-->

Panduan Praktis untuk Proyek Restorasi Mangrove yang Berhasil

Walter Raleigh menemukan hutan mangrove di Trinidad, Guyana pada tahun 1495. Hutan ini ditemukan di sepanjang estuari berlumpur, dan pada pohon mangrove, terdapat kerang yang menempel pada cabangnya dan akar mangrove. Tidak ada penelitian serius tentang hutan mangrove hingga tahun 1878, ketika seorang biologis terkenal bernama H.H.M. Bowman memberikan perhatian khusus padanya.
Foto: Hutan Mangrove|Source: Pinterest

Banyak pertanyaan muncul mengenai perlunya mempertahankan hutan mangrove, dengan beberapa mempertanyakan apakah lebih menguntungkan secara ekonomi jika area mangrove diubah menjadi kawasan permukiman, industri, pelabuhan, atau bandara. Untuk memberikan jawaban yang objektif, digunakan metode valuasi ekonomi (Indrawan dkk., 2007; Fauzi, 2004). 

Metode ini berguna untuk memberikan pertimbangan obyektif terkait pengelolaan ekosistem mangrove. Biasanya, nilai ekonomi mangrove dihitung berdasarkan nilai kayu mangrove. Namun, banyak manfaat non-kayu dari mangrove yang juga memiliki nilai ekonomi, termasuk layanan ekosistem yang diberikan oleh mangrove terhadap lingkungannya (Goenner, 2002). 

Analisis ekonomi yang lebih komprehensif seperti ini memperhitungkan total nilai manfaat mangrove, sehingga memungkinkan pertimbangan optimal tentang apakah mempertahankan mangrove atau memanfaatkannya untuk kepentingan lain. Pendekatan ini disebut valuasi ekonomi (Indrawan dkk., 2007; Fauzi, 2004), menggabungkan ekologi dan ekonomi secara seimbang (Daly and Farley, 2004; Costanza et al., 1997), serta mengintegrasikan ilmu ekonomi, ekologi, dan etika (Jones et al., 2000; Miller, 1978). Produktivitas dasar ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti siklus hara, geologi pantai, pasang surut, dan iklim, yang berperan dalam menghasilkan ikan, kayu, dan organisme lain. 

Pengambilan berlebihan dari salah satu komponen dapat berdampak negatif pada komponen lainnya. Oleh karena itu, dari perspektif ekologi, penting untuk menganalisis struktur dan fungsi ekosistem mangrove yang kompleks ini, yang terdiri dari berbagai komponen dan proses interaksi alami. Dari perspektif ekonomi, analisis ini memungkinkan estimasi nilai barang non-pasar dan layanan ekosistem, termasuk dampak kerusakan ekosistem terhadap kondisi dan perilaku ekonomi.

Upaya Restorasi Magrove

Untuk menjaga stabilitas lingkungan di ekosistem pesisir dan laut, diperlukan upaya besar dalam restorasi hutan mangrove. Prioritas restorasi seharusnya diberikan pada Pulau Jawa, kemudian Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi. Sementara itu, luas hutan mangrove yang ada di Papua harus dijaga secara intensif dari ancaman pembangunan negatif seperti pertambangan minyak lepas pantai dan aktivitas pertambangan yang merusak mangrove. Ini termasuk dalam pembatasan izin baru untuk kegiatan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan pembukaan hutan mangrove untuk tambak. Teknologi restorasi, termasuk penanaman bibit dan pemilihan jenis mangrove, telah berkembang pesat dan mendukung upaya restorasi mangrove. Contoh suksesnya adalah restorasi hutan mangrove di Suwung, Bali, dengan bantuan Pemerintah Jepang. Keberhasilan ini telah menjadi contoh nasional bahkan internasional untuk restorasi mangrove. 

Restorasi dan penghijauan mangrove memberikan dampak positif yang signifikan pada pertumbuhan sosial dan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Misalnya, masyarakat di Sinjai, Sulawesi Selatan, telah berhasil menghijaukan pantai mereka dengan mangrove, yang meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Selain itu, dalam konteks hutan kemasyarakatan, pola tambak tumpangsari (silvofishery) yang menggabungkan hutan mangrove dengan perikanan telah berhasil diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia, menguntungkan secara ekonomi, sosial, dan ekologis. 

Penting untuk terus meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove, terutama ketika mereka menyadari manfaatnya seperti peningkatan hasil tangkapan ikan dan kehidupan yang lebih baik. Penataan hutan mangrove juga perlu dilakukan secara komprehensif, termasuk inventarisasi, pengaturan batas, dan pengelolaan dengan prinsip pelestarian lingkungan. Ini harus menjadi inisiatif bersama pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan kota dengan dukungan pendanaan yang berkelanjutan, koordinasi yang baik, bimbingan teknis, serta prosedur kerja, pembinaan, dan pengawasan yang tepat.

Program prioritas restorasi mangrove ini mencakup:  1. Penanaman hutan mangrove di kawasan-kawasan lindung seperti taman nasional, suaka margasatwa, dan cagar alam yang mengalami kerusakan.  2. Pembangunan kawasan lindung mangrove di sepanjang sungai dan pantai, termasuk muara sungai dan tanah timbul yang cocok sebagai habitat mangrove.  3. Pengembangan pola silvofishery, yang mengintegrasikan mangrove dengan perikanan.
Foto: Penanaman Mangrove di Pesisir Pantai|Source: Pinterest


Program Prioritas Dalam Restorasi Mangrove

Dalam rangka memperbaiki kondisi wilayah pesisir dan laut, diperlukan percepatan restorasi hutan mangrove dengan mengutamakan program prioritas. Program prioritas restorasi mangrove ini mencakup:

1. Penanaman hutan mangrove di kawasan-kawasan lindung seperti taman nasional, suaka margasatwa, dan cagar alam yang mengalami kerusakan.

2. Pembangunan kawasan lindung mangrove di sepanjang sungai dan pantai, termasuk muara sungai dan tanah timbul yang cocok sebagai habitat mangrove.

3. Pengembangan pola silvofishery, yang mengintegrasikan mangrove dengan perikanan.

Banyak kawasan konservasi dan hutan lindung mengalami kerusakan pada mangrove mereka, oleh karena itu penting untuk segera melakukan reboisasi di kawasan-kawasan ini. Kawasan konservasi dan hutan lindung telah ditetapkan sebagai sumber plasma nutfah dan fungsi penyangga kehidupan, dan harus dijaga baik sebagai perlindungan flora dan fauna, maupun sebagai pelindung fisik bagi penduduk pantai dan pembangunan.

Kawasan perlindungan mangrove dapat dibangun di muara sungai berlumpur dan dirancang sebagai jalur hijau yang membentuk garis pantai dan sungai yang stabil. Lebar jalur hijau mangrove ditentukan berdasarkan sejumlah faktor seperti gelombang, pasang surut, geologi, angin, struktur pantai, penggunaan lahan pesisir, kepadatan pemukiman, dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Contoh lebar jalur hijau yang disarankan berkisar dari beberapa meter hingga ratusan meter, tergantung pada kondisi dan risiko tertentu, seperti kekuatan ombak dan gelombang tsunami.

Penting untuk mencatat bahwa lebar jalur hijau mangrove yang efektif dapat mencapai maksimum 400 meter dalam situasi tertentu, seperti tsunami dengan gelombang tinggi. Penetapan lebar jalur hijau harus didasarkan pada studi dan peraturan perundangan yang relevan.

Kegiatan silvofishery idealnya dilaksanakan di belakang jalur hijau mangrove, namun perlu memperhatikan beberapa faktor berdasarkan penelitian JICA (1999) di Sidoarjo:

1. Tanin dari pohon mangrove yang mati, seperti Rhizophora sp dan Xylocarpus sp, dapat merembes ke tanah tambak, menghambat budidaya tambak dalam beberapa tahun. Beberapa jenis mangrove, terutama Rhizophora sp, menghasilkan air sambak yang lebih asam dibandingkan air laut, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan udang.

2. Tambak intensif umumnya mengalami kebangkrutan setelah beberapa tahun karena serangan virus dan penyakit udang. Setelah beberapa tahun ditutup, tambak dapat digunakan kembali setelah lokasi dibersihkan dari sampah dan bahan kimia oleh kekuatan alam.

3. Untuk tambak ekstensif beroperasi dengan baik dan menghasilkan keuntungan, pemilik tambak menggunakan Avicennia sp untuk mengontrol kualitas air. Mereka menanam Avicennia sp di tanggul tambak dan sepanjang garis pantai untuk membentuk daratan baru, yang memungkinkan pembangunan tambak baru.

Selain itu, penting bagi masyarakat setempat untuk melakukan penanaman mangrove secara sukarela demi kepentingan lingkungan dan mendapatkan manfaat dari hutan mangrove, seperti reklamasi tanah, pencegahan erosi, peneduh, dan kayu bakar. Peraturan perlu ditegakkan, terutama untuk kawasan konservasi, lindung mangrove, dan kawasan perlindungan khusus.

Berdasarkan pengalaman rehabilitasi mangrove di berbagai wilayah pesisir di Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, dan Pulau Sumatera, penanaman di kawasan lindung mangrove perlu mengikuti pola zonasi mangrove alami. Jenis mangrove seperti Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, dan Sonneratia sebaiknya ditanam di bagian terdepan yang berbatasan langsung dengan laut. Di bagian peralihan, cocok untuk jenis seperti Avicennia sp dan Sonneratia sp, sementara di bagian belakangnya, bisa menjadi habitat nipa (Nypa fruticans). Penanaman sebaiknya difokuskan pada muara sungai dan delta sungai yang berlumpur.

Lokasi penanaman memerlukan pengukuran awal untuk menilai lahan yang cukup dan jumlah bibit yang sesuai. Dengan jarak tanam 1x1 meter, setiap hektar memerlukan 10.000 bibit berkualitas. Bibit perlu dirawat di persemaian selama tiga bulan dan ditempatkan di lokasi penanaman setelah mencapai tinggi 50 cm dengan persentase tumbuh sekitar 80-90 persen. Bibit yang diambil dari persemaian harus selektif. Mereka harus dilindungi dari pasang surut air laut untuk mencegah kematian akibat kekeringan. Ajir digunakan untuk menandai lokasi tanaman, menjaga jarak tanam, dan menjaga bibit tetap tegak. Lubang tanam dengan ukuran 15x10-12 cm dibuat di lokasi penanaman. Bibit ditempatkan secara tegak dan diikatkan pada ajir. Pemeliharaan melibatkan penyiangan untuk menghilangkan gulma, penyulaman untuk menggantikan tanaman yang mati, dan pengendalian faktor-faktor perusak seperti kelelawar, arus air laut, tumbuhan piye, hama serangga, dan erosi pantai yang dapat merusak tanaman mangrove.


Daftar Refrensi (perlu dikurangi):

Daly, H.E, J. Farley. 2004. "Ecological Economics: Principles and Applications." Island Press, London.

Goenner, C. 2002. "Economic Valuation Model untuk Taman Nasional Sembilang." Warta Konservasi Lahan Basah: Vol 10 No. 3: 12-13.

Indrawan, M. R.B. Primack, J. Supriatna. 2007. "Biologi Konservasi." Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

JICA. 1999. "Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari." Kerjasama JICA dengan Dept. Kehutanan, Jakarta.

Jones, G.E., B. Davies, S. Hussain. 2000. "Ecological Economics." Blackwell Science Ltd., London.


0 Response to "Panduan Praktis untuk Proyek Restorasi Mangrove yang Berhasil"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed