-->

Keberlanjutan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan Hujan Tropis: Ancaman Deforestasi dan Perubahan Iklim

Indonesia memiliki hutan tropis luas, dengan total luas kawasan hutan sekitar 132.4 juta hektar. Namun, karena deforestasi, kebakaran hutan, pembalakan liar, dan perladangan liar, luas hutan efektif saat ini hanya sekitar 98 juta hektar. Dalam persentase terhadap seluruh daratan Indonesia (187.8 juta hektar), sekitar 52.4% adalah hutan, 45.7% adalah non-hutan, dan 1.9% tidak memiliki data yang tersedia. Dari total kawasan hutan daratan, sekitar 70.5% (90.1 juta hektar) masih berhutan, sementara 29.5% (39.3 juta hektar) merupakan lahan non-hutan. Ada juga sekitar 1.6% (3.0 juta hektar) yang tidak dapat diobservasi karena awan atau kurangnya data.
Ilustrasi Hutan Paru-Paru Dunia|Source Pinterest: HijUp

Indonesia memiliki hutan tropis luas, dengan total luas kawasan hutan sekitar 132.4 juta hektar. Namun, karena deforestasi, kebakaran hutan, pembalakan liar, dan perladangan liar, luas hutan efektif saat ini hanya sekitar 98 juta hektar. Dalam persentase terhadap seluruh daratan Indonesia (187.8 juta hektar), sekitar 52.4% adalah hutan, 45.7% adalah non-hutan, dan 1.9% tidak memiliki data yang tersedia. Dari total kawasan hutan daratan, sekitar 70.5% (90.1 juta hektar) masih berhutan, sementara 29.5% (39.3 juta hektar) merupakan lahan non-hutan. Ada juga sekitar 1.6% (3.0 juta hektar) yang tidak dapat diobservasi karena awan atau kurangnya data.

Persebaran Hutan Hujan Tropis di Dunia

Hutan hujan tropis, yang meliputi sekitar 14% dari luas permukaan bumi, saat ini menyusut dari 1.692 juta hektar menjadi 1.544 juta hektar. Hutan ini terletak di sekitar garis khatulistiwa pada 10 Lintang Utara dan 10 Lintang Selatan, termasuk di Asia Tenggara, Afrika Barat, Amerika Tengah, dan Selatan. Ada juga hutan hujan tropis di luar jalur khatulistiwa, seperti di Mexico, Brazil, Madagaskar, India, dan Australia. Hutan hujan tropis memiliki peran penting dalam mendukung stabilitas kehidupan manusia dan pembangunan berkelanjutan.

Hutan hujan tropis, yang meliputi sekitar 14% dari luas permukaan bumi, saat ini menyusut dari 1.692 juta hektar menjadi 1.544 juta hektar. Hutan ini terletak di sekitar garis khatulistiwa pada 10 Lintang Utara dan 10 Lintang Selatan, termasuk di Asia Tenggara, Afrika Barat, Amerika Tengah, dan Selatan. Ada juga hutan hujan tropis di luar jalur khatulistiwa, seperti di Mexico, Brazil, Madagaskar, India, dan Australia. Hutan hujan tropis memiliki peran penting dalam mendukung stabilitas kehidupan manusia dan pembangunan berkelanjutan.
Foto Hutan Hujan Tropis| Source Pinterest: Photos.com by Getty Images


Tipe hutan ini dibagi berdasarkan formasi hutan, termasuk hutan hujan tropika selalu hijau dataran rendah, hutan hujan tropika pegunungan rendah, hutan hujan tropika pegunungan tinggi, hutan hujan tropika subalpin, hutan kerangas, hutan pada batu kapur, hutan pada batuan ultra-basa, vegetasi pantai, hutan bakau, hutan payau, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan rawa musiman, hutan hujan tropika semi selalu hijau, dan hutan luruh daun tropika lembab, yang masing-masing memiliki ciri-ciri vegetasi khas.

Secara keseluruhan di dunia ada tiga blok utama hutan tropis, yaitu:

1. Hutan Hujan Amerika: pusatnya di Dataran Amazon 

2. Indo-Malaya: penyebarannya meliputi Indonesia, Papua New Guinea,Malaysia, Thailand, Indo-China, dan Philipina

3. Hutan Hujan Afrika: Pusatnya di Dataran Kongo

Persebaran Hutan di Indonesia

Hutan tropis Indonesia memiliki kekayaan biologis yang tinggi, menempati peringkat ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo (FWI/GFW, 2002). Keanekaragaman tumbuhan di Indonesia sangat beragam antar pulau karena zona-zona biogeografi. Hal ini membuat Indonesia memiliki keanekaragaman jenis hutan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Papua New Guinea, dan Australia. Kekayaan alam ini adalah aset penting untuk menjaga stabilitas nasional Indonesia.

Sesuai dengan kondisi biogeography hutan Indonesia dapat dikelompokan ke dalam tiga zona, yaitu:

1. Zona yang berada di Paparan Sunda meliputi Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa yang secara alam didominasi oleh jenis-jenis dari famili dipterocarpaceae;

2. Zona yang berada di Paparan Sahul meliputi Papua yang relatif miskin dengan campuran namun kaya dengan jenis-jenis agathis; dan

3. Zona Intermediate Wallacea yang meliputi Pulau Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, yang kaya akan jenis-jenis eboni, agathis, eucaliptus, dan cendana. 

Penutupan lahan berhutan di kawasan hutan daratan Indonesia terbagi menurut pulau besar, dengan Pulau Papua memiliki luas penutupan lahan hutan terbesar, mencakup 33.1% dari total lahan berhutan di daratan Indonesia (32.6 juta hektar), diikuti oleh Pulau Kalimantan dengan 27.8% (27.4 juta hektar), sementara Pulau Bali dan Nusa Tenggara memiliki yang terkecil, hanya 1.5% (1.4 juta hektar). Pulau-pulau lainnya memiliki penutupan lahan hutan kurang dari 15.0% (PIKA 2008). 

Hutan dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan pengelolaannya, yaitu hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam tumbuh secara alami dengan jenis campuran dan umur tegakan yang tidak pasti. Sementara hutan tanaman memiliki kelas umur tanaman yang pasti karena ditanam. Kualitas tegakan hutan, baik hutan alam maupun hutan tanaman, dapat menurun akibat berbagai faktor seperti pembalakan liar, penggembalaan ternak, hama, penyakit, dan kebakaran hutan. Kualitas tegakan hutan sering dilihat dari kerapatan tajuknya, dengan tajuk yang rapat memiliki penutupan 70%, yang cukup memiliki penutupan 40-70%, dan yang jarang memiliki penutupan di bawah 40%. Untuk mempertahankan struktur tegakan hutan yang normal sesuai dengan tujuan pengelolaannya, diperlukan intervensi manusia.

Kawasan hutan Indonesia dibagi menjadi tiga kategori utama berdasarkan statusnya: 

(1) Hutan Produksi: Mencakup sekitar 52% dari luas total hutan di Indonesia. 

(2) Hutan Lindung: Mencakup sekitar 30% dari luas total hutan di Indonesia. 

(3) Hutan Konservasi: Mencakup sekitar 21% dari luas total hutan di Indonesia. 

Namun, hasil rekalkulasi yang lebih rinci dari PIKA (2008) memperlihatkan pembagian yang lebih detail: 

1. Hutan Konservasi: 15.2 juta hektar (77.1% dari total luas Hutan Konservasi 19.7 juta hektar). 

2. Hutan Lindung: 23.0 juta hektar (77.1% dari total luas Hutan Lindung 29.9 juta hektar). 

3. Hutan Produksi Tetap: 22.1 juta hektar (61.8% dari total luas Hutan Produksi Tetap 35.7 juta hektar). 

4. Hutan Produksi Terbatas: 18.8 juta hektar (76.0% dari total luas Hutan Produksi Terbatas 24.8 juta hektar). 

5. Hutan Produksi yang dapat di-Konversi: 11.0 juta hektar (49.2% dari total luas Hutan Produksi yang dapat di-Konversi 22.4 juta hektar). 

6. Areal Penggunaan Lain: 8.3 juta hektar (15.0% dari total luas Areal Penggunaan Lain 55.4 juta hektar).

Mengenal Fungsi Ekosistem Hutan Bagi Kehidupan

Hutan tropis, sebagai sebuah ekosistem, memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk aspek biologi, ekologi, fisik, kimia, sosial-budaya, dan ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang cepat dan pembangunan yang sering mengabaikan keberlanjutan ekosistem hutan ini telah menyebabkan deforestasi dan kerusakan hutan. 

Akibatnya, luas hutan efektif semakin menyusut. Jika deforestasi dan kerusakan hutan berlanjut, keberlanjutan kehidupan manusia dan pembangunan akan semakin terancam. Ekosistem hutan sangat kompleks, bukan hanya terdiri dari pohon-pohon, tetapi juga beragam tumbuhan, makhluk mikroskopis, serta fauna lainnya. Semuanya membentuk ekosistem yang saling terkait dalam hubungan yang rumit. Hutan hujan tropis Indonesia adalah rumah bagi berbagai jenis flora dan fauna, yang mendukung berbagai sektor industri seperti pariwisata, sandang, pangan, konstruksi, dan obat-obatan. Ekosistem hutan ini juga berperan penting dalam mengendalikan erosi tanah dan banjir, menyerap pencemaran lingkungan, menjaga stabilitas iklim mikro, dan memiliki dampak signifikan pada stabilitas cuaca dan iklim global.

Hutan tropis, sebagai sebuah ekosistem, memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk aspek biologi, ekologi, fisik, kimia, sosial-budaya, dan ekonomi.
Foto Ekosistem di Taman Nasional Alas Purwo|Source Pinterest: tourbanyuwangi

Hutan tropis merupakan ekosistem yang sangat unik dan khas. Hutan ini tumbuh di daerah tropis sekitar garis khatulistiwa, dengan tanah tropis, suhu, kelembaban, dan curah hujan tahunan yang tinggi. Kondisi ini menciptakan ekosistem hutan yang unik dengan ciri-ciri seperti vegetasi selalu hijau, variasi yang signifikan dari satu tempat ke tempat lain, dan kehidupan yang sangat beragam. 

Namun, hutan hujan tropis juga sangat rentan terhadap berbagai tekanan, termasuk aktivitas manusia, perubahan iklim (terutama suhu dan curah hujan yang tinggi), dan kerentanan tanah tropis terhadap erosi selama musim hujan. Hal ini membuat pelestarian ekosistem hutan hujan tropis menjadi tantangan. Masih banyak upaya ekonomi yang mendominasi pengelolaan hutan daripada pelestarian lingkungan. Selain itu, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan umumnya miskin, dan lemahnya penegakan hukum juga berkontribusi pada kerusakan hutan. Untuk dianggap sebagai hutan, sekelompok pohon harus memiliki tajuk yang cukup rapat. 

Hal ini mendorong pemangkasan alami dan penghasilan serasah yang penting bagi siklus hara dan kesuburan tanah hutan. Dinamika hutan juga memengaruhi bagaimana energi dipindahkan dari satu organisme ke organisme lain dalam rantai makanan, sehingga memengaruhi keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya, termasuk mikroflora, fauna, dan organisme mikroskopis lainnya yang memiliki berbagai bentuk dan fungsi yang berbeda.

Kondisi suksesi hutan tropis yang cenderung menuju hutan klimaks dapat menjadi tantangan bagi berbagai jenis fauna yang mendiami hutan tersebut. Sebagai contoh, banteng menginginkan padang rumput yang luas, namun padang rumput tersebut secara alami akan mengalami perubahan menjadi semak belukar, hutan sekunder, dan akhirnya hutan klimaks. 

Di sisi lain, jenis-jenis owa dan burung enggang memerlukan pohon-pohon dengan tajuk yang tinggi. Demikian pula, burung pecuk ular di Pulau Rambut memerlukan pohon kepuh sebagai tempat tidur dan bersarang, tetapi pohon kepuh tidak bisa tumbuh secara alami di pulau tersebut karena memerlukan cahaya matahari yang cukup. Hal yang sama berlaku untuk burung kuntul yang membutuhkan pohon mangrove sebagai tempat bersarang dan tempat tidur. 

Hutan tropis memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung kelangsungan hidup manusia dan pembangunan. Oleh karena itu, perlu dijaga dari berbagai faktor yang dapat mengancam kelestariannya. Pemanfaatan hutan tropis harus memperhatikan keberlanjutan, karena eksploitasi yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kerusakan hutan. 

Banyak faktor, termasuk peristiwa alam dan aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, dapat merusak hutan. Namun, keputusan manusia sangat mempengaruhi kelestarian hutan, dan seringkali keputusan tersebut tidak selaras dengan upaya perlindungan dan pelestarian hutan. 

Banyak orang hanya melihat hutan sebagai sumber keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa memikirkan dampaknya pada lingkungan. Hutan adalah benteng terakhir dalam menjaga kesehatan dan sumber penghidupan manusia. Produk-produk ekosistem hutan dapat memenuhi berbagai kebutuhan industri, dan hutan yang stabil mendukung stabilitas ekologi dan sosial budaya masyarakat. 

Sebaliknya, kerusakan ekosistem hutan dapat mengancam pertumbuhan dan perkembangan manusia. Contoh-contoh dari negara-negara seperti Ethiopia menunjukkan bahwa kerusakan hutan dapat membuat masyarakat menjadi lebih rentan. Oleh karena itu, banyak negara berusaha untuk menjaga setidaknya 30% dari luas wilayahnya sebagai hutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Ancaman Proses Kepunahan Ekosistem Hutan

Hutan hujan tropis Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam keanekaragaman hayati dunia dan ditempatkan pada peringkat ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Congo dalam hal kekayaan biologis. Laporan UNEP dan KMNLH (2000) menyebutkan bahwa Indonesia, meskipun hanya mencakup 1.3% dari total luas permukaan bumi, memiliki andil yang signifikan dalam keanekaragaman hayati dunia. Indonesia memiliki 10% dari seluruh jenis tumbuhan dunia, 12% dari seluruh jenis mamalia, 16% dari seluruh jenis reptil dan amfibi, 17% dari seluruh jenis burung, serta lebih dari 25% dari seluruh jenis ikan laut dan ikan air tawar di seluruh dunia. Indonesia bahkan menduduki peringkat pertama dalam hal kekayaan mamalia, peringkat ketiga dalam hal kekayaan reptil, dan peringkat keempat dalam hal kekayaan burung, menjadikannya salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Oleh karena itu, banyak yang menganggap Indonesia sebagai "negara megabiodiversitas." Namun, kekayaan hayati Indonesia saat ini menghadapi ancaman serius karena deforestasi, kerusakan hutan, dan pencemaran lingkungan. Hutan, sebagai habitat bagi berbagai jenis satwa liar, semakin terfragmentasi, mengancam kelangsungan hidup mereka. Keanekaragaman hayati ini menghadapi risiko kepunahan baik karena alam maupun karena tekanan pertumbuhan penduduk, pembangunan, dan perubahan iklim. Perlindungan dan pelestarian hutan serta upaya konservasi menjadi sangat penting untuk menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.

Angka keanekaragaman hayati, seperti jumlah spesies, dapat berubah dari waktu ke waktu, baik menurun maupun meningkat. Dalam perspektif adaptasi dan evolusi spesies, kepunahan adalah bagian dari proses alam, karena tidak ada satu pun kehidupan yang abadi. Namun, dalam zaman modern, laju kepunahan semakin tinggi karena eksploitasi sumber daya alam dan pencemaran lingkungan yang terus meningkat. 

Sejarah menunjukkan bahwa laju kepunahan rata-rata dalam satu juta tahun adalah sekitar sembilan persen dari jumlah spesies yang ada. Namun, saat ini, laju kepunahan di daerah tropis telah meningkat menjadi sekitar 1.000 hingga 10.000 kali lipat laju kepunahan alami. Proyeksi kepunahan di masa depan, seperti yang dicatat dalam tabel dari "Economics for the Wilds" (Swamson dan Barbier, 1992), sangat mengkhawatirkan dan berlangsung dalam waktu singkat, yaitu 50 hingga 100 tahun ke depan. Negara-negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi sering memiliki karakteristik umum seperti terletak di daerah tropis, hutan yang luas, status sebagai negara berkembang, dan tingkat pendapatan per kapita yang rendah. 

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap penurunan keanekaragaman hayati, dan oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang tepat untuk mengurangi kemiskinan. Masyarakat desa di sekitar hutan, yang umumnya termasuk dalam golongan miskin, perlu mendapatkan dukungan dalam bentuk perbaikan rumah, akses pendidikan yang baik, dan fasilitas ibadah. Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh negara-negara berkembang yang menjadi pusat keanekaragaman hayati adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Antara tahun 1950 dan 1990, pertumbuhan penduduk di negara-negara ini mencapai 150% (dari 1.6 miliar menjadi 4 miliar), sementara negara maju hanya mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 50% (dari 0.8 miliar menjadi 1.2 miliar).

 Pertumbuhan populasi yang cepat ini memberikan tekanan besar pada sumber daya hutan. Masalahnya semakin kompleks ketika populasi manusia di negara-negara berkembang diantisipasi akan mengganda pada 100 tahun mendatang, meningkat dari 4 miliar menjadi 8.7 miliar. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang bijak dalam mengatur pertumbuhan penduduk dan menjaga lingkungan hidup, termasuk perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan yang baik.

Tabel Perkiraan Laju Kepunahan Beberapa Spesies (Swamson dan Barbier, 1992)
Perkiraan Kepunahan
(persentase dari jumlah spesies yang ada)
Sumber
33-55 Lovejoy (1980)
50 Ehrlich (1981)
25-30 Myers (1983)
33 Simberloff (1986)
20-25 Norton (1986)

Apa itu Hutan Produksi?

Pengelolaan hutan produksi di Indonesia melibatkan dua sistem utama: Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI), terutama untuk hutan produksi terbatas, dan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) untuk hutan produksi biasa. Kedua sistem ini memerlukan perbaikan berdasarkan penelitian ilmiah dalam bidang sin-ekologi. Pendekatan utama dalam pengelolaan hutan adalah menjaga keberlanjutan hasil sumber daya hutan dengan menerapkan pengetahuan tentang silvikultur (ilmu penanaman dan pemeliharaan hutan) dan ekologi hutan. 

Saat pertama kali diperkenalkan, TPTI (awalnya dikenal sebagai TPI, Tebang Pilih Indonesia) didasarkan pada pemahaman tentang komposisi, struktur, dan pertumbuhan hutan campuran Dipterocarpaceae. Oleh karena itu, penerapan TPTI untuk jenis hutan lain, seperti hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan ramin, hutan ulin, dan hutan eboni, memerlukan penelitian yang cermat dalam bidang otonomi ekologi dan sin-ekologi. 

Otonomi ekologi adalah studi organisme atau spesies secara individu, termasuk sejarah kehidupan, perilaku, dan adaptasi terhadap lingkungannya, sementara sin-ekologi adalah studi kelompok organisme yang berinteraksi dalam satu ekosistem, termasuk studi interaksi antara spesies-satwa liar dengan lingkungannya. Hutan tanaman industri (HTI) sering menghadapi masalah kegagalan karena jenis pohon yang ditanam tidak sesuai dengan kondisi tanah. 

Untuk memastikan kesuksesan HTI, diperlukan penelitian otonomi ekologi dan pencocokan jenis pohon dengan kondisi tempat tumbuh (species-site matching) (Soerianegara, 1996). Ini berarti mengkaji hubungan antara jenis pohon yang akan ditanam dan karakteristik lingkungan tempat pohon tersebut akan tumbuh untuk memastikan keberhasilan penanaman dan pertumbuhan mereka.

Hasil hutan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan non-kayu. Hasil hutan non-kayu mencakup berbagai jenis, termasuk rotan, madu, getah, damar, jamur, bakteri, satwa liar, serta sumber daya vital seperti air bersih dan udara bersih. Selain itu, sektor kehutanan di Indonesia mencakup dua jenis hak pengusahaan, yaitu Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH). 

Di samping produksi kayu dan non-kayu, sektor kehutanan juga melibatkan kegiatan pariwisata alam dan pemanfaatan tanaman obat. Namun, pertumbuhan industri kehutanan di Indonesia sejak tahun 1967 telah berdampak negatif pada keberlanjutan hutan dan menciptakan citra yang buruk terkait pengelolaan hutan di negara ini. 

Pertumbuhan industri kehutanan tersebut disebabkan oleh regulasi yang memungkinkan masuknya investasi asing dan modal domestik. Pada tahun 1988, produksi hutan Indonesia mencakup tujuh persen dari produksi kayu dunia atau sekitar 38 persen dari produksi di ASEAN. 

Pada tahun 1989, nilai ekspor industri hasil hutan mencapai US$4 miliar per tahun, menduduki peringkat kedua setelah minyak dan gas. Pada tahun yang sama, produksi kayu mencapai 152 juta kubik meter, di mana 115 juta kubik meter digunakan sebagai kayu bakar (Nasution, 1999). Maraknya industri kehutanan juga memberikan dampak negatif pada lingkungan hidup, seperti meningkatnya banjir, erosi, dan pencemaran air. 

Krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1998 berdampak pada penurunan nilai ekonomi dari hasil hutan, dan hal ini juga mempengaruhi industri kehutanan secara keseluruhan. Penurunan ekonomi tersebut berdampak pada semakin rendahnya minat dan investasi dalam sektor kehutanan. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan juga semakin memburuk, yang pada gilirannya meningkatkan aktivitas pembalakan liar (illegal logging).

Sejak tahun 1980, Indonesia telah menjadi salah satu negara pengekspor kayu bulat terbesar di dunia. Hal ini dimanfaatkan oleh negara-negara pengimpor untuk mengembangkan industri perkayuan. Namun, menyadari nilai tambah yang bisa didapatkan dari industri hilir perkayuan, pemerintah Indonesia mulai membatasi ekspor kayu bulat pada tahun 1980 dan akhirnya melarang ekspor kayu bulat pada tahun 1985. 

Seiring dengan pembatasan ini, industri perkayuan dalam negeri mulai berkembang secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan daya dukung hutan. Akibatnya, pasokan kayu sebagai bahan baku menjadi semakin sulit dipenuhi. Kebijakan ini memunculkan banyak masalah, seperti penebangan di luar kawasan yang diizinkan, tindakan pencurian kayu, dan semakin meluasnya penebangan liar. 

Dampaknya adalah kerusakan hutan yang semakin luas. Kekhawatiran tentang kerusakan hutan dan dampaknya telah diungkapkan oleh para ahli kehutanan. Sebagai contoh, kerusakan hutan di Pulau Jawa dihubungkan dengan masalah banjir, erosi, kekeringan, dan tanah tandus. Di luar Pulau Jawa, terutama di Sumatera dan Kalimantan, kerusakan hutan dihubungkan dengan semakin menipisnya pasokan kayu, kerusakan tanah, ekspansi padang alang-alang, dan ancaman terhadap satwa liar serta keanekaragaman hayati tumbuhan. 

Dalam perkembangan selanjutnya, nilai ekologi hutan semakin diperhatikan dan diintegrasikan dalam sistem pengelolaan hutan, selain dari nilai sosial dan ekonomi. Seiring dengan penurunan nilai hutan, jumlah unit pengelolaan hutan (HPH) di Indonesia juga mengalami penurunan signifikan. Untuk masa depan, kegiatan penebangan hutan akan dikurangi dan digantikan oleh kegiatan lain yang lebih berkelanjutan. Pendekatan ini mencakup pengembangan ekowisata (ekoturisme), bio-prospeksi (penelitian sumber daya genetik organisme), dan pemanfaatan jasa lingkungan lainnya seperti sumber daya air dan udara bersih. Ketiga potensi ini, jika dikelola dengan baik, dapat memberikan dampak positif yang luas pada pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja sambil menjaga kelestarian lingkungan.

Deforestasi Hutan di Indonesia

Tujuan utama pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, seringkali pertimbangan ekonomi mendominasi kebijakan di bidang kehutanan. Banyak ahli kehutanan berharap agar pertimbangan ekonomi tidak mendominasi kebijakan ini, terutama jika dilihat dari perspektif ekologi dan keseimbangan lingkungan hidup. 

Sejak awal pengelolaan hutan, dasar manajemen kehutanan adalah menjaga kelestarian hasil hutan, dan perhitungan eksploitasi selalu didasarkan pada kemampuan regenerasi tegakan hutan. Kebijakan kehutanan juga berkembang dengan mempertimbangkan fungsi-fungsi ekologi, biologi, ekonomi, sosial, dan budaya hutan, serta upaya untuk menjaga kelestarian hutan yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati dan lingkungan. 

Tujuan utama pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, seringkali pertimbangan ekonomi mendominasi kebijakan di bidang kehutanan. Banyak ahli kehutanan berharap agar pertimbangan ekonomi tidak mendominasi kebijakan ini, terutama jika dilihat dari perspektif ekologi dan keseimbangan lingkungan hidup.   Sejak awal pengelolaan hutan, dasar manajemen kehutanan adalah menjaga kelestarian hasil hutan, dan perhitungan eksploitasi selalu didasarkan pada kemampuan regenerasi tegakan hutan. Kebijakan kehutanan juga berkembang dengan mempertimbangkan fungsi-fungsi ekologi, biologi, ekonomi, sosial, dan budaya hutan, serta upaya untuk menjaga kelestarian hutan yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati dan lingkungan.
Foto Deforestasi akibat peluasan perkebunan kelapa sawit| Souce: mongabay

Kesadaran global terhadap perlindungan dan pelestarian hutan hujan tropis semakin meningkat, dan pemerintah Indonesia juga semakin menyadari pentingnya menjaga dan memelihara hutan hujan tropis ini. Kesadaran masyarakat dunia terhadap konservasi hutan telah tumbuh, terutama dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan ketahanan nasional. 

Di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, permasalahan terkait kelestarian hutan semakin mengkhawatirkan. Kerusakan hutan disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti pemba- lakan liar, perubahan fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, dan kegiatan penambangan. Penebangan liar dan penjarahan hutan, terutama di perbatasan Kalimantan-Sarawak, telah menyebabkan kerusakan hutan semakin cepat. Bahkan kegiatan penebangan hutan liar ini tidak lagi memperhatikan status kawasan hutan, baik yang termasuk dalam kategori hutan produksi, hutan konservasi, atau hutan lindung.

Situasi hutan di Pulau Sumatera tampak sangat kritis, dengan luas hutan yang mengalami penciutan yang sangat cepat. Pada tahun 1985, luas hutan di Pulau Sumatera mencapai sekitar 25 juta hektar (59% dari luas Sumatera). Namun, pada tahun 2008, luas hutan tersebut terus menyusut menjadi hanya 12,6 juta hektar, atau sekitar 29% dari total luas hutan semula. 

Pada tahun 2011, hutan hujan tropis Sumatera bahkan dimasukkan dalam daftar situs dunia yang terancam menurut pertemuan tahunan World Heritage Committee di Paris. Provinsi Jambi dan Riau adalah daerah yang menjadi sorotan karena tingkat penciutan hutan yang paling nyata. Di kedua provinsi ini, terutama di Jambi, kegiatan tebangan liar mengakibatkan setiap hari sekitar 400 truk kayu bulat dieksploitasi dan diangkut ke industri perkayuan seperti sawmill dan plywood. Akibatnya, hutan yang tersisa di Jambi dan Riau hanya sekitar 18-20 persen dari luas hutan semula yang mencapai lima hingga tujuh juta hektar. 

Pelanggaran terhadap hutan ini sulit dibendung, dan ini terkait erat dengan kelemahan dalam institusi pengelolaan hutan. Salah satu masalah utama adalah ketidakjelasan yurisdiksi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kepemilikan hutan oleh masyarakat lokal dan masyarakat adat. Ketidakjelasan ini telah menghambat partisipasi aktor-aktor dalam upaya pengelolaan hutan secara lestari. 

Situasi ini menciptakan para pelaku yang berusaha mengambil keuntungan tanpa memberikan kontribusi apapun terhadap kelestarian hutan, dikenal sebagai free riders. Ini termasuk dalam kelompok free riders adalah para pelaku bisnis dan oknum pejabat yang memanfaatkan ketidakjelasan dalam regulasi, termasuk yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat terhadap hutan. 

Dalam upaya memanfaatkan ekonomi ekosistem hutan, pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang seharusnya berperan dalam pengelolaan hutan seringkali berorientasi pada keuntungan ekonomi jangka pendek dan melanggar peraturan hutan. Hal ini telah berdampak pada penurunan kualitas hutan dan keberlanjutan pengelolaannya.

Dampak Rusaknya Ekosistem Hutan Bagi Kehidupan

Kerusakan hutan dan deforestasi memiliki dampak luas pada kehidupan manusia dan pembangunan. Ini melibatkan perubahan dalam biologi dan ekologi lingkungan hidup, kesulitan dalam mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman dan hewan, serta ancaman terhadap keanekaragaman hayati. 

Musim hujan sering kali menyebabkan erosi dan banjir yang merusak harta benda dan infrastruktur. Selain itu, penurunan debit air di sungai, danau, waduk, dan rawa selama musim kemarau mengganggu potensi pembangkit listrik tenaga air dan produksi perikanan, serta mengurangi produktivitas pertanian irigasi. 

Kerusakan hutan disebabkan oleh berbagai faktor kompleks yang melibatkan berbagai pihak, termasuk individu, kelompok, daerah, dan lembaga. Ini seringkali berakar pada konflik kepentingan antara aktivitas ekonomi dan perlindungan lingkungan, serta antara pihak yang mengambil sumber daya hutan dan yang ingin melestarikannya. Konflik semacam ini bisa berpotensi memicu konflik antarnegara atau antarsuku, serta mengganggu stabilitas pemerintahan. Akibatnya, berisiko meningkatkan kemiskinan, pengangguran, dan krisis ekonomi.

Semua kerusakan hutan berasal dari perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan dan semakin kurangnya kesadaran moral dan etika konservasi. Mereka seringkali mengutamakan keuntungan ekonomi segera tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjang, merugikan nilai-nilai sosial, budaya, biologi, dan ekologi. 

Hutan sering dianggap sebagai sumber daya yang bebas digunakan tanpa perasaan tanggung jawab untuk melindungi dan melestarikannya. Kendala dalam penerapan peraturan lingkungan dan hutan masih menjadi masalah, dan kapasitas manusia serta pemerintahan perlu ditingkatkan untuk mempraktikkan prinsip-prinsip konservasi alam.

 Deforestasi dan kerusakan hutan terus meningkat seiring waktu. Untuk mengurangi emisi CO2, negara-negara tropis seperti Indonesia diminta untuk melindungi hutan mereka, sementara negara maju diminta untuk mengurangi emisi mereka sekitar 15-25%. Kebakaran hutan juga menjadi permasalahan serius di berbagai wilayah dan berkontribusi pada degradasi fungsi hutan. 

Kerugian akibat kebakaran hutan, baik secara ekologi, biologi, maupun sosial-ekonomi, sudah mulai dihitung, seperti contohnya kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada tahun 1997 yang mengakibatkan kerugian sekitar Rp60 triliun (US$8,5 miliar). Angka ini belum mencakup nilai-nilai tak berwujud seperti konservasi keanekaragaman hayati, ketersediaan air, dan udara bersih. Juga belum termasuk kerugian kesehatan sebesar Rp20.812 miliar. Peristiwa serupa terjadi pada tahun 1982/1983 di Kalimantan Timur dengan kerugian yang tinggi mencakup 3,5 juta hektar hutan.

Ancaman Perubahan Iklim dari Rusaknya Eksosistem Hutan

Deforestasi dan kerusakan hutan, bersama dengan pembakaran bahan bakar fosil, merupakan faktor yang mendukung perubahan iklim global. Hutan memiliki peran penting dalam menyerap emisi CO2 melalui fotosintesis, dan ketika hutan ditebang, dibakar, atau menghasilkan limbah, karbon akan dilepaskan. UNEP (2007) mengingatkan bahwa kegagalan mengendalikan perubahan iklim dapat mengancam kelangsungan hidup di dunia. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lebih dari 50 persen wilayah Asia, termasuk Indonesia, menghadapi risiko serius akibat perubahan iklim. Perubahan suhu dan pola cuaca yang semakin tidak dapat diprediksi berdampak pada produktivitas tumbuhan, yang selanjutnya memengaruhi ekosistem makanan dan kehidupan fauna. Case et al. (2008) mengindikasikan bahwa semua hutan di Indonesia akan mengalami tekanan akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, perlu ada fokus penelitian yang lebih besar pada dampak perubahan iklim terhadap hutan di Indonesia. Dampak serius dari perubahan iklim, seperti melunaknya cangkang keong, telah dilaporkan oleh National Geographic (2007).

Perubahan iklim, meskipun belum terbukti melalui penelitian, diduga memiliki dampak negatif pada berbagai tumbuhan, khususnya dalam hal pola berbunga dan berbuah. Ini kemungkinan akan memengaruhi hadirnya serangga, burung, dan primata yang bergantung pada tumbuhan tersebut sebagai sumber makanan, terutama yang berkaitan dengan madu dan buah-buahan. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendukung hipotesis ini. Selain itu, peningkatan tinggi air laut dan seringnya gelombang pasang telah menyebabkan kerusakan dan hilangnya hutan mangrove dan hutan pantai. Terutama hutan mangrove adalah habitat penting bagi berbagai jenis burung, primata, ikan, udang, kepiting, dan kerang. 

Hilangnya hutan mangrove juga mengakibatkan hilangnya penyangga pantai yang penting dalam menanggulangi pencemaran perairan pantai dan menahan air laut. Populasi burung maleo, yang bertelur di pantai berpasir, serta penyu laut yang bertelur di pantai, akan terganggu oleh kenaikan tinggi air laut. Demikian juga untuk satwa lain yang hidupnya berkaitan dengan ekosistem pantai seperti buaya muara, biawak, dan bekantan, semuanya akan terkena dampak langsung akibat pemanasan global. Oleh karena itu, tindakan preventif sangat penting untuk melindungi ekosistem pantai dan kehidupan satwa yang ada di sana.

Satwaliar, bagian vital ekosistem hutan, sangat rentan terhadap dampak perubahan suhu. Organisme vertebrata ini berperan penting dalam ekosistem hutan dengan cara sebagai berikut: 

1) Mereka melakukan merumput atau meragut semak/daun muda, memengaruhi struktur dan komposisi vegetasi serta mempertahankan kekompakan tanah yang mencegah erosi. 

2) Melalui pemangsaan, mereka mengendalikan populasi satwa hama. 

3) Proses pencernaan mamalia atau burung saat mengonsumsi tumbuhan hutan berkontribusi pada perkecambahan biji. 

4) Kemampuan mereka dalam merubah habitat, seperti membuat lobang di tanah dan kubangan berendam, meningkatkan sistem aerasi tanah, menghancurkan bahan organik, dan mendukung pergerakan siklus bahan. 

Penting untuk melestarikan kehati, mengingat peran kunci mereka dalam menjaga ekosistem hutan tetap seimbang. Aktivitas seperti pembalakan liar, pertambangan di hutan, dan pertambangan ilegal memberikan dampak negatif pada populasi kehati, terutama dengan fragmentasi dan penggusuran habitat mereka. Perubahan iklim juga dapat mempercepat penurunan kehati, kecuali tindakan antisipatif diambil.

Fragmentasi Habitat Akibat Deforestasi

Pertumbuhan populasi manusia dan pembangunan ekonomi telah menyebabkan penyusutan habitat flora dan fauna. Habitat ini semakin sempit dan terfragmentasi, menghasilkan konsekuensi serius, terutama bagi populasi fauna yang terkurung dalam area terbatas. Hal ini sering menyebabkan konflik antara manusia dan hewan, seperti harimau, gajah, dan orangutan. Konflik ini sangat mencolok di Pulau Sumatera, di mana konflik antara manusia dan gajah atau harimau semakin meningkat, menyebabkan korban jiwa di kedua belah pihak. 

Di Pulau Kalimantan, terutama akibat perubahan habitat menjadi perkebunan, konflik antara manusia dan gajah Kalimantan serta orangutan juga mulai terjadi. Fragmentasi habitat ini juga menciptakan kondisi yang disebut "terpojok" (doomed) bagi satwa, di mana populasi satwa terperangkap dalam habitat yang sempit dan terisolasi tanpa akses ke wilayah lain. Contohnya, kegiatan pembalakan hutan (HPH), perkebunan, dan perubahan fungsi hutan di Pulau Sumatera, terutama di Provinsi Riau dan Jambi, telah mengisolasi satwa besar seperti harimau Sumatera, badak Sumatera, dan gajah Sumatera. Pada tahun 1985, pemerintah menyelamatkan sebelas ekor badak yang terperangkap dalam kawasan hutan sempit di Jambi dan Riau. Kehidupan mereka sangat terancam kepunahan jika kondisi ini dibiarkan.


Daftar Refrensi:

Anonimous. 2010. "Roadmap Toward Rescuing The Ecosystem of Sumatera." Ministry of Internal Affairs, Ministry of Public Work, Ministry of Forestry, State Ministry for Environment, National Development and Planning Board, Coordinating Ministry of Economy Sectors, For TRUST, Jakarta.

Alikodra, H.S. 1998. "Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Nasional Berkelanjutan." Makalah disampaikan pada sosialisasi IMENDAGRI No. 35 Tahun 1997 di Cisarua, Bogor, 30-31 Juli 1998.

Alikodra, H.S. 2001. "Siaga Satu: Konservasi Sumberdaya Hutan." Makalah disampaikan pada lokakarya siaga satu hutan. UNILA-CI Indonesia, Bandar Lampung, 30-31 Juli 2001.

Case M., F., Ardiansyah, E. Spector. 2008. "Climate Change in Indonesia: Implications for humans and nature." WWF-Indonesia & Brandis University. Jakarta.

Cruz, R.V., H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y. Honda, M. Jafari, C. Li and N. Huu Ninh, 2007. "Asia Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability." Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.

CIFOR & UNESCO. 2005. "Life After Logging." CIFOR, Jakarta.

Drengson, A.R., D. MacDonald Taylor, 1977. "Ecoforestry: The Art and Science of Sustainable Forest Use." New Society Publishers Creek, CT, USA.

FWVGFW. 2002. "The State of the Forest Indonesia." Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia, and Washington DC: Global Forest Watch.

Haba, J., I.H. Gayatri, M. Noveria. 2003. "Konflik di Kawasan Illegal Logging." LIPI, Jakarta.

Jaggi, M. and L.A. Sandberg. 1997. "Sustainable Forestry at the Crossroad: Hard lessons for the world." New Society Publishers, Stony Creek, CT, USA.

KMNLH dan UNDP. 1998. "Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Dampak, Faktor dan Evaluasi." KMNLH, Jakarta.

MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child, J. Thorsell. 1990. "Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika." Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Miller, K.R. 1978. "Planning National Park for Ecodevelopment Methods and Cases from Latin America." Center for Strategic Wildland Studies, The School of Nature Resources, Univ. of Michigan, Ann Arbor, Michigan, USA.

MOF. 1991. "Indonesian Tropical Forestry Action Programme." TFAP-FRI, Jakarta.

Molles, M.C. 2005. "Ecology: Concepts and Applications." Mc-Hill Companies, Inc, New York.

Nasution, M. 1999. "Upaya Reformasi dan Kebijaksanaan di Bidang Kehutanan dan Perkebunan untuk Mendukung Pengelolaan SDA Berkelanjutan serta Berbasis Kerakyatan." Dalam: "Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam," Husbani, F. ed., ICEL, Jakarta.

National Geographic. 2007. "The Acid Threat." Official Journal of the NGS: Nov 2007 Vol 212 no 5: 110-111.

Peluso, N.L. 1992. "Rich Forest, Poor People." University of California Press, Los Angeles.

PIKA, 2008. "Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008." Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Badan Planologi Departemen Kehutanan, Jakarta.

Sembiring, S.N. 1999. "Reformasi Hukum Sumberdaya Hutan." Dalam "Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam," Husbani, F. ed., ICEL, Jakarta.

Slocombe, D.S. 1995. "An Ecosystem Approach to Regional Planning." Dalam "Conservation of Biodiversity and the New Regional Planning," Saunier, R.E. and R.A. Meganck Eds., IUCN-The World Conservation Union.

Soerianegara, I. 1996. "Ekologisme dalam Konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari." Dalam "Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan," Suhendang, E., C. Kusmana, Istomo, L. Syafina eds., Jurusan Managemen Hutan IPB & Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Sutton, S.L., T.C. Whitemore, A.C. Chadwick. (1983). "Tropical Rain Forest Ecological and Management." Blackwell Scientific Publications, Melbourne.

Swamson, T.M. and E.B. Barbier. (1992). "Economics for the Wilds." Erthscan Publication Ltd, London.

WRI, IUCN, UNEP. (1992). "Global Biodiversity Strategy."

Thom, M. (1997). "The Movement to Ecologically Sustainable Forestry." Dalam "Ecoforestry," Drengson, A.L. and D. MacDonald Taylor Eds: 245-247. New Society Publishers, Stony Creek, CT, USA.

UNEP. (2007). "Biodiversity and Climate Change." Sect. of the Convention on Biological Diversity.

UNEP dan MNLH. (2000). "Agenda 21 Sektoral: Agenda Kehutanan." Kerjasama UNEP dan KMNLH. KMNLH, Jakarta.

Whitemore, T.C. (1985). "Tropical Rain Forest of the Far East." Clarendon Press, Jakarta.

WWF. (1990). "The Importance of Biological Diversity." WWF International, Gland-Switzerland.

WWF-Indonesia. (2011a). "Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam Penerapan MP3EL."

WWF-Indonesia. (2011b). "Kembali ke Hutan." Living Planet Magazine 1/2: 6-14.

Zulkarnaen, 1, TN. Pudjiastuti, U. Karomah. (2003). "Potensi Konflik di Daerah Pertambangan: Kasus Pongkor dan Cikotok." LIPI, Jakarta.

0 Response to "Keberlanjutan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan Hujan Tropis: Ancaman Deforestasi dan Perubahan Iklim"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed