Jejak Pemusnahan Serikat Buruh di Sumatra: Jalan Sunyi Menuju Kapitalisme Orba
Halo teman-teman sejarah! Kali ini kita akan membahas sebuah peristiwa yang mungkin jarang terdengar, tapi sangat penting untuk dipahami: pemusnahan serikat buruh, terutama para buruh minyak di Sumatra Selatan setelah tahun 1965. Ini bukan hanya soal politik atau militer, tetapi juga tentang pertarungan antara kekuatan modal dan perjuangan kelas. Serius, kan? Tenang saja, kita akan bahas ini dengan santai.
Apa yang Terjadi dengan Serikat Buruh Minyak?
Setelah peristiwa 30 September 1965, banyak serikat buruh yang dituduh terhubung dengan PKI diburu dan dihancurkan. Di Sumatra Selatan, para buruh minyak, termasuk yang bekerja di kilang minyak Plaju dan Sungai Gerong, menjadi sasaran. Mereka ditangkap oleh TNI dan dalam banyak kasus, dieksekusi secara diam-diam.
Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, salah satu alasan utama di balik tindakan brutal ini adalah kondisi militer yang kelelahan, kekurangan logistik, dan menghadapi overkapasitas tahanan. Brigadir Jenderal Makmun Murod, Panglima Kodam Sriwijaya saat itu, disebut-sebut sebagai sosok yang memberikan perintah eksekusi untuk “mengurangi beban”. Menyeramkan, ya?
Antara Ideologi dan Uang: Kapitalisme Menang?
Tapi tunggu dulu, cerita ini tidak hanya tentang konflik politik. Menurut Hilmar Farid, seorang sejarawan progresif, tragedi ini sebenarnya adalah bagian dari konflik besar antara perjuangan kelas (buruh) dan kapitalisme global. Setelah serikat buruh dihancurkan, pintu terbuka lebar bagi modal asing untuk masuk. Perusahaan-perusahaan minyak besar dan negara-negara Barat kembali menanamkan investasinya tanpa ada perlawanan berarti dari kelas pekerja.
Bahkan, kilang minyak yang dulunya dikelola bersama buruh, kemudian sepenuhnya diambil alih oleh negara melalui Pertamina. Sayangnya, alih-alih berpihak pada rakyat, kekuasaan minyak justru dikuasai oleh elite tertentu. Salah satu tokoh penting yang muncul dari situ adalah Ibnu Sutowo—orang dekat Soeharto yang menjadi simbol dari “masa keemasan” sekaligus korupnya industri perminyakan Indonesia.
Lenyapnya Buruh, Lenyap Pula Kontrol Rakyat
Teman-teman, hilangnya serikat buruh bukan hanya soal hilangnya suara pekerja, tapi juga berarti hilangnya kontrol rakyat atas sumber daya alam kita. Ingat, minyak adalah salah satu kekayaan nasional yang seharusnya dikelola demi kesejahteraan bersama. Namun, tanpa adanya organisasi buruh yang kuat, yang terjadi justru penguasaan oleh segelintir elite dan kapitalis.
Ini menjadi pengingat penting bahwa demokrasi ekonomi tidak bisa berdiri sendiri tanpa kekuatan rakyat, termasuk serikat buruh. Kita juga harus jujur mengakui bahwa sejarah pemusnahan buruh ini tidak hanya meninggalkan luka kemanusiaan, tetapi juga menciptakan sistem ekonomi yang timpang hingga saat ini.
Peristiwa pemusnahan serikat buruh, terutama para buruh minyak di Sumatra Selatan, adalah tragedi yang seharusnya tidak kita lupakan. Ini bukan sekadar bagian dari sejarah kelam Indonesia, tetapi juga pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan politik dan ekonomi bisa bersatu untuk menghilangkan suara rakyat.
Referensi:
Farid, Hilmar. (2005). Indonesia 1965: Dari Madiun ke Lubang Buaya. Jakarta: INSISTPress.
Wardaya, Baskara T. (2013). Menemani Sukarno: Pergulatan Rakyat Menegakkan Keadilan. Yogyakarta: Galang Press.
McGregor, Katharine. (2007). History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past. Singapore: NUS Press.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
0 Response to "Jejak Pemusnahan Serikat Buruh di Sumatra: Jalan Sunyi Menuju Kapitalisme Orba"
Posting Komentar