Mengukuhkan Kekuasaan: Peran Suharto dalam Eksekutif
“Kekuasaan bukan hanya tentang menguasai, tetapi juga tentang menjaga, mengelola, dan memperluas pengaruh.”
Setelah peristiwa G30S pada 30 September 1965, Indonesia memasuki masa yang sangat penuh gejolak. Presiden Soekarno, yang sebelumnya dianggap tak tergantikan, mulai kehilangan legitimasi politiknya. Sementara itu, Mayor Jenderal Soeharto perlahan tapi pasti mengukuhkan dirinya sebagai sosok yang kuat dalam militer dan politik. Proses ini bukan hanya soal keberuntungan atau situasi darurat, tetapi juga hasil dari serangkaian langkah strategis untuk memperkuat kekuasaan eksekutifnya. Berikut adalah beberapa langkah penting yang diambil Soeharto selama periode kritis antara 1965 hingga 1968.
Memanfaatkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar)
Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang lebih dikenal dengan Supersemar, merupakan langkah krusial yang membantu Soeharto mengamankan kendali militer dan politik dari Soekarno. Dikeluarkan pada 11 Maret 1966, Supersemar dianggap sebagai momen penting dalam sejarah politik Indonesia. Dokumen ini memberikan Soeharto kekuasaan penuh untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu demi menjaga stabilitas negara.
Meskipun keaslian dan proses penerbitannya masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini, dampaknya jelas terasa. Dengan Supersemar, Soeharto tidak hanya mendapatkan dukungan militer, tetapi juga memperoleh justifikasi politik untuk melakukan tindakan drastis, termasuk pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 12 Maret 1966. Pembubaran ini secara efektif menghilangkan ancaman politik utama terhadapnya, mengingat PKI adalah salah satu pendukung terkuat Soekarno dan memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat serta angkatan bersenjata.
Menurut Ricklefs (2008), langkah ini bukan sekadar tindakan pengamanan, melainkan juga strategi politik yang cerdas untuk melemahkan kekuatan Soekarno. Dengan menyingkirkan PKI, Soeharto berhasil mengisolasi Soekarno secara politik, mempersempit ruang geraknya, dan sekaligus mengurangi pengaruh ideologi kiri dalam pemerintahan. Ini juga memperkuat citra Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari ancaman komunisme, yang pada gilirannya memperkuat posisinya di mata militer dan masyarakat yang saat itu khawatir akan ketidakstabilan politik.
Lebih dari itu, Supersemar membuka jalan bagi Soeharto untuk mengontrol berbagai institusi penting negara. Dia mulai mengganti posisi-posisi strategis di pemerintahan dan militer dengan orang-orang yang setia kepadanya, sehingga memperkuat cengkeramannya atas struktur kekuasaan. Langkah ini secara bertahap mengurangi pengaruh Soekarno dan memperkuat fondasi kekuasaan Orde Baru yang akan ia bangun.
Mengendalikan Militer dan Aparat Keamanan
Sebagai seorang pemimpin militer, Soeharto memiliki kontrol penuh atas angkatan bersenjata, yang pada saat itu merupakan institusi paling berpengaruh dalam struktur kekuasaan Indonesia. Dengan memanfaatkan posisinya sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) selama peristiwa G30S, Soeharto berhasil memperluas pengaruhnya di kalangan militer. Ia tidak hanya berfokus pada menjaga stabilitas keamanan, tetapi juga memastikan bahwa aparat tetap loyal kepadanya melalui berbagai strategi politik dan militer.
Menurut McGregor (2007), Soeharto mengonsolidasikan kekuasaannya dengan mengganti beberapa perwira tinggi yang dianggap setia kepada Soekarno dan menggantinya dengan mereka yang lebih loyal terhadap kepemimpinannya. Tindakan ini semakin memperkuat posisinya sebagai pemimpin de facto, sekaligus menekan potensi perlawanan dari dalam. Dengan mengendalikan militer, Soeharto tidak hanya menstabilkan keamanan nasional, tetapi juga menciptakan struktur kekuasaan yang sulit ditandingi, mengukuhkan posisinya sebagai penguasa yang tak tergoyahkan selama tiga dekade.
Manipulasi Opini Publik dan Propaganda
Selain kekuatan militer, Soeharto juga sangat menyadari betapa pentingnya untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat demi memperkuat legitimasi pemerintahannya. Ia dengan cerdik memanfaatkan media massa untuk menyebarkan narasi tentang 'Orde Baru' sebagai penyelamat bangsa dari ancaman komunisme dan ketidakstabilan politik. Media dikendalikan dengan ketat untuk membentuk persepsi publik yang sejalan dengan agenda politiknya.
Menurut Cribb dan Brown (1995), kontrol terhadap narasi sejarah ini sangat berperan dalam menciptakan citra Soeharto sebagai pemimpin yang kuat dan diperlukan untuk memulihkan stabilitas nasional. Dengan membingkai dirinya sebagai sosok penyelamat bangsa, Soeharto berhasil meredam kritik dan memperkuat dukungan publik, menciptakan suasana politik yang menguntungkan bagi kelangsungan kekuasaannya. Strategi ini tidak hanya memperkuat posisinya di dunia politik, tetapi juga membangun fondasi bagi Orde Baru yang bertahan selama beberapa dekade.
Langkah-langkah Hukum untuk Legitimasi
Untuk memperkuat posisinya secara hukum, Soeharto memanfaatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai alat utama untuk meresmikan transisinya ke kursi kekuasaan. Salah satu langkah penting terjadi pada Sidang Umum MPRS di bulan Maret 1967, ketika MPRS mengesahkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 yang secara resmi mencabut mandat Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Ketetapan ini memberikan dasar hukum untuk mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden, meskipun banyak yang melihat proses ini sebagai kudeta terselubung dalam konteks politik saat itu.
Meskipun di atas kertas proses ini dianggap 'konstitusional', banyak sejarawan berpendapat bahwa tekanan politik, situasi militer, dan propaganda memiliki peran besar dalam mendorong pengesahan keputusan ini. Menariknya, meskipun MPRS memiliki kekuasaan untuk mengesahkan keputusan semacam ini, banyak anggotanya berasal dari golongan yang pro-militer atau setidaknya berada di bawah tekanan untuk mendukung kebijakan Soeharto. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh militer dalam politik Indonesia pada masa itu.
Pengendalian Ekonomi dan Dukungan Internasional
Soeharto tidak hanya berkonsentrasi pada penguatan kekuasaan politiknya, tetapi juga bertindak cepat untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia yang hampir runtuh. Dengan inflasi yang melambung lebih dari 600% pada tahun 1966, menjaga stabilitas ekonomi menjadi hal yang paling penting. Soeharto membentuk tim ekonom yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley," sekelompok ekonom terdidik dari Universitas Indonesia yang menempuh pendidikan di Universitas California, Berkeley. Beberapa tokoh kunci dalam kelompok ini adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Mohammad Sadli, dan Ali Wardhana. Mereka memperkenalkan serangkaian reformasi ekonomi yang mencakup deregulasi perdagangan, penghapusan subsidi yang tidak produktif, dan penekanan pada investasi asing. Salah satu langkah penting yang diambil adalah menegosiasikan kembali utang luar negeri Indonesia melalui kelompok negara-negara kreditur yang kemudian dikenal sebagai Paris Club.
Langkah ini membuka pintu bagi bantuan ekonomi dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Jepang, yang melihat Indonesia sebagai sekutu strategis dalam Perang Dingin melawan komunisme. Dukungan ini tidak hanya memperkuat posisi Soeharto di dalam negeri, tetapi juga memberinya legitimasi di kancah internasional, meskipun sering kali harus mengorbankan kedaulatan ekonomi dan membuat Indonesia sangat bergantung pada investasi asing.
Menariknya, salah satu syarat untuk mendapatkan dukungan ekonomi internasional ini adalah penghapusan kebijakan ekonomi sosialis yang diperkenalkan pada era Soekarno, yang secara tidak langsung melemahkan posisi politik kelompok kiri di Indonesia.
Daftar Pustaka:
Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press.
McGregor, K. (2007). History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past. NUS Press.
Cribb, R., & Brown, C. (1995). Modern Indonesia: A History Since 1945. Longman.
0 Response to "Mengukuhkan Kekuasaan: Peran Suharto dalam Eksekutif"
Posting Komentar