-->

Panduan Praktis untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Ekosistem Pesisir

Kawasan perlindungan mangrove dapat dibangun di muara sungai berlumpur dan dirancang sebagai jalur hijau yang membentuk garis pantai dan sungai yang stabil. Lebar jalur hijau mangrove ditentukan berdasarkan sejumlah faktor seperti gelombang, pasang surut, geologi, angin, struktur pantai, penggunaan lahan pesisir, kepadatan pemukiman, dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat.
Foto: Penanaman Bakau di Pesisir Pantai|Source: Pinterest

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau, garis pantai seluas 81.000 km, dan wilayah laut seluas 5,8 juta km², yang mencakup 70% luas total negara. Wilayah pesisirnya memiliki karakteristik lingkungan yang unik, baik dari segi fisik, kimia, geologi, biologi, maupun ekologi. Wilayah pesisir ini telah menjadi pusat aktivitas manusia dan pembangunan.

Mengenal Batasan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir dan laut Indonesia kaya akan sumber daya alam, termasuk yang dapat diperbaharui dan yang tidak. Kekayaan biologisnya telah mendukung kebutuhan makanan penduduk Indonesia. Sumber daya pesisir dan laut ini adalah fondasi utama pertumbuhan dan perkembangan berkelanjutan. Wilayah pesisir adalah daerah transisi antara daratan dan laut. Di wilayah pesisir, terdapat dua jenis batas: sejajar garis pantai dan tegak lurus terhadap garis pantai. Di sini, terjadi interaksi antara daratan, laut, dan atmosfer. 

Kondisi fisika oseanografi, seperti pasang surut, arus, suhu, salinitas, dan angin, berjalan intensif. Dinamika perairan di wilayah pesisir kompleks karena melibatkan sirkulasi air, sedimentasi, erosi, dan upwelling. Sistem laut terbuka dalam batasan tertentu mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan ekologi yang dinamis. 

Semua ini menciptakan kekayaan sumber daya dan kehidupan di wilayah pesisir yang mendukung kekayaan Indonesia. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilnya sangat produktif secara biologis, sehingga menjadi sumber ekonomi yang potensial, terutama dalam sektor perikanan. Selain itu, sektor pertambangan dan energi juga memiliki potensi sebagai sumber pendapatan negara. 

Wilayah pesisir ini juga telah berkembang menjadi pusat pariwisata, perhubungan, dan pemukiman. Namun, karena berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya pesisir, wilayah ini sering menjadi sumber konflik.

Permasalahan yang Terjadi di Ekosistem Pesisir

Wilayah pesisir di Indonesia telah menjadi pusat pertumbuhan kota dan pembangunan, termasuk beberapa yang disebut megacity (kota dengan populasi melebihi 10 juta). Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang tidak terkontrol telah mengancam lingkungan dan kehidupan sosial-ekonomi secara berkelanjutan. Banyak sumber daya pesisir yang rusak dan lingkungan tercemar. Selain itu, wilayah ini rentan terhadap ancaman seperti topan, gempa bumi, tsunami, kenaikan permukaan laut, banjir, dan rob. 

Beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Medan, Manado, Surabaya, Ujung Pandang, dan Denpasar, telah berkembang dengan cepat, sering kali melalui reklamasi pantai. Kegiatan ini sering mendapat kritik karena kurang mempertimbangkan dampak lingkungan dan nilai ekonomi. Reklamasi pantai tanpa memperhatikan aspek fisik, biologis, geologis, dan ekologisnya telah mengakibatkan erosi, tanah longsor, banjir, kerusakan terumbu karang, padang lamun, dan intrusi air laut ke daratan. Industri dan pelabuhan di wilayah pesisir sering mencemari lingkungan dengan limbah. Penanganan sampah perkotaan yang buruk dan kurangnya kesadaran lingkungan penduduk memperburuk kondisi lingkungan di kota-kota pesisir. 

Pertumbuhan pembangunan di wilayah pesisir menarik urbanisasi dari daerah sekitarnya, yang seringkali merusak sumber daya alam seperti terumbu karang dan hutan mangrove. Meskipun penting bagi stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat, kedua ekosistem ini sering mengalami kerusakan. Selain berbagai konflik pengelolaan dan hukum yang tidak pasti, wilayah pesisir juga rentan terhadap perubahan fisik, kimia, biologi, dan geologi. Perlindungan dari sumber daya yang merusak sangat penting. 

Angka kerusakan sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut sangat mengkhawatirkan, seperti kerusakan terumbu karang sebesar 43% dan hutan mangrove yang berkurang dari 5,2 juta hektar pada 1982 menjadi 3,5 juta hektar pada 1996. Sumber daya di wilayah pesisir juga menjadi sumber konflik berbagai kepentingan, terutama karena hukum yang lemah, masyarakat miskin, dan kurangnya kesadaran lingkungan. Kerusakan wilayah pesisir dapat dilihat dari kerusakan ekosistem penting seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun, serta abrasi pantai, pencemaran laut, dan banjir rob. 

Ancaman semakin meningkat dengan pemanasan global. Wilayah pesisir Indonesia adalah ekosistem yang unik dan kaya sumber daya alam. Pengelolaannya yang bijaksana dapat meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Namun, kurangnya perhatian terhadap aspek ekologi dan fokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek menghambat pembangunan berkelanjutan. Upaya konservasi dan perlindungan lingkungan masih menghadapi kendala dari pihak yang mengeksploitasi sumber daya dengan kuat.

Ancaman Bencana Alam Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir Indonesia berada di dalam Benua Maritim Indonesia, yang memiliki aktivitas tektonik tinggi dan banyak gunung berapi aktif (sekitar 240). Semua ini merupakan ancaman bagi wilayah pesisir. Indonesia terletak di The Pacific Ring of Fire, yang membuatnya memiliki tingkat kegempaan yang tinggi, 10 kali lipat gempa di Amerika Serikat. 

Selama periode tahun 1600 hingga 2005, terjadi sekitar 105 tsunami, dengan sebagian besar disebabkan oleh gempa tektonik. Ada sekitar 89 daerah rawan tsunami di seluruh Indonesia. Dengan ancaman serius ini, mitigasi bencana sangat diperlukan. Ini bertujuan untuk mengurangi kerugian akibat bencana alam, baik terhadap manusia, harta benda, maupun fasilitas pembangunan. Ini dapat mencakup tindakan fisik seperti pemecah gelombang, tembok laut, dan vegetasi pantai, serta upaya non-fisik seperti pendidikan, pelatihan, kesadaran masyarakat, tata ruang, relokasi, dan peraturan. Target utama dalam mitigasi bencana adalah menyelamatkan penduduk. 

Maka diperlukan perencanaan, organisasi, sumber daya manusia, dan fasilitas pengungsian yang memadai. Dalam kasus tsunami, gempa bumi, atau letusan gunung, relokasi penduduk yang aman dan kepemilikan harus dipertimbangkan dengan tata ruang yang tepat. Aspek psikologis dan hak milik juga harus menjadi prioritas. Dana yang cukup diperlukan dari pemerintah, sektor swasta, dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan tindakan ini.

Lokasi penanaman memerlukan pengukuran awal untuk menilai lahan yang cukup dan jumlah bibit yang sesuai. Dengan jarak tanam 1x1 meter, setiap hektar memerlukan 10.000 bibit berkualitas. Bibit perlu dirawat di persemaian selama tiga bulan dan ditempatkan di lokasi penanaman setelah mencapai tinggi 50 cm dengan persentase tumbuh sekitar 80-90 persen.
Foto: Penanaman Bakau di Pesisir Pantai|Source: Pinterest

Ancaman Pemanasan Global di Wilayah Pesisir

Pemanasan global adalah kenyataan yang semakin serius di wilayah pesisir Indonesia. Kenaikan suhu dan tinggi permukaan laut mengubah struktur ekologi wilayah ini, berdampak negatif pada struktur sosial-ekonomi masyarakat dan pembangunan. 

Banyak kawasan pantai tenggelam, ekosistem estuari yang penting hilang, dan garis pantai mundur, menyebabkan banjir rob dan kehilangan mata pencaharian. Perubahan iklim sangat memengaruhi terumbu karang, dan diperkirakan akan kehilangan sekitar 88% dalam 30 tahun mendatang. Ini juga berdampak pada berbagai jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Kenaikan tinggi permukaan laut mengubah kondisi cuaca, temperatur, sirkulasi lautan, dan kadar garam, mengakibatkan perubahan ekologi lautan dan konsekuensi negatif bagi flora dan fauna. 

Perubahan suhu dan cuaca yang sulit diprediksi mempengaruhi produktivitas flora dan fauna, dengan dampak besar pada rantai makanan. Meskipun belum sepenuhnya terbukti, kekeringan di Amerika juga menyebabkan kematian satwa perairan. Pemanasan global adalah ancaman serius bagi kehidupan manusia, spesies, dan pembangunan. 

Penting untuk memahami dampaknya pada kehati dan upaya adaptasi spesies dan ekosistem terhadap perubahan suhu dan tinggi permukaan laut. Selain itu, tindakan manusia dan pembangunan untuk mengurangi emisi CO₂ juga penting. Kehati Indonesia juga terpengaruh oleh perubahan iklim, dengan satwa liar seperti penyu laut, kera belanda, komodo, burung maleo, ikan lumba-lumba, dan burung wader migrasi yang menghadapi potensi gangguan pada habitat mereka. 

Potensi perikanan laut juga akan mengalami penurunan akibat perubahan suhu laut. Untuk menghadapi ancaman serius ini, pemerintah dan masyarakat peneliti di Indonesia perlu fokus pada penelitian dampak perubahan iklim terhadap kehati. Kerjasama antar-negara untuk mengatasi perubahan iklim perlu ditingkatkan, dengan menghargai kesetaraan dan keadilan. Diperlukan kebijakan yang mengintegrasikan perubahan iklim dengan pembangunan. 

Kehancuran kehati di wilayah pesisir juga akan berdampak pada pariwisata bahari. Terumbu karang dan berbagai jenis ikan penghuninya adalah objek wisata yang menarik wisatawan. Pariwisata bahari juga mendukung pertumbuhan ekonomi melalui fasilitas pendukungnya seperti hotel, restoran, dan toko cindera mata. Oleh karena itu, pelestarian terumbu karang penting untuk keberlanjutan pariwisata.

Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Terintegrasi

Saat ini, wilayah pesisir dan laut di Indonesia menghadapi masalah serius berupa kerusakan, pencemaran, konflik kepentingan, dan kerusakan lingkungan. Faktor penyebabnya termasuk perencanaan perkotaan yang buruk, kebijakan yang tidak tepat, penegakan hukum yang lemah, dan masalah sosial-ekonomi. Masyarakat pesisir terdampak karena penurunan hasil tangkapan ikan dan dampak pencemaran. 

Hutan mangrove adalah ekosistem penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan laut. Untuk mengatasi masalah ini, pengelolaan terpadu wilayah pesisir (ICM) diperlukan. ICM melibatkan berbagai sektor, tingkat pemerintahan, dan masyarakat dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Diperlukan integrasi lintas sektor, koordinasi pemerintah, pendidikan masyarakat, dan penegakan hukum yang kuat.

Pada pelaksanaannya diperlukan partisipasi masyarakat luas termasuk dunia usaha, sehingga dalam proses ICM sebaiknya cakupannya diperluas, menjadi (Turner dan Bateman, 2001): 

1. Integrasi program dan rencana untuk pembangunan ekonomi, pengelo- laan kualitas lingkungan dengan program ICM: 

2. Integrasi program ICM dengan program berbagai sektor terkait seperti perikanan, energi, transportasi, pengelolaan sumberdaya air, sumber pen- cemaran, pengelolaan pariwisata dan bencana alam; 

3. Integrasi responsibiliti berbagai tugas ICM dengan berbagai tingkatan pemerintahan (lokal, provinsi, regional, nasional, internasional), dan di antara masyarakat dan dunia usaha; 

4. Integrasi berbagai elemen pengelolaan, dari perencanaan dan disain, hingga implementasinya yang meliputi konstruksi dan instalasi, kegiatan dan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi; 

5. Integrasi di antara disiplin ilmu, seperti ekologi, geomorfologi, biologi laut, ekonomi, teknik sipil, ilmu politik, hukum, dan 

6. Integrasi para pihak termasuk dunia usaha dalam pengelolaan SDA.

Dalam menciptakan keterpaduan ideal untuk pengelolaan wilayah pesisir, terdapat sejumlah kendala. Ego sektoral dan beragam kepentingan kelompok menyulitkan upaya ini. Lemahnya penegakan hukum juga menjadi masalah. Oleh karena itu, perlu menciptakan keterpaduan antarlembaga dan sektor, serta antarpemerintah dan tingkatan wewenang. Integrasi antara ekosistem darat dan laut, serta antardisiplin ilmu, juga sangat penting. 

Desentralisasi pengelolaan sumber daya alam yang jelas, pengakuan hak masyarakat, konsistensi dalam pembiayaan dan perencanaan, serta dukungan dari lembaga dan penegakan hukum yang kuat juga diperlukan. Kebijakan pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu mencakup pemanfaatan dan pengaturan sumber daya alam, termasuk hayati dan non-hayati, layanan lingkungan, sumber daya buatan, serta tanah-tanah timbul. Semua ini harus dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang berlaku, memperhatikan hak-hak ulayat dan masyarakat adat, serta prinsip-prinsip hukum setempat.

Pembelajaran penting bagi Indonesia, dalam rangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan adalah (DKP, 2003): 

1. Perlunya payung hukum tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu;

2. Membantu memfasilitasi pengambilan keputusan terpadu dan terintegrasi, melalui proses koordinasi dan kerjasama di antara berbagai sektor, secara terus menerus dan dinamis; 

3. Meningkatkan peran instansi terkait yang memiliki instrumen pengelolaan baik secara struktural, aturan, maupun prosedur/kebijakan bersifat insentif, dan 

4. Membantu dan memfasilitasi setiap keputusan yang diambil, melalui evaluasi formal dan konsisten.

Demi mencapai tujuan ICM, peningkatan kapasitas pengelolaan menjadi kunci kesuksesan. Hal ini mencakup berbagai aspek, termasuk kemampuan perencanaan dan pelaksanaan, peningkatan kapasitas institusi, dan peraturan serta mekanisme kerjanya.

Program penting dalam peningkatan kapasitas pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia adalah MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Programme), yang dikembangkan dengan dukungan ADB sejak tahun 2002/2003. Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya pesisir dan laut secara bijaksana dalam kerangka ICM. MCRMP fokus pada pengembangan kapasitas daerah, yang diharapkan akan memastikan pengelolaan berkelanjutan.

MCRMP mencakup langkah-langkah berikut (DKP, 2003):

1. Memperkuat kemampuan daerah dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

2. Meningkatkan ketersediaan dan akses terhadap informasi dan data perencanaan sumber daya pesisir dan laut.

3. Memperkuat kerangka hukum dan peraturan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut serta penegakan hukum.

4. Mengembangkan program pengelolaan sumber daya di tingkat skala kecil untuk meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Program MCRMP adalah upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pakar dan konsultan dalam dan luar negeri. Fokusnya adalah memperkuat kapasitas daerah, yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan mereka dalam menerapkan konservasi dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara bijaksana. Ini mencakup pengembangan rencana berjenjang, termasuk rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi. 

Semua ini bertujuan mengarahkan pengelolaan sumber daya pesisir sesuai prinsip-prinsip ICM dan dapat membantu dalam sosialisasi dan pelaksanaan program ICM, sehingga mencapai pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir yang lebih terpadu dan berkelanjutan. Program ini juga akan memainkan peran penting dalam mitigasi bencana seperti kenaikan permukaan laut dan bencana alam, sambil mendukung kualitas hidup yang berkelanjutan (Dahuri dkk., 1996).


Daftar Refrensi:

Alikodra, H.S. dan H.R. Syaukani. 2004. "Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas." Penerbit Nuansa, Bandung.

Arthurton, R.S. 2001. "Marine-Related Physical Natural Hazards Affecting Coastal Megacities of the Asia-Pacific Region: Awareness and Mitigation" (dalam: Water Resources and Coastal Management, Turner, R. K., H99 I. J. Bateman, eds: 82-102). Edward Elgar Publishing Limited, Massachusetts.

Case, M.F., Ardiansyah, E. Spector. 2008. "Climate Change in Indonesia: Implications for Humans and Nature." WWF-Indonesia & Brandeis University, Jakarta.

Cicin-Sain, B., R.W. Knecht. 1998. "Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices." Island Press, California.

Cruz, R.V., H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y. Honda, M. Jafari, C. Li, dan N. Huu Ninh. 2007. "Asia Climate Change: Impacts, Adaptation, and Vulnerability." Kontribusi Kelompok Kerja II pada Laporan Penilaian Keempat Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. "Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu." PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Diposaptono, S., Budiman. 2005. "Tsunami." Penerbit Buku Ilmiah Populer, Bogor.

DKP. 2003. "Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir." Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Dept. Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

National Geographic. 2007. "The Acid Threat." Jurnal Resmi NGS: Nov 2007, Vol. 212, No. 5: 110-111.

Nicholls, R.J., S.P. Leatherman, 2001. "Adapting to Sea-Level Rise: Relative Sea-Level Trends to 2100 for the United States" (dalam: Water Resources and Coastal Management, Turner, R.K., LJ. Bateman, eds: 103-126). Edward Elgar Publishing Limited, Massachusetts.

Noor, Y.R., M. Khazali, LN.N. Suryadiputra. 2006. "Panduan Pengelolaan Mangrove." Ditjen PHKA dan Wetlands International Indonesia Programme, Bogor.

Owen, O.S. 1980. "Natural Resources Conservation." Macmillan Publishing Co., Inc., New York.

Steele, J.H. 2001. "Marine Functional Diversity: Ocean and Land Ecosystem May Have Different Time Scale for Their Response to Change" (dalam: Water Resources and Coastal Management, Turner, R.K, J. Batemen, eds: 3-19). Edward Elgar Publishing Limited, Massachusetts.

Sukarno. 1995. "Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang." Pelatihan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Angkatan I. PPLH-IPB, Bogor.

Turner, R.K., I.J. Bateman. 2001. "Towards Integrated Coastal Management" (dalam: Water Resources and Coastal Management, Turner, R.K., I.J. Bateman, Eds: xiii. Edward Elgar Publishing Limited, Massachusetts.

Watson, D. 2005. "Pendekatan MCRMP dalam Pengembangan Kapasitas Kelembagaan." MCRMP-DKP, Jakarta.

0 Response to "Panduan Praktis untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Ekosistem Pesisir"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed