-->

Mengenal Pencemaran Udara Sebagai Penyebab Hujan Asam

Lima zat pencemar udara yang diukur dalam ISPU adalah partikel debu kecil (PM10), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO₂), sulfur dioksida (SO₂), ozon (O₃), dan nitrogen dioksida (NO₂), yang semuanya dapat masuk ke dalam sistem pernapasan manusia.
Ilustrasi ProsesTerjadinya Hujan Asam | Source: Pinterest


Pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh pertumbuhan industri dan transportasi yang melampaui kapasitas lingkungan telah mengakibatkan pencemaran udara dan hujan asam. Udara semakin tercemar dengan berbagai zat pencemar. Bahan pencemar udara adalah zat-zat yang ada dalam lapisan troposfer dalam jumlah tertentu dan pada keadaan normal tidak berbahaya, tetapi dapat menjadi berbahaya jika melebihi ambang batas tertentu. Bahan-bahan pencemar ini bisa berwujud padat, cair, atau gas, dan bisa berasal dari sumber alami maupun aktivitas manusia (antropogenik) yang jumlahnya terus meningkat, menjadi masalah serius.

Banyak zat pencemar ini dihasilkan melalui pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara dalam industri dan transportasi. Selain itu, proses alam seperti letusan gunung berapi juga dapat melepaskan belerang dioksida (SO₂). Penebangan hutan dan kebakaran hutan bisa melepaskan karbon dioksida (CO₂) yang tersimpan dalam biomassa hutan. Pencemaran udara dapat menyebabkan dampak seperti pola panas balik (inversi termal) dan pembentukan kabut asap (smog), menunjukkan bahwa udara telah tercemar oleh gas dan partikel yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Hasil pengukuran Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) pada Juni 2002 menunjukkan bahwa udara di Jakarta masuk dalam kategori sedang dan tidak sehat. Ini berarti kondisi udara di Jakarta tidak mencapai tingkat sehat. Kategori sedang terjadi selama 23 hari, sementara kategori tidak sehat berlangsung selama tujuh hari dalam sebulan. Kategori sedang terjadi jika nilai ISPU berkisar antara 51-100, sementara kategori tidak sehat adalah ketika nilai ISPU berkisar antara 101-200. Udara yang sehat memiliki nilai ISPU antara 0-50. Kondisi ini memperburuk kualitas udara di Jakarta dan berdampak buruk bagi kesehatan penduduk kota tersebut.

Lima zat pencemar udara yang diukur dalam ISPU adalah partikel debu kecil (PM10), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO₂), sulfur dioksida (SO₂), ozon (O₃), dan nitrogen dioksida (NO₂), yang semuanya dapat masuk ke dalam sistem pernapasan manusia.



Pencemaran udara memiliki dampak buruk terhadap paru-paru manusia. Ini membuat paru-paru menjadi kotor dan mengganggu fungsi mereka dalam memasukkan oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbon monoksida yang bersifat racun. Akibatnya, kesehatan seseorang yang menghirup udara yang tercemar bisa merosot, terutama bagi penderita asma yang mungkin akan mengalami kambuh. Zat-zat seperti Oksigen (O2), Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), dan Senyawa Belerang Dioksida (SO2) juga berbahaya. Konsentrasi ozon yang tinggi bisa merusak jaringan tubuh manusia, terutama yang lunak. Karbon monoksida menghambat oksigen berikatan dengan hemoglobin dalam darah, menyebabkan kekurangan oksigen dalam tubuh. Semua gas-gas ini berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, mulai dari pusing, iritasi mata, batuk, gangguan tenggorokan, bronkitis, kanker paru-paru, hingga gangguan ginjal.

Bahan bakar fosil sering mengandung belerang, yang ketika terbakar menghasilkan sulfur dioksida (SO2). Oleh karena itu, pembakaran bahan bakar fosil secara luas dapat melepaskan banyak belerang ke udara. Sumber lain SO2 termasuk gunung berapi, rawa, dan laut. Senyawa-senyawa ini dapat menghasilkan asam sulfur dan sulfat yang berkontribusi pada hujan asam. Asam tersebut akan jatuh ke bumi saat hujan, mengubah sifat air hujan menjadi asam.

Isu hujan asam mulai menjadi perhatian publik pada tahun 1960 ketika para nelayan melaporkan penurunan jumlah dan jenis ikan di beberapa danau karena air danau menjadi asam akibat hujan asam. Hujan asam juga telah terjadi di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta dan Bogor.

Pohon-pohon dapat menyerap karbon dioksida (CO2) melalui fotosintesis, menghasilkan oksigen (O2) sebagai produk sampingan. Pohon-pohon besar dapat menghasilkan oksigen perjam setelah menyerap CO2 dalam jumlah tertentu. Oleh karena itu, ruang terbuka hijau (RTH) di kota tidak hanya menyediakan area yang sejuk tetapi juga membantu mengurangi dampak perubahan iklim dengan menyerap CO2. Pemerintah Indonesia telah mengatur bahwa 30% dari total luas kota harus dialokasikan sebagai RTH sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Oksigen yang dihasilkan oleh pohon-pohon juga sangat penting bagi makhluk hidup.

Tanaman memiliki kemampuan untuk merespons berbagai polutan dalam lingkungan mereka. Polutan-polutan yang menjadi perhatian utama termasuk sulfur dioksida, logam-logam berat seperti timbal (lead), tembaga (copper), dan seng (zinc), serta komponen yang mengandung gas fluor. Selain itu, gas-gas organik seperti amonia, hidrogen sulfida, hidrogen klorida, dan klorida juga menjadi perhatian. Sumber-sumber polutan ini berasal dari berbagai kegiatan seperti produksi energi dari bahan bakar fosil, industri elektrik, industri logam (tembaga, nikel, timbal, seng), produksi baja dan aluminium, serta berbagai industri lainnya seperti pabrik semen, pabrik kimia, dan pabrik pupuk.

Tanaman memiliki peran penting dalam menyerap polutan langsung, terutama dalam radius beberapa kilometer hingga sejauh 10 km di bawah arah angin dari sumber polutan, seperti pabrik-pabrik. Jarak ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk jenis polutan, kondisi cuaca, topografi, dan jenis vegetasi. Dalam beberapa kasus, pohon-pohon memiliki dampak positif yang signifikan karena mampu menangkap partikel-partikel polutan yang bisa dibawa oleh udara hingga jarak jauh, bahkan hingga ratusan kilometer dari sumbernya. Hutan-hutan dan vegetasi hijau secara fisik mampu menghentikan pergerakan polutan ini dan menyerapnya.

Namun, interaksi antara hutan dan polutan udara masih merupakan area penelitian yang kompleks, dan untuk memahaminya, diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang hubungan antara dosis dan respons (dose-response relationship), terutama dalam mengukur kemampuan tanaman dalam menginteraksi dengan polutan-polutan tersebut. Misalnya, dalam ekosistem hutan, tanaman memiliki peran penting dalam siklus elemen global seperti karbon, sulfur, dan nitrogen. Dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), hutan tropis, termasuk hutan gambut, memiliki peran krusial, sehingga penting untuk melestarikan hutan-hutan alam yang masih ada dengan proporsional.

Daftar Pustaka:
Bell, J. (1993). Ecologically Integrated Land Use Planning: A Strategy for Sustainable Development. Dalam Sustainable Cities, disunting oleh B. Walter dan L. Arkin (hlm. 77-80). EHM, Los Angeles.
Diamond, J. R. Crenshaw (2005). Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive. Penguin Books Ltd., Toronto.
Dominski, T. (1993). The Three Stage Evolution Recycle. Dalam Sustainable Cities, disunting oleh B. Walter, L. Arkin, dan R. Crenshaw (hlm. 16-17). EHM, Los Angeles.
Drengson, A. R. dan D. M. Taylor (1997). Ecoforestry: The Art and Science of Sustainable Forest Use. New Society Publishers, Stony Creek.
Firor, A.G. (1993). Teori Perencanaan. Dalam Perencanaan Kota, disunting oleh A.J. Catanese, dan J.C. Feldt Snyder (hlm. 49-62). Penerbit Erlangga, Jakarta.
Godish, T. (1997). Air Quality. Lewis Publishers, New York.
Grey, G.W. dan F. J. Deneke (1978). Urban Forestry. John Wiley & Sons Inc., New York.
Greenaway, T. (1997). Pohon. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Inoguchi, T., E. Newman, G. Paoletto (1999). Introduction: Cities and the Environment-Towards Eco-Partnerships. Dalam Cities and the Environment, disunting oleh T. Inoguchi (hlm. 1-16). United Nations University Press, Tokyo.
Ismaun, I. (2008). Ruang Terbuka Hijau Kawasan Reklamasi Jakarta International Resort. Jurnal Arsitektur Lansekap, Vol. 2, No. 1, 1-10.
Krebs, C.J. (1972). Ecology. Harper & Row Publishers, New York.
Lee, R. (1980). Forest Hydrology. Columbia University Press, New York.
Mazda, Y., E. Wolanski, P.V. Ridd (2007). The Role of Physical Processes in Mangrove Environments: Manual for the Preservation and Utilization of Mangrove Ecosystem. Terrapub, Tokyo.
Mega, V. (1999). The Concept and Civilization of an Eco-society: Dilemmas, Innovation, and Urban Drama. Dalam Cities and the Environment, disunting oleh T. Inoguchi (hlm. 47-70). United Nations University Press, Tokyo.
Noor, Y.R., M. Khazali, dan L.N.N. Suryadiputra (1999). Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor.
Odum, E.P. (1971). Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders Co., London.
Purwadi (2008). History of Java: Melacak Asal Usul Tanah Jawa. Mitra Abadi, Yogyakarta.
Register, R. (1993). Ecological Community Design. Dalam Sustainable Cities, disunting oleh B. Walter, L. Arkin, dan R. Crenshaw (hlm. 39-45). EHM, Los Angeles.
Rustam, H. (2000). Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta. Tesis Program SI, ITB, Bandung. Tidak Diterbitkan.
Schneider, S.H. (1989). Global Warming: Are We Entering the Greenhouse Century. Sierra Club Books, San Francisco.
Smith, H.S. (1990). Air Pollution and Forests. Springer-Verlag New York Inc., New York.
Soemarwoto, O. (1995). Kata Pengantar. Dalam Perubahan Iklim, disunting oleh J. Firor (hlm. vii-xiv). Penerbit PT Rosda Jayaputra, Jakarta.

0 Response to "Mengenal Pencemaran Udara Sebagai Penyebab Hujan Asam"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed