-->

"Supersemar" Mandat yang Mengubah Sejarah: Usaha Menuju Kekuasaan 1965-1968

Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang lebih dikenal dengan sebutan SuperSemar, adalah salah satu dokumen paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia. Dokumen ini bukan hanya sekadar simbol peralihan kekuasaan dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto antara tahun 1965 dan 1968, tetapi juga merupakan langkah strategis yang sarat dengan intrik dan tekanan politik.


 "Sejarah tidak pernah hitam-putih, ia penuh dengan abu-abu."

Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang lebih dikenal dengan sebutan SuperSemar, adalah salah satu dokumen paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia. Dokumen ini bukan hanya sekadar simbol peralihan kekuasaan dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto antara tahun 1965 dan 1968, tetapi juga merupakan langkah strategis yang sarat dengan intrik dan tekanan politik. 

Meskipun narasi resmi menggambarkan Supersemar sebagai upaya untuk "memulihkan keamanan dan ketertiban" setelah tragedi G30S/PKI, banyak pihak berpendapat bahwa konteks sebenarnya jauh lebih rumit, melibatkan tekanan militer, kepentingan geopolitik internasional, dan intrik politik domestik yang sangat intens. 

Bahkan, beberapa sejarawan seperti Robert Cribb dan Benedict Anderson berpendapat bahwa Supersemar mungkin bukan sekadar mandat, melainkan hasil dari negosiasi yang penuh tekanan, atau bahkan ancaman, terhadap Sukarno dalam situasi yang sangat genting.

Bagaimana Latar Belakang dan Isi Naskah SuperSemar?

Latar belakang keluarnya Supersemar tidak bisa dipisahkan dari situasi politik yang kacau pada pertengahan 1960-an. Setelah tragedi G30S/PKI pada 30 September 1965, militer, terutama Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, bergerak cepat untuk menumpas pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, di balik gerakan ini terdapat tekanan yang jauh lebih luas dari sekadar respons terhadap kekacauan dalam negeri. 

Menurut dokumen CIA yang baru-baru ini dideklasifikasi, Amerika Serikat dan sekutunya sangat khawatir akan pengaruh komunisme di Asia Tenggara, terutama setelah jatuhnya Vietnam Utara ke tangan komunis pada tahun 1954 dan meningkatnya pengaruh Mao Zedong di Tiongkok. Dalam konteks ini, Supersemar dipandang sebagai kesempatan untuk menyingkirkan Sukarno, seorang pemimpin yang dianggap terlalu dekat dengan blok komunis.

Saat yang bersamaan, hubungan Sukarno dengan militer mulai mengalami ketegangan. Sukarno, yang secara resmi masih memegang kendali penuh sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, berusaha untuk menyeimbangkan kekuatan militer, partai politik, dan kelompok sipil. Namun, semakin besarnya pengaruh PKI dalam kabinetnya membuat para jenderal merasa khawatir. 

Sejarawan Harold Crouch (Crouch, 1978) mencatat bahwa pertemuan antara Sukarno dan para jenderal pada 11 Maret 1966 bukan sekadar permintaan "mandat" seperti yang sering diceritakan dalam narasi resmi, melainkan sebuah momen penting di mana Sukarno ditekan untuk memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada militer. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa tiga jenderal – Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Machmud – yang datang ke Istana Bogor pada hari itu mungkin membawa pesan tersirat bahwa Sukarno tidak punya pilihan lain selain menandatangani Supersemar.

Isi dan makna dari Supersemar sendiri tetap menjadi teka-teki. Naskah asli surat ini tidak pernah dipublikasikan secara resmi, dan beberapa versi yang beredar memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Dalam salah satu versi, Supersemar disebut sebagai instrumen yang memberikan wewenang penuh kepada Soeharto untuk "mengambil segala tindakan yang diperlukan" demi memulihkan keamanan nasional, termasuk pembubaran PKI. Namun, kritikus seperti Anderson berpendapat bahwa Supersemar bukan sekadar perintah militer, melainkan sebuah dokumen yang menandai awal dari kudeta de facto terhadap Sukarno. 

Dalam konteks ini, Supersemar bukan hanya sekadar surat, tetapi juga simbol dari perubahan besar dalam arah politik Indonesia – dari demokrasi terpimpin yang berfokus pada populisme dan anti-imperialisme, menuju Orde Baru yang lebih berorientasi pada militer dan kapitalisme.

Selain itu, ada juga perdebatan tentang bagaimana Supersemar dimanfaatkan untuk memperkuat legitimasi politik Soeharto. Dengan Supersemar di tangannya, Soeharto tidak hanya mendapatkan dasar hukum untuk menjaga stabilitas negara, tetapi juga untuk secara perlahan menggeser Sukarno dari panggung politik. 

Beberapa bulan setelah menerima mandat ini, Soeharto membentuk kabinet yang lebih militeristik, membubarkan PKI, dan memperluas pengaruhnya di berbagai sektor pemerintahan. Langkah ini kemudian diperkuat dengan Sidang MPRS pada tahun 1967 yang secara resmi mengangkatnya sebagai Pejabat Presiden.

Kontroversi dan Misteri Naskah SuperSemar

Hingga saat ini, keberadaan naskah asli Supersemar masih menjadi misteri besar dalam sejarah Indonesia. Meskipun sering dianggap sebagai dokumen yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah negara setelah peristiwa G30S, naskah aslinya tak pernah muncul secara resmi. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri bahkan pernah menyebut Supersemar sebagai "dokumen yang hilang," dan hingga kini, keberadaannya tetap menjadi teka-teki. 

Sejumlah sejarawan dan mantan pejabat tinggi militer berpendapat bahwa naskah asli ini mungkin sengaja disembunyikan atau bahkan dihancurkan untuk menutupi peran sebenarnya dari berbagai pihak dalam peralihan kekuasaan tersebut. Richard Tanter (Tanter, 1991) mencatat bahwa hilangnya dokumen ini membuka jalan bagi berbagai teori konspirasi, termasuk dugaan bahwa Supersemar mungkin bukan semata-mata keputusan Sukarno, melainkan hasil dari tekanan atau bahkan ancaman militer. 

Ada juga spekulasi bahwa beberapa versi Supersemar yang beredar memiliki perbedaan isi yang cukup mencolok, termasuk versi yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada militer dibandingkan yang mungkin diinginkan oleh Sukarno sendiri. Menariknya, menurut beberapa sumber, Sukarno dilaporkan pernah mengatakan bahwa Supersemar adalah "surat perintah dengan belati di punggung," sebuah ungkapan yang menggambarkan tekanan luar biasa yang ia rasakan pada saat itu.

Supersemar bukan hanya menandai berakhirnya era Sukarno, tetapi juga membuka jalan bagi Soeharto untuk membangun Orde Baru, sebuah rezim otoriter yang bertahan lebih dari tiga dekade. Dengan memanfaatkan Supersemar sebagai pijakan, Soeharto membubarkan PKI pada Maret 1966, mengkonsolidasikan kekuasaannya, dan secara efektif menyingkirkan Sukarno dari panggung politik nasional. Namun, transisi ini tidaklah mulus. Menurut John Roosa (Roosa, 2006), Supersemar merupakan salah satu langkah paling krusial dalam militerisasi politik Indonesia, di mana militer secara permanen memasuki struktur politik negara. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa beberapa perwira militer pada waktu itu sebenarnya memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depan politik Indonesia. 

Jenderal Ahmad Yani, misalnya, sebelum kematiannya dalam peristiwa G30S, dikenal sebagai salah satu tokoh yang menentang dominasi militer dalam politik. Selain itu, ada laporan yang jarang dibahas mengenai perlawanan dari kalangan sipil dan mahasiswa yang melihat Supersemar sebagai awal dari kemunduran demokrasi dan kebebasan berpendapat. 

Di balik kemegahan upacara pengambilan sumpah, terdapat juga kisah-kisah tentang aktivis yang dipenjara, intelektual yang dibungkam, dan ribuan orang yang dieksekusi tanpa pengadilan dalam pembersihan massal pasca 1965. Semua ini menunjukkan bahwa dampak Supersemar jauh melampaui sekadar pengalihan kekuasaan; ia juga menandai lahirnya kontrol negara yang ketat dan pembungkaman oposisi politik selama puluhan tahun.

Naskah Supersemar kini menjadi simbol perubahan yang sangat penting dalam sejarah politik Indonesia, tetapi juga mencerminkan manipulasi kekuasaan yang rumit. Meskipun sering dianggap sebagai langkah untuk memulihkan stabilitas, banyak bukti yang menunjukkan bahwa mandat ini sebenarnya adalah bagian dari strategi militer untuk mengonsolidasikan kekuasaan, bukan sekadar untuk mengembalikan ketertiban. 

Tanpa kejelasan mengenai dokumen aslinya, Supersemar akan terus menjadi misteri yang memicu perdebatan sejarah, menginspirasi banyak generasi sejarawan untuk terus menggali kebenaran di balik peristiwa yang mengubah arah sejarah Indonesia ini.


Referensi:

Cribb, R. (2001). 'The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali'. Monash University.

Anderson, B. (1972). 'Java in a Time of Revolution'. Cornell University Press.

Crouch, H. (1978). 'The Army and Politics in Indonesia'. Cornell University Press.

Tanter, R. (1991). 'Intelligence Agencies and Third World Militarization'. Cornell University Press.

Roosa, J. (2006). 'Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup D'État in Indonesia'. University of Wisconsin Press.

0 Response to ""Supersemar" Mandat yang Mengubah Sejarah: Usaha Menuju Kekuasaan 1965-1968"

Posting Komentar

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed