi Khusus (Opsus). 

Mahasiswa mulai melancarkan aksi kritik terhadap pembangunan yang berlandaskan bantuan asing yang akhirnya melahirkan pemerasan negara dan ketidakadilan sosial, karena adanya beberapa orang Jepang dan Cina yang bekerjasama dengan tokoh nasional untuk “menjual” Indonesia. Pada tanggal 6 November 1973 bertempat di Computer Centre UI telah berlangsung sebuah diskusi yang bertema “Penilaian Situasi Terakhir”. 

Peristiwa Malairi merupakan gerakan perlawanan mahasiswa pada masa Order Baru yang bertujuan untuk menolak dengan masuknya modal asing ke Indonesia
Kontrovesi model asing pemicu Peristiwa Malari


Diskusi tersebut dikoordinasikan oleh Hariman Siregar dan Syahrir dengan mendatangkan beberapa penceramah antara lain Ashadi Siregar, Fauzi, dan Chalid Aini yang ketiga-tiganya dari Grup Diskusi Juli Yogyakarta. Diskusi ini membahas tentang pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pincang. Keesokan harinya yaitu tanggal 7 November 1973, Hariman Siregar dan Gumilang Kartasasmita mensponsori kuliah taman di Fakultas Ekonomi UI dengan penceramah Dorodjatun Kuntjorojakti. 

Penanaman modal asing di Indonesia ini menjadi sorot perhatian, terutama modal dari Jepang Sedangkan dalam diskusi keesokan harinya di Lembaga Manajemen UI menghadirkan tema “Evaluasi Politik Luar Negeri”. Diskusi tersebut juga diprakarsai oleh Hariman Siregar yang merupakan ketua DM-UI dan Hermawan ketua SM Fakultas Kedokteran dengan menghadirkan penceramah dari luar yaitu Dr. Sudjatmoko. 

Selain menyelenggarakan diskusi-diskusi, para mahasiswa juga melakukan pertemuan-pertemuan yang cukup intensif. Pada tanggal 10 November 1973 pengurus Dewan Mahasiswa (DM) dari berbagai perguruan tinggi (UI, ITB, ITT, IKIP Bandung, Unpar, Unpad, Unbraw, dan ITS) mengadakan pertemuan tertutup di Bandung. 

Mereka mencapai kesepakatan bersama untuk mengadakan langkah-langkah bersama dengan gerakan serentak. Pada tanggal 11 November 1973 di kampus ITB dilakukan pertemuan tertutup oleh Dewan Mahasiswa yang mengambil keputusan untuk terus membangkitkan aksi spontanitas. Pengurus DM-UI dalam hal ini Hariman Siregar, mengatakan bahwa hukum positif yang berlaku sekarang ini menghambat proses modernisasi kultural, karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Mahasiswa sangat menyesalkan banyaknya sarjana hukum yang hanya berpegang pada nilai normatif, yang terlihat dari banyaknya vonis hukuman bagi koruptor sama dengan pencuri ayam, juga penyesalan akan banyaknya pejabat yang pandai bicara tapi tidak mampu bertindak tegas. Sebenarnya diantara kalangan mahasiswa sendiri juga terdapat perbedaan persepsi. 

Ada yang beranggapan bahwa pelaku gerakan dari mahasiswa bisa dibeli sehingga perjuangan yang sebenarnya kandas. Hariman Siregar sebagai ketua DM-UI sangat aktif mengkoordinasikan gerakan-gerakan mahasiswa.setelah dari Bandung, ia berangkat ke Yogyakarta untuk mengadakan pertemuan dengan para pemimpin mahasiswa. Pada saat yang bersamaan Senat Mahasiswa FE-UI mengeluarkan pernyataan sebagai berikut: 

  1. Mendesak pemerintah untuk membersihkan para pejabat yang menyalahgunakan wewenang/kedudukan dan mengambil keuntungan pribadi dalam pelaksanaan penanaman modal asing. 
  2. Tenaga asing harus memahami/mengenal kebudayaan dan adat istiadat bangsa Indonesia, bukan sebaliknya para karyawan Indonesia harus tunduk pada adat istiadat mereka. 
  3. Pemerintah perlu segera menyusun program yang realistis dan lengkap guna memberikan perlindungan kepada pengusahapengusaha kecil. 
  4. Modal asing harus menunjang tercapainya tujuan pembangunan dan dapat memberikan kesempatan kerja lebih banyak kepada rakyat. 
Di Balai Budaya Jakarta diselenggarakan diskusi bertema “Untung Rugi Modal Asing di Indonesia” dengan moderatornya adalah Mochtar Lubis. Sedangkan para pembahasnya adalah Dorodjatun Kuntjorojakti, Maruli Panggabean dan Suhadi. 

Diskusi di luar kampus itu diikuti oleh sejumlah mahasiswa dan seorang peserta dari Fakultas Sastra UI yaitu Sylvia Gunawan yang membacakan “Ikrar Warganegara Indonesia” yang isinya adalah sebagai berikut: Kami warganegara Indonesia yang berkumpul pada tanggal 30 November malam bertempat di Balai Budaya, menyadari akan arah perkembangan pembangunan ekonomi dan sosial bangsa pada dewasa ini, berikrar: 

  • Menegakkan kembali kebanggaan nasional yang sebagian telah dicemarkan oleh berbagai kalangan masyarakat 
  • Menggunakan dengan segala cara yang berdasarkan konstitusi untuk menegakkan kembali kebanggaan nasional tersebut 
  • Menetapkan hari ini, tanggal 30 November 1973 sebagai titik tolak usaha ini. 

Setelah ikrar tersebut dibacakan, kemudian diedarkan untuk mendapatkan tandatangan dari orangorang yang menyetujuinya, dan ternyata berhasil mengumpulkan 155 penandatangan antara lain Mochtar Lubis, Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution, Taufik Abdullah, Yuwono Sudarsono, Dorodjatun Kuntjorojakti, Marsilam Simandjuntak, Remy Leimena, Hariman Siregar, Yozar Anwar, Louis Wangge, dan lainnya. 

Puncak aksi terhadap isu modal asing adalah saat datangnya Menteri Kerjasama Belanda yaitu Pronk ke Jakarta. Pronk yang merupakan ketua IGGI disambut dengan demonstrasi oleh mahasiswa Indonesia. Bahkan saat berkunjung ke Yogyakarta Pronk juga disambut demonstrasi oleh GMII (Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk rakyat Indonesia). 

Mahasiswa menyerukan anti modal asing, dan kedatangan Pronk dianggap sebagai lambang ketergantungan Indonesia terhadap modal asing. Selain melakukan aksi, beberapa kelompok mahasiswa juga mendatangi pimpinan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengajukan beberapa pertanyaan seputar modal asing. 

Bahkan delegasi mahasiswa dari ITB mendatangi Bappenas dan menuntut agar permainan kotor modal asing tidak diteruskan. Selain itu Dewan Mahasiswa dari ITB, Unpad, dan Unpar berdemonstrasi di depan kedutaan Jepang untuk mengutuk kerjasama modal Jepang.


Kedatangan Perdana Menteri Tanaka Dalam Peristiwa Malari 1974

Pada tanggal 9 Januari 1974, sebelum kedatangan Perdana Menteri Tanaka, para mahasiswa telah berdemonstrasi menentang para Asisten Pribadi (Aspri) presiden. Di Jakarta dan Bandung terjadi pembakaran boneka-boneka yang menggambarkan Soedjono Humardani dan Perdana Menteri Jepang, Tanaka. 

Tanggal 9 Januari 1974, sebelum datangnya Perdana Menteri Tanaka, mahasiswa telah membentuk aksi dan berdemonstrasi menentang para Asisten Pribade (ASPRI) Presiden. Pada peristiwa itu, Jakarta dan Bandung mejadi titik aksi pembakaran boneka-boneka ilustrasi perwujudan dari Soedjono Humardani dan Perdana Menteri Jepang, Tanaka. Para Aspri menyerang balik mahasiswa, mereka menuduh mahasiswa telah ditunggangi oleh kekuatan luar yang anti Suharto. 

Tanggal 11 Januari, Presiden Suharto menerima delegasi DewanDewan Mahasiswa yang menyampaikan kecaman dan mempertanyakan kewibawaan presiden yang dirongrong tingkah laku para pemimpin yang memperkaya diri secara tidak sah. Opsus yang dipimpin Ali Moertopo memiliki kekuasaan yang besar melebihi pemerintah dan parlemen. Pertemuan antara delegasi mahasiswa dan Presiden Suharto tidak menghasilkan apa-apa karena presiden tidak mengambil keputusan apapun. 

Dari situlah kemudian mahasiswa melalui sebuah Apel Siaga Mahasiswa di kampus UKI pada tanggal 12 Januari mengajak masyarakat untuk menyambut Perdana Menteri Tanaka dengan gerakan aksi. Mahasiswa juga mengajak masyarakat untuk memasang bendera setengah tiang pada hari kehadiran Perdana Menteri Tanaka, selain itu juga mengajak koran untuk memboikot pemberitaan tentangnya, dan mengadakan aksi total pada tanggal 15 Januari 1974. 

Tepat pada 14 Januari 1974 masa mahasiswa berdemonstrasi di lapangan udara Halim Perdanakusuma sebagai bentuk protes atas kedatangan Perdana Menteri Tanaka. Namun pada hari itu belum terjadi bentrokan, situasi masih berjalan dinamis. Mahasiswa menonjolkan isu-isu tentang keresahan masyarakat, anti cukong dan modal asing terutama dari Jepang. 

Tanggal 15 Januari 1974 masa mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran UI Jalan Salemba. Karena sudah melibatkan berbagai elemen terasuk diluar mahasiswa, gerakan inipun mengarah pada tindakan kerusuan. Mereka menyusun kembali Tritura yang berisi: 

  1. Bubarkan Aspri 
  2. Turunkan harga 
  3. Ganyang korupsi. Tuntutan pembubaran Aspri oleh mahasiswa sejak awal ditanggapi Ali Moertopo, dan dijelaskannya bahwa hal tersebut (Aspri) merupakan hak presiden. Pembubaran atau tetap dipertahankannya Aspri ini ada ditangan Presiden. 

Pasca pernyataan tersebut masa dan mahasiswa mulai bergerak menuju Monumen Nasional (Monas) di Lapangan Merdeka. Dalam perjalanan, jumlah massa juga semakin bertambah sangat banyak karena para pelajar rupanya juga turut ikut masuk dalam barisan mahasiswa. 

Massa aksi yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa ini kemudian bergerak menurunkan bendera-bendera penyambutan tamu negara yang ada di sepanjang pinggir jalan menjadi setengah tiang sebagai tanda duka cita atas kedatangan Perdana Menteri Tanaka. Perdana Menteri Jepang Tanaka dan putrinya Makiko beserta rombongan menyentuh landasan Halim Perdanakusuma pukul 19.45 pada tanggal 14 Januari 1974.

Datangnya tamu Jepang ini tidak disambut dengan upacara militer kenegaraan, setelahnya rombngan Perdana mentee Jepang Tanaka beserta Presiden Suharto mulai menuju Wisma Negara menggunakan Mercedes-600 “Indonesia I”.

Sedangkan kelompok demostrans yang gagal/tdiak dapat memasuki Halim Perdanakusuma terus berupaya untuk menyelundupkan beberapa orang guna menerobos keamanan. Aksi demonstran pada kala itu tidak terlalu beringas, hal ini dikarenakan mereka telah memiliki rencana untuk esok hari dengan aksi yang lebih kuat.


Puncak Peristiwa Malari 1974 Pada 15 Januari 1974

Sejak pagi pada tanggal 15 Januari 1974 arus massa datang dari berbagai jurusan ke lapangan Monas. Pasukan keamanan semakin memperkuat diri dengan kendaraan lapis baja yang berjaga-jaga disekitar pintu Istana Merdeka. Pagi itu merupakan jadwal dimana Perdana Menteri Jepang Tanaka akan mengadakan perundingan dengan Presiden Soeharto. 

Ditempat lain, para mahasiswa juga terus mempersiapkan diri, dengan titik kumpul kampus UI pukul 09.00. Mereka lebih dulu mendapatkan pengarahan dari sejumlah tokoh mahasiswa teruatama Bambang Sulistomo. Setelah itu barulah mahasiswa mulai bergerak menuju kampus Usakti melalui kampus UKI. Mahasiswa dari Usakti itu dijemput dengan beberapa kendaraan yang membawa mereka ke Monas untuk bergabung dengan teman-teman mahasiswa yang lain. 

Peristiwa Malari, Gerakan Mahasiswa Masa Orde Baru
Puncak Peristiwa Malari 1974 Pada 15 Januari 1974


Lalu lintas pada hari itu sangat macet, apalagi mahasiswa yang bergerak ke Istana Merdeka semakin mendesak untuk dapat memberikan memorandum kepada Perdana Menteri Jepang Tanaka, walaupun akhirnya gagal. Aksi terus berlanjut dengan pencegatan/pemblokiran jalan mobil-mobil Jepang di jalanan dan menyuruh pengemudinya keluar. 

Banyak toko-toko yang rusak akibat massa yang beringas, dan barisan mahasiswa sudah bercampur dengan barisan dari luar sehingga susah dikendalikan. PT. Toyota Astra merupakan perusahaan patungan Indonesia-Jepang yang menderita kerugian paling besar. 

Kondisi semakin beringas ketika kantor mulai dirusak dan mobil di ruang pamer dibakar massa. Demonsrasi yang berlangsung pada 15 Januari terus berlanjut hingga 16 Januari dan massa masih terus memenuhi jalan-jalan utama di Jakarta. 

Pada saat ini bus kota masih belum beroperasi, jadi para karyawan/pegawai maish berjalan kaki atau menggunakan kendaraan pribadi untuk berangkat ke kantor. Suasana hari yang panas diselimuti oleh duka dari korban yang diantaranya meninggal dan luka-luka. Pengurus Dewan Mahasiswa seJakarta pada hari itu kemudian mengeluarkan pernyataan yang isinya: 

  1. 1) Tindakan perusakan yang terjadi di Jakarta, termasuk pembakaran dan kegiatan destruktif lainnya yang menjurus ke tindakan anarkis (perbuatan tidak bertanggungjawab dan secara nyata bertentangan serta merusak citra mahasiswa.) 
  2. Menyesalkan dan menyatakan prihatin terhadap kejadian yang mengakibatkan kerugian baik material dan moral di kalangan masyarakat. 
  3. Menyerukan kepada seluruh mahasiswa untuk tetap siaga di tempat, tidak terpancing provokasi dan tetap memelihara ketertiban. 
  4. Menyerukan agar masyarakat membantu menjaga ketertiban demi tercapainya aspirasi perjuangan mahasiswa yang murni.

Pada saat demonstran mendekati istana presiden, massa semakin tidak terkontrol dan meletuslah kerusuhan besar. Massa membakar mobil-mobil Jepang serta mengobrak-abrik pertokoan.  Ketika massa mulai beranjak mendatangi kedutaan Jepang, Jendeal Sumitro datang untuk menenangkan massa dengan memberikan janji akanmemenuhi tuntuan mahasiswa khususnya pembubaran Aspri. 

Akhirnya mahasiswa membatalkan tujuannya kearah kedutaan Jepang dan bergerak kembali ke Salemba. Namun massa yang tidak terkontrol tetap membuat kerusuhan sepanjang malam, sehingga malam tanggal 15 Agustus 1974 adalah malam yang mencekam. Hingga pada 16 Januari 1974 pagi, Jenderal Soemitro didampingi dengan Aspri mulai melancarkan ultimatum dan memberikan ancaman menggunakan kekerasan jika massa tetap tidak dapat dikendalikan. 

Pemerintah kemudian menggunakan Hariman Siregar untuk menenangkan massa, ia ditampilkan di TV membacakan deklarasi dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang menentang tindakan-tindakan kekerasan.

Pasca peristiwa Malari yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974, pernyataan dari berbagai pihak bermunculan untuk menanggapi kejadian tersebut. Berbagai organisasi massa juga mengeluarkan pernyataan yang pada umumnya mencela tindakan perusakan dan pembakaran tersebut. 

Sejumlah organisasi mengharapkan pemerintah menyelesaikan masalah itu dengan sebaik-baiknya tanpa melakukan kekerasan. Golkar, PPP, dan PDI mengeluarkan aksi mereka pada hari pertama berlangsungnya aksi perusakan dan pembakaran, ketigatiganya mencela kejadian huru-hara pada tanggal 15 Januari 1974. 

Pada tanggal 19 Januari 1974 Pengurus Pusat PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) menyerukan jajaran pers ibukota dan daerah untuk menghindari pemberitaan yang dapat mengganggu pembangunan, mendukung usaha pemerintah untuk menertibkan kembali keadaan dan agar pelaksanaannya sesuai dengan azas hukum. Sementara dari kalangan mahasiswa muncul reaksi yang berbeda-beda, dari mahasiswa IKIP Bandung mengeluarkan pernyataan yaitu: 

  1. Tetap meneruskan perjuangan suci mahasiswa dengan pola dasar perjuangan mengikis habis kepincangan-kepincangan sosial dengan segala konsekuensinya. 
  2. Tetap mengkonsolidasikan diri dalam kelompok mahasiswa, berjuang dengan pimpinan IKIP Bandung serta siap sedia setiap saat. 
  3. Menyatakan bela sungkawa/duka cita sedalam-dalamnya atas korban-korban yang jatuh pada aksi perjuangan mahasiswa dalam menegakkan keadilan sosial. 

Sembilan dosen UGM Yogyakarta menyatakan situasi pergolakan mahasiswa itu tidak dapat dipandang sebagai hal yang berdiri sendiri, tetapi menyangkut realita sosial yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah dalam menanggapi masalah kehidupan masyarakat. 

Mereka berharap pemerintah bertindak bijaksana dan lebih menghargai kehidupan rakyat, serta tidak mudah menggolongkan luapan-luapan perasaan masyarakat sebagai usaha makar. Reaksi kalangan pers nasional bermacam-macam. 

Harian Indonesia Raya menulis “Diharapkan agar oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab segera dapat diseret ke pengadilan, bila pemerintah tidak menanggapi secara positif apa yang disuarakan oleh para mahasiswa, maka peristiwa serupa akan terjadi lagi di kemudian hari”. Harian KAMI menyatakan “Gerakan mahasiswa/pemuda itu hendaknya tidak dinilai sebagai taraf kekerasan, apalagi makar, bila motivasi kepemimpinan nasional betul-betul akan diletakkan atas dasar dedikasi, kejujuran serta keterbukaan”. 

Harian Pedoman menulis hal yang berbeda “Tindakan penghancuran atas barang-barang modal akan bisa menghilangkan kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia”, sedangkan Harian Kompas menuliskan “Usaha mahasiswa /generasi muda untuk menyalurkan aspirasi rakyat demi kepentingan mereka telah berkembang di luar kontrol dan tujuannya. Tidak tertutup kemungkinan ada pihak lain seperti gerakan PKI ikut mengambil bagian”.


0 Response to "Peristiwa Malari, Gerakan Mahasiswa Masa Orde Baru"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed