Memimpin Angkatan Bersenjata sebagai Usaha Menuju Kekuasaan Soeharto (1965-1968)
"Kekuasaan tumbuh dari laras senjata." – Mao Zedong
Setelah peristiwa G30S 1965, penguasaan angkatan bersenjata menjadi langkah krusial bagi Soeharto untuk memperluas pengaruhnya dan merebut kekuasaan dari Sukarno. Dengan memanfaatkan krisis politik dan ketidakstabilan nasional, Soeharto secara sistematis memperkuat cengkeramannya atas militer sebagai fondasi kekuasaan politiknya.
Ini bukan hanya soal kontrol langsung atas unit-unit militer, tetapi juga tentang membangun jaringan loyalis yang tersebar di berbagai komando teritorial. Salah satu strategi pentingnya adalah melatih perwira-perwira muda yang setia melalui program pelatihan militer yang ketat dan menempatkan mereka di posisi-posisi kunci.
Dominasi Militer sebagai Basis Kekuasaan
Pada 1 Oktober 1965, hanya beberapa jam setelah insiden G30S, Soeharto bergerak cepat dengan mengendalikan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), salah satu unit militer paling berpengaruh di Indonesia. Dengan dukungan ini, Soeharto berhasil menekan kekuatan militer lain yang masih setia kepada Sukarno, termasuk Angkatan Udara yang diduga memiliki hubungan dekat dengan PKI. Ini bukan sekadar upaya militer, tetapi juga operasi psikologis untuk menunjukkan bahwa Soeharto memiliki kendali penuh atas situasi.
Ia bahkan melibatkan jaringan intelijen, seperti Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dipimpin oleh Soebandrio, untuk memutus rantai komunikasi antara Sukarno dan pendukungnya. Langkah ini memastikan bahwa kontrol atas angkatan bersenjata tetap berada di tangannya, memberikan keunggulan strategis dalam perebutan kekuasaan. Perlu dicatat bahwa pada periode ini, Soeharto juga mendapat dukungan dari sejumlah perwira senior yang sebelumnya merasa diabaikan dalam struktur kekuasaan Sukarno, seperti Jenderal Ahmad Yani yang terbunuh dalam insiden G30S.
Pembentukan Dualisme Kepemimpinan
Meskipun Sukarno masih secara resmi menjabat sebagai presiden, pengaruhnya mulai memudar secara perlahan. Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, menciptakan situasi di mana kepemimpinan militer berada di bawah kendalinya secara de facto. Dengan strategi ini, Soeharto berhasil membangun dualisme kekuasaan yang secara perlahan menggeser Sukarno dari pusat kekuasaan.
Salah satu langkah kunci Soeharto adalah memanfaatkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966) sebagai dasar hukum untuk mengambil alih kendali penuh atas pemerintahan. Meskipun ada perdebatan mengenai keaslian dan konteks pembuatan surat ini, kenyataannya Supersemar menjadi titik balik yang secara efektif melucuti Sukarno dari otoritas politiknya. Bahkan, setelah menerima Supersemar, Soeharto bergerak cepat untuk membubarkan PKI pada 12 Maret 1966, yang secara simbolis menandai akhir dari pengaruh Sukarno.
Militer Sebagai Alat Politik
Dengan semakin kuatnya pengaruh militer, Soeharto mampu memanfaatkan angkatan bersenjata untuk menekan lawan politiknya. Operasi militer yang dilakukan di berbagai wilayah, termasuk Jawa dan Sumatera, menunjukkan bahwa militer bukan hanya alat pertahanan, tetapi juga instrumen politik yang efektif untuk membungkam oposisi. Langkah ini diperkuat dengan pembubaran PKI dan penangkapan ribuan simpatisan kiri, yang secara sistematis melemahkan basis politik Sukarno.
Selain itu, Soeharto memanfaatkan jaringan intelijen dan operasi militer untuk memperkuat kontrolnya, termasuk operasi kontra-insurjensi di daerah yang dianggap memiliki simpatisan komunis. Tak hanya itu, peran militer dalam politik semakin dilembagakan melalui pembentukan Golongan Karya (Golkar) pada 1964, yang kemudian menjadi alat politik utama dalam mengkonsolidasikan kekuasaannya. Melalui Golkar, Soeharto memastikan bahwa suara militer selalu terwakili dalam proses politik, sekaligus menekan partai-partai lain yang dianggap berpotensi menantang kekuasaannya.
Pengaruh Supersemar dalam Militerisasi Kekuasaan
Surat Perintah 11 Maret 1966, yang lebih dikenal dengan sebutan Supersemar, merupakan salah satu dokumen politik yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia, dan hingga saat ini, keberadaannya masih menjadi bahan perdebatan. Supersemar memberikan Soeharto legitimasi untuk mengambil tindakan militer demi pemulihan keamanan dan ketertiban, tanpa perlu berkonsultasi lebih lanjut dengan Presiden Sukarno.
Langkah ini sangat krusial dalam memperluas peran militer dalam politik Indonesia. Dengan Supersemar, Soeharto segera memanfaatkan momentum untuk menghilangkan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dianggap sebagai ancaman terbesar bagi stabilitas negara. Dalam proses ini, militer berhasil mendapatkan posisi dominan dalam politik, sebuah pergeseran yang nantinya akan menjadi fondasi utama Orde Baru. Yang mungkin tidak banyak diketahui, beberapa perwira militer seperti Jenderal TNI A.H. Nasution awalnya menentang keterlibatan militer dalam politik praktis, tetapi tekanan situasi membuat mereka akhirnya mendukung langkah Soeharto demi "penyelamatan negara" (Roosa, 2006).
Ketika Soeharto resmi dilantik sebagai Presiden pada Maret 1968, era Demokrasi Terpimpin pun berakhir dan digantikan oleh Orde Baru, yang sangat bergantung pada kontrol militer sebagai fondasi kekuasaannya. Ini bukan sekadar soal kekuatan senjata, tetapi juga melibatkan pengaruh politik yang luas melalui struktur komando teritorial yang menjangkau hingga tingkat desa, seperti pembentukan Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil.
Strategi ini memungkinkan militer tidak hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan, tetapi juga sebagai pengawas politik dan sosial, memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bahkan dalam bidang ekonomi, militer memiliki peran penting dengan menguasai perusahaan-perusahaan negara dan berbagai proyek strategis. Jarang diketahui bahwa beberapa tokoh militer, seperti Jenderal Sumitro, terlibat langsung dalam pengelolaan ekonomi negara, termasuk proyek pembangunan infrastruktur yang didanai oleh bantuan internasional seperti IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) (Crouch, 1978).
Menguasai angkatan bersenjata sepenuhnya adalah langkah penting dalam perjalanan Soeharto untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dengan memanfaatkan jaringan loyalis di kalangan perwira militer, Soeharto berhasil mengonsolidasikan dukungan politik sambil secara sistematis menyingkirkan lawan-lawannya. Salah satu strategi kuncinya adalah menempatkan perwira militer di posisi-posisi penting dalam pemerintahan, mulai dari gubernur, bupati, hingga menteri.
Selain itu, Soeharto juga menerapkan strategi "dwifungsi" militer, yang secara resmi diakui pada tahun 1969, memungkinkan TNI untuk berperan ganda sebagai kekuatan pertahanan dan pengelola sosial-politik. Yang mungkin tidak banyak diketahui adalah bahwa perwira militer juga terlibat dalam operasi-operasi rahasia untuk menekan gerakan oposisi di luar negeri, termasuk operasi intelijen untuk mengawasi diaspora Indonesia yang kritis terhadap rezim (Cribb, 2002). Dengan pendekatan ini, Soeharto berhasil menciptakan struktur kekuasaan yang sangat stabil, yang bertahan hingga reformasi 1998 yang akhirnya memaksanya untuk mundur.
Referensi
Roosa, J. (2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia. University of Wisconsin Press.
Crouch, H. (1988). The Army and Politics in Indonesia. Cornell University Press.
McGregor, K. (2007). History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past. NUS Press
0 Response to "Memimpin Angkatan Bersenjata sebagai Usaha Menuju Kekuasaan Soeharto (1965-1968)"
Posting Komentar