-->

Mangrove Menyelamatkan Pesisir: Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Efektif

Mangrove mulai menarik perhatian pada abad yang lalu. Pada tahun 1494, Christopher Columbus menemukan hutan mangrove dengan pohon yang tinggi dan akar nafas menggantung. Ekosistem ini memiliki pertumbuhan yang rapat.
Foto: Hutan Mangrove|Source: Pinterest

Mangrove mulai menarik perhatian pada abad yang lalu. Pada tahun 1494, Christopher Columbus menemukan hutan mangrove dengan pohon yang tinggi dan akar nafas menggantung. Ekosistem ini memiliki pertumbuhan yang rapat. Walter Raleigh menemukan hutan mangrove di Trinidad, Guyana pada tahun 1495. Hutan ini ditemukan di sepanjang estuari berlumpur, dan pada pohon mangrove, terdapat kerang yang menempel pada cabangnya dan akar mangrove. Tidak ada penelitian serius tentang hutan mangrove hingga tahun 1878, ketika seorang biologis terkenal bernama H.H.M. Bowman memberikan perhatian khusus padanya. 

Du (1962) mendefinisikan mangrove sebagai kelompok ekologi tumbuhan yang selalu hijau yang terdiri dari beberapa famili. Vegetasi ini memiliki karakteristik fisiologi dan struktur yang mirip serta beradaptasi dengan baik terhadap habitatnya. Selain itu, mangrove juga dianggap sebagai komunitas tumbuhan kompleks yang berperan sebagai peneduh di pantai tropis. 

Fisiologi mangrove sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer dan hidrologi seperti sinar matahari, kelembaban, pasang surut, gelombang, dan kadar garam. Sebagai komunitas, hutan mangrove biasanya terdiri dari banyak pohon, terutama dari famili Rhizophoraceae, yang tumbuh dalam zona yang dipengaruhi oleh pasang surut. 

Hutan mangrove ini didefinisikan sebagai kelompok pohon dengan karakteristik dan formasi khas yang tumbuh di pantai litoral tropis dan sub-tropis, dan memiliki peran penting dalam melindungi daerah pesisir. Terkadang hutan mangrove juga disebut sebagai hutan pasang surut (tidal forest) dan hutan pantai (coastal woodland). 

Pengertian "mangrove" berasal dari kata bahasa Portugis "mangue" dan bahasa Inggris "grove." Di bahasa Melayu kuno, "mangrove" disebut "mangi-mangi" dan istilah ini masih digunakan di wilayah Indonesia bagian timur. Hutan mangrove didefinisikan sebagai hutan yang tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. 

Hutan ini biasanya terdiri dari beberapa jenis pohon seperti Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylopcarpus, Aegiceras, dan Scyphyphora, dan ditemukan di daerah peralihan dengan ekosistem rawa.

Penyebaran Mangrove di Indonesia dan Dunia

Alih fungsi hutan mangrove, terutama untuk perluasan tambak dan pemukiman, telah mengakibatkan penyusutan luas dan penyebarannya. Hal ini mengakibatkan kerugian sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat, serta kehilangan fungsi ekologi penting untuk perlindungan manusia dan pembangunan di wilayah pesisir. 

Hutan mangrove tumbuh subur di lingkungan estuaria muara sungai besar di Indonesia, termasuk di beberapa laguna seperti Segara Anakan di Cilacap (Jawa Tengah) dan Segara Anakan di Taman Nasional Alas Purwo (Jawa Timur). Beberapa faktor lingkungan penting yang memengaruhi pertumbuhan mangrove termasuk temperatur tropis, daerah berlumpur, pantai dengan gelombang kuat, kadar garam yang tinggi, dan pasang surut yang kuat. Kelima faktor ini mempengaruhi kehadiran, ukuran, komposisi spesies, zonasi spesies, struktur, dan fungsi ekosistem mangrove. 

Di Indonesia, struktur mangrove sangat bervariasi, mulai dari tegakan Avicennia marina yang memiliki ketinggian 1-2 meter di pantai yang tergenang air laut hingga tegakan campuran Bruguiera-Rhizophora-Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Berbagai jenis mangrove ditemukan di daerah pantai terbuka dan sepanjang sungai dengan berbagai tingkat salinitas. Namun, vegetasi rendah jarang ditemukan di dalam hutan mangrove, kecuali pada mangrove anak dan beberapa semak seperti Acanthus ilicifolius dan Acrostichum aureum. 

Mangrove tumbuh dengan baik jika habitatnya sesuai dengan syarat tumbuhnya. Mereka juga memiliki bentuk perakaran yang sangat khas dan rapat yang telah beradaptasi dengan kondisi habitat mereka yang sering terendam air atau lumpur. 

Ada lima tipe perakaran mangrove, yaitu akar udara, akar papan, akar lutut, akar nafas, dan akar tunjang. Setiap tipe memiliki fungsi dan adaptasi yang berbeda dalam menjaga kelangsungan hidup pohon mangrove dalam kondisi lingkungan yang keras.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman jenis mangrove yang tinggi. Terdapat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove di Indonesia, termasuk 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis, termasuk 33 jenis pohon, dianggap sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara yang lainnya ditemukan di sekitar hutan mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan. 

Di seluruh dunia, terdapat sekitar 60 jenis tumbuhan mangrove sejati. Persebaran mangrove umumnya terbatas di daerah tropis, meskipun beberapa formasi mangrove juga dapat ditemukan di daerah subtropis, seperti di Jepang dan Selandia Baru. Data tentang luas hutan mangrove di seluruh dunia bervariasi, berkisar antara 15 hingga 19 juta hektar. Sebagai contoh, sekitar 16,5 juta hektar hutan mangrove terdapat di seluruh dunia, dengan 7,4 juta hektar berada di Asia tropis, 5,7 juta hektar di Amerika tropis, dan 3,4 juta hektar di Afrika tropis. Di kawasan Asia, luas mangrove diperkirakan sekitar 32 persen dari total luas mangrove di dunia. Indonesia memiliki luas hutan mangrove yang mencapai 3,5 juta hektar, menjadikannya sebagai tempat dengan hutan mangrove terluas di dunia (sekitar 18-23 persen dari total dunia). 

Luas hutan mangrove Indonesia ini melebihi negara-negara lain seperti Brazil (1,3 juta hektar), Nigeria (1,1 juta hektar), dan Australia (0,97 juta hektar). Keberadaan hutan mangrove yang luas ini menyebabkan tingginya perhatian masyarakat dunia terhadap kelestarian mangrove di Indonesia. Mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia, dan luas hutan mangrove di berbagai wilayah berbeda-beda. 

Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2002/2003, hutan mangrove terluas terdapat di Papua dengan luas sekitar 1.622.000 hektar, diikuti oleh Pulau Kalimantan dengan 641.000 hektar, Pulau Sumatera dengan 475.000 hektar, Maluku dengan 170.000 hektar, Pulau Sulawesi dengan 162.000 hektar, Pulau Jawa dengan 40.000 hektar, Nusa Tenggara dengan 32.000 hektar, dan Pulau Bali dengan 3.000 hektar.

Fungsi Ekologi Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik dan sangat penting yang terletak di wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kondisi khasnya, seperti perakarannya yang rapat dan keberadaannya di wilayah pantai berlumpur, membuat ekosistem ini sangat kaya dengan zat hara yang diperlukan oleh berbagai organisme. Oleh karena itu, ekosistem mangrove memiliki tingkat keanekaragaman fauna yang tinggi. 

Di ekosistem mangrove, terdapat tiga kelompok organisme utama berdasarkan fungsinya dalam siklus bahan, yaitu produsen, konsumer, dan dekomposer. Produsen adalah tumbuhan hijau yang mampu membuat makanannya sendiri melalui fotosintesis. Konsumer adalah organisme yang bergantung pada produsen untuk makanan mereka, dan mereka dapat dibagi menjadi berbagai tingkatan trofik, seperti herbivora, karnivora, omnivora, dan detritivora. 

Organisme dekomposer, seperti bakteri dan jamur, memainkan peran penting dalam menguraikan sisa-sisa organik, termasuk serasah mangrove, menjadi zat hara yang dapat digunakan oleh organisme lain. Dalam ekosistem mangrove, terdapat dua tipe rantai makanan utama, yaitu rantai makanan yang dimulai dari tumbuhan hijau menuju organisme lain dengan tingkatan trofik yang berbeda, dan rantai makanan detrital yang dimulai dari detritus dan berlanjut ke organisme lain pada tingkatan trofik yang lebih tinggi. 

Kedua tipe rantai makanan ini bersifat kompleks dan saling terkait. Ekosistem mangrove memiliki dua fungsi utama dalam ekologi. Pertama, ekosistem ini berperan dalam pertukaran nutrien di antara berbagai tingkatan trofik yang berbeda. Kedua, ekosistem mangrove berkontribusi pada aliran energi dalam ekosistem. 

Siklus bahan dan aliran energi di ekosistem mangrove sangat kompleks dan mendukung stabilitas ekosistem yang lebih luas, termasuk ekosistem darat dan lautan. Selain itu, larva dari banyak jenis ikan dan udang komersial menghabiskan sebagian siklus hidup mereka di perairan mangrove. Mangrove adalah tempat yang penting bagi perikanan laut lepas, karena ikan dan udang tersebut memerlukan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan dan membesarkan diri. 

Melalui rantai makanan dan jaringan makanan dalam sistem perairan laut, ikan dan udang ini mendukung kehidupan biota laut lainnya, sehingga menjadikan hutan mangrove sebagai elemen penting dalam perlindungan dan kelestarian ekosistem pesisir. Ekosistem mangrove juga memainkan peran penting dalam melindungi garis pantai dari gelombang dan angin, menahan lumpur sungai, mengurangi kemampuan merusak gelombang laut, dan memberikan tempat tinggal bagi berbagai jenis makhluk hidup. 

Keberadaannya berkontribusi pada kelestarian produksi perikanan laut dan melindungi wilayah pesisir dari bencana alam seperti tsunami. Terbukti bahwa wilayah pesisir dengan ekosistem mangrove yang utuh mengalami kerusakan yang lebih sedikit selama peristiwa tsunami. Dengan demikian, perlindungan dan kelestarian ekosistem mangrove sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, mendukung kehidupan laut, dan melindungi wilayah pesisir dari kerusakan. Upaya pelestarian dan rehabilitasi mangrove memiliki dampak positif yang signifikan dalam menjaga keanekaragaman hayati dan mendukung masyarakat pesisir.

Banyak kawasan konservasi dan hutan lindung mengalami kerusakan pada mangrove mereka, oleh karena itu penting untuk segera melakukan reboisasi di kawasan-kawasan ini. Kawasan konservasi dan hutan lindung telah ditetapkan sebagai sumber plasma nutfah dan fungsi penyangga kehidupan, dan harus dijaga baik sebagai perlindungan flora dan fauna, maupun sebagai pelindung fisik bagi penduduk pantai dan pembangunan.
Foto: Kegiatan Konservasi di Kawasan Pesisir|Source: Pinterest


Nilai Ekonomi Hutan Mangrove

Nilai ekonomi hutan mangrove sangat tinggi, dan perhitungannya dapat mencakup berbagai aspek, baik secara langsung maupun tidak langsung. Biasanya, nilai ekonomi hutan mangrove dihitung berdasarkan harga kayu mangrove. Namun, nilai ekonomi ini seharusnya lebih luas dan mencakup berbagai manfaat yang diberikan oleh ekosistem mangrove. 

Contoh penilaian ekonomi mangrove di Teluk Bintuni, Papua, oleh Ruitenbeek mencakup berbagai pemanfaatan, termasuk pemanfaatan tradisional masyarakat, industri perikanan, dan tebang pilih. Hasil penilaiannya menunjukkan bahwa mangrove Teluk Bintuni memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Pemanfaatan tradisional mangrove di wilayah ini bernilai sekitar Rp20 miliar/tahun (US$10 juta/tahun), industri perikanan mencapai Rp70 miliar/tahun (US$35 juta/tahun), dan tebang pilih sekitar Rp40 miliar/tahun (US$20 juta/tahun). 

Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menjaga mangrove secara berkelanjutan, nilai ekonominya dapat ditingkatkan, sedangkan tebang habis hanya memberikan nilai yang jauh lebih rendah. Di Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan, perikanan di perairan mangrove memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Penelitian mencatat bahwa hasil perikanan di kawasan ini berkisar antara Rp371 miliar hingga Rp620 miliar dalam beberapa tahun. 

Hasil perikanan ini memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan bagi penduduk setempat dan daerah sekitarnya. Selain manfaat langsung, nilai ekonomi hutan mangrove juga dapat mencakup manfaat seperti penyimpanan karbon. 

Walaupun belum ada penelitian yang menghitung potensi penyimpanan karbon dari hutan mangrove di Indonesia, data dari Malaysia menunjukkan bahwa hutan mangrove dapat menyimpan sekitar 230 ton karbon per hektar. Dengan mengasumsikan jumlah hutan mangrove di Indonesia sekitar 3,5 juta hektar, perkiraan kasar menunjukkan bahwa lebih dari 800 juta ton karbon disimpan di hutan mangrove Indonesia. Jika harga karbon diperkirakan sebesar US$10 per ton, maka nilai karbon di hutan mangrove Indonesia dapat mencapai lebih dari US$8 miliar. Selain itu, hutan mangrove juga memberikan manfaat ekonomi melalui sektor pariwisata, pendidikan, dan konservasi. Misalnya, mangrove dapat menjadi daya tarik pariwisata alam yang berkontribusi pada pendapatan lokal. Namun, penilaian nilai ekonomi untuk manfaat ekosistem seperti kehati (ekosistem pantai) mungkin sulit diukur secara langsung, dan nilai-nilai tersebut bisa sangat bervariasi tergantung pada kondisi setempat. 

Penilaian nilai ekonomi hutan mangrove harus melibatkan berbagai aspek dan harus memperhitungkan manfaat langsung dan tidak langsung yang diberikan oleh ekosistem mangrove. Nilai-nilai ekonomi yang lebih luas harus diakui dan diintegrasikan dalam pengambilan keputusan untuk pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan.

Kerusakan Ekosistem Mangrove di Indonesia

Pemerintah sering kali tidak mendukung pelestarian mangrove karena anggapan nilai ekonominya rendah, tetapi perhatian terhadap masalah ini meningkat setelah tsunami Aceh pada 2004. Pembukaan mangrove untuk tambak telah mengurangi luas hutan mangrove, dan pertumbuhan tambak melebihi 400% dalam 12 tahun terakhir. 

Kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh penggunaan pakan ikan dan obat-obatan tambak yang mencemari lingkungan. Selain untuk tambak, hutan mangrove juga hilang karena pembangunan permukiman, pusat perbelanjaan, dan lapangan golf di kota-kota besar. Pemerintah lebih fokus pada pembangunan ekonomi daripada pelestarian ekologi, menyebabkan hilangnya jalur penyangga mangrove dan masalah banjir rob serta erosi di perkotaan. 

Di Kepulauan Riau, hutan mangrove mengalami kerusakan parah karena illegal logging untuk dijual ke Singapura dan Malaysia. Hutan mangrove di sini juga digunakan untuk produksi arang yang diekspor ke Jepang tanpa reboisasi. Di Segara Anakan, Cilacap, hutan mangrove telah berkurang drastis dan sekarang berubah menjadi tambak, perkampungan, dan sawah. Meskipun sebelumnya menjadi contoh sempurna, hutan mangrove di sini mengalami kerusakan. 

Hutan mangrove di muara Sungai Komoro, Papua, rusak akibat kegiatan tambang di hulu sungai, sementara di tempat lain, mangrove baru tumbuh akibat endapan lumpur. Di Teluk Bintuni, Papua, hutan mangrove tumbuh subur, tetapi kerusakan terus mengancam.

Baca juga: Panduan Praktis Restorasi Ekosistem Mangrove

Daftar Refrensi:

Aksornkoae, S. 1993. "Ecology and Management of Mangrove." The IUCN Wetlands Programme. IUCN, Gland, Switzerland.

Bengen, D.G. 2004. "Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove." Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Bogor.

Chang, V.C., A. Sasekumar, E. Wolanski. 2007. "The Role of Mangrove in Retaining Penacid Prawn Larvae in Klang Strait, Malaysia" (dalam: The Role of Physical Processes in Mangrove Environments, Mazda, Y. E. Wolanski, P. V. Ridd, eds: 547-558). TERRAPUB, Tokyo.

Costanza, R., J. Cumberland, H. Daly, R. Goodland, R. Norgaard. 1977. "An Introduction to Ecological Economics." St. Lucie Press, Florida.

Daly, H.E, J. Farley. 2004. "Ecological Economics: Principles and Applications." Island Press, London.

Du, L.V. 1962. "Ecology and Silviculture of Mangrove." Yale Univ. School of Forest. Unpublished, 26 pp.

Fauzi, A. 2004. "Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan." PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Goenner, C. 2002. "Economic Valuation Model untuk Taman Nasional Sembilang." Warta Konservasi Lahan Basah: Vol 10 No. 3: 12-13.

Indrawan, M. R.B. Primack, J. Supriatna. 2007. "Biologi Konservasi." Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Mazda, Y., M. Magi, Y. Ikeda, T. Kurokawa, T. Asano. 2007(1). "Wave Reduction in a Mangrove Forest Dominated by Sonneratia sp." (dalam: The Role of Physical Processes in Mangrove Environments, Mazda, Y., E. Wolanski, P. V. Ridd, eds: 190-203). TERRAPUB, Tokyo.

Mazda, Y., M. Magi, M. Kogo, P. Nguyen Hong. 2007(2). "Mangrove as a Coastal Protection from Waves in The Tong King Delta, Vietnam" (dalam: The Role of Physical Processes in Mangrove Environments, Mazda, Y, E. Wolanski, P. V. Ridd, eds: 181-189). TERRAPUB, Tokyo.

Miller, K.R. 1978. "Planning National Park for Ecodevelopment: Methods and Cases from Latin America." Center for Strategic Wildland Studies. The School of Nature Resources, Univ. of Michigan, Ann Arbor, Michigan, USA.

Noor, Y.R., M. Khazali, I.N.N. Suryadiputra. 1999. "Panduan Pengenalan Odam Mangrove di Indonesia." PKA/WI-IP, Bogor.

Odum, E.G. 1971. "Fundamentals of Ecology." WB Saunders Co., Tokyo.

Jaggi, M. and L.A. Sandberg 1997. "Sustainable Forestry at the Crossroad: Hard Lessons for the World" (dalam: Ecoforestry. Drengson, A.L. and D. MacDonald Taylor, Eds., 147-158). New Society Publishers, Stony Creek, CT, USA.

JICA. 1999. "Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari." Kerjasama JICA dengan Dept. Kehutanan, Jakarta.

Jones, G.E., B. Davies, S. Hussain. 2000. "Ecological Economics." Blackwell Science Ltd., London.

Ruitenbeek H.J. 1991. "Mangrove Management: An Economic Analysis of Management Options with a Focus on Bintuni Bay." Proyek Kerjasama KLH dengan Dalhousie University, A presentation notes.

Slocombe, D.S. 1995. "An Ecosystem Approach to Regional Planning" (dalam: Conservation of Biodiversity and the New Regional Planning: Saunier, R..E. and R. A. Meganck, Eds; 53-66). IUCN-The World Conservation Union.

Thom, M. 1997. "The Movement to Ecologically Sustainable Forestry" (dalam: Ecoforestry: Drengson, A. L. and D. MacDonald Taylor, Eds.; 245-247). New Society Publishers, Stony Creek, CT, USA.

Walsh, G.E. 1974. "An Ecological Study of a Hawaiian Mangrove Swamp." In: Estuaries, G.H. Lauff (ed.). American Association Adv. Sci. Publication No. 83: 420-431.

0 Response to "Mangrove Menyelamatkan Pesisir: Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Efektif"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed