-->

Sejarah Pura Uluwatu: Perjalanan Danghyang Nirarta

Pura Uluwatu menjadi objek wisata religius di Bali dan menjadi tempat berlangsungnya upacara Piodalan serta tari kecak. Sejarah Pura Uluwatu. menceritakan tentang Perjalanan Danghyang Nirarta
Pertunjukan Tari Kecak di Pura Uluwatu


Pura Uluwatu memiliki daya tarik yang luar biasa bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Pengunjung Pura Uluwatu tidak hanya dapat melihat dan mengamati pura dengan arsitekturnya yang megah, tetapi juga menikmati tarian Kecak yang ditampilkan setiap malam. 

Tari Kecak dipertunjukkan agar wisatawan domestik dan mancanegara mengetahui tentang sponsor. Pendanaan ini akan digunakan Bendesa Adat untuk mengelola sarana dan prasarana di lingkungan pura. Pengunjung akan menikmati pertunjukan tari Ramayana (tari Kecak). Selain Wisata Pura Uluwatu, destinasi lain yang sering di kunjungi wisatawan untuk menyaksikan tari kecak adalah di D'Tukad River Club.

Tarian ini menceritakan tentang Ramayana dan Dewi Sita. Pengunjung dapat menikmati tarian ini dengan membeli tiket di pintu depan. Pura Uluwatu merupakan tempat wisata terkenal dunia, meskipun sudah menjadi tempat yang sangat populer di kalangan wisatawan, bukan berarti masyarakat melupakan beberapa hal yang harus dilakukan pengunjung (wisatawan) saat tiba di pura. 

Pengunjung sebaiknya menggunakan kain (kamben) dan selendang agar ketika memasuki kawasan pura pengunjung dapat memahami nilai-nilai kerukunan dan sakral. Peraturan mengenai etika pengunjung Pura Uluwatu harus mengikuti aturan yang berlaku saat ini yang ditetapkan oleh Bendesa Adat.

Perjalanan Danghyang Nirarta Mencapai Moksha di Pura Uluwatu

Sekitar tahun 1115-1130 M di Kediri Jawa Timur, seorang raja bernama Parabu Kamesuara memerintah. Raja ini menganut agama Wisnu yaitu Hindu. Salah satu putranya yang bernama Sri Wira Dalem Kesari, sekitar tahun 1135, dinobatkan sebagai raja di pulau Bali. Saat itu ia bermukim di Koripan Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung. 

Raja ini juga menganut agama Hindu sebagai agama yang dianut ayahnya di Kediri. Saat itu, ada seorang Purohita dan seorang sastrawan terkenal bernama Empu Kuturan di Bali. Empu Kuturan tiba di Bali sekitar tahun 1039 Masehi. 

Dia mengatur kehidupan religius di daerah ini. Pada masa itu agama Hindu di Bali terdiri dari berbagai aliran yaitu Brahma, Wisnu, Siwa dan Buddha. Konsep yang dianut oleh Empu Kuturan adalah Rwa Bhineda yang berarti memuja Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Sanghyang Luhur Akasa dan Sanghyang Ibu Pertiwi. Namun, kehidupan beragama di Bali berjalan dengan baik. Antara satu aliran dan lainnya, mereka hidup rukun, dan pulau Bali sangat damai dan tenang. 

Pada masa itu, Raja Sri Wira Dalam Kesari banyak membangun vihara dan pertapaan dimana para biksu, purohitas dan pendeta berlatih yoga, meditasi dan tapa. Selain itu, banyak pura surgawi juga dibangun untuk orang Bali untuk melakukan persembahyangan di hadapan Hyang Widhi. 

Pura Kahyangan dibangun hingga 17 pura diantaranya yaitu; 

  1. Pura Batukaru,
  2.  Keraton Bhatara Mahadewa, 
  3. Pura Kiduling Kreteg untuk Bhatara Brahma, 
  4. Pura Watumadeg untuk Bhatara Wisnu, 
  5. Pura Bayang-bayang di Istana Bhatara Iswara, 
  6. Pura Uluwatu di simpang Bhatara Mahajaya, candi yang ditingkatkan biasanya terletak di hulu desa dengan nama Bhatara Luhur Akasa Istana. 

Belakangan, di hilir desa dibangun pura Dalem yang difungsikan sebagai Wisesa Kahyangan bersama Prajapati dan para pengiringnya. Konsep bentuk dan tata letak pura pada masa itu jelas merupakan konsep Empu Kuturan yang masih dapat ditemukan di desa-desa kuno Bali hingga saat ini.

Sedangkan di daratan di Pulau Jawa banyak dibangun tempat pemujaan berupa candi yang disebut prasada. Tempat suci ini melayani para leluhur yang memiliki acintia (meninggal). Candi-candi di Jawa bentuknya hampir sama dengan candi-candi yang ada di pulau Bali. Contohnya adalah Candi Gunung Kawi, Tampaksiring dan Candi Loro Jonggrang di Jawa Tengah.

Begitu pula dengan tumpukan batu di Pura Uluwatu pada zaman dahulu yang merupakan tempat pemujaan para leluhur yang memiliki acintya cinta. Tumpukan batu yang ditumpuk itu terbungkus dalam sebuah candi yang disebut prasada yang masih ada hingga saat ini. Pemugaran yang dilakukan sekitar tahun 1980 ini dipugar sebagai candi Catur Dwara berwajah tujuh. Fungsinya sebagai stana Bhatara Puser Bumi yang berada di depan kiri Pelinggih Meru Tumpang Tinggi.

Untuk memperoleh Pura Uluwatu, Raja Sri Wira Dalem Kesari menaklukkan tanah perbukitan yang membentang sangat jauh di sekitar Uluwatu. Tanah tersebut adalah tanah "Bukti Wetbet Bali Mula" untuk memelihara pura untuk tujuan spiritual dan material. Oleh karena itu, orang yang mendapat "Pecatu" menyebut dirinya "Wong Pecatu". Berkat para pendatang yang lambat laun bermukim di kawasan tersebut, terbentuklah sebuah kampung adat bernama Kampung Adat Pecatu. 

Sekitar tahun 1460-1550 M, pada masa pemerintahan Dalem Batur Enggong yang tinggal di Keraton Gelgel Klungkung. Pulau Bali memiliki alam yang sangat subur. Karena tuntunan Dalem yang arif dan bijaksana, masyarakat hidup rukun dan damai. 

Hampir tidak pernah ada masalah atau kejadian serius di kalangan masyarakat Bali. Jadi sekitar tahun 1489 Masehi. Seorang Purohita, sastrawan dan pendeta bernama Danghyang Dwijendra datang ke pulau Bali. Danghyang Dwijendra adalah seorang pendeta Hindu yang lahir di Kediri, Jawa Timur. Danghyang Dwijendra disebut Danghyang Nirarta selama Walaka. Ia menikah dengan seorang putri di Daha, Jawa Timur. Dia juga belajar di sana dan diajari oleh ibu mertuanya. 

Danghyang Nirarta dianugerahi Bhiseka Kawikon sebagai Danghyang Dwijendra. Usai penyiksaan, Danghyang Dwijendra ditugaskan untuk melakukan Dharmaytra sebagai salah satu syarat Kawikon. Dharmayatra ini akan dipentaskan di pulau Bali dan ditambah dengan tugas yang sangat berat dari mertuanya untuk mengatur kehidupan adat dan keagamaan, khususnya di pulau Bali. Mengingat Dharmayatra bisa disiarkan ke Pulau Sasak dan Sumbawa. 

Konsep penataan sorgawi di Bali adalah konsep Tiga Purusa dan Tiga Kahyangan. Meskipun konsep pendahulunya yaitu. Rwa Bhineda. Konsep Tri Purusa atau Tri Kayangan merupakan gambaran sebenarnya dari sifat dan kekuatan Hyang Widhi yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Istana Dr. Kahyangan terpisah dari Kahyangan Desa, Puseh dan Dalem Wisesa dengan Prajapati dan rekan-rekannya. Hal ini terlihat jelas di desa “Apanasa” yang memiliki keutuhan sistem pra Majapahit ketika Empu Kuturan memerintah pulau Bali dengan sistem orde baru Danghyang Dwijendra yang mendukung sistem zaman Majapahit. 

Danghyang Dwijendra pertama kali datang ke pulau Bali untuk menginjakkan kaki di pesisir barat daya wilayah Jembrana (Jimbar + Wana) untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan Darmayatra. Di tempat itu, Danghyang Dwijendra menitipkan seorang pemetik (kadang disebut pemetik) yang batang (patinya) terbuat dari kayu gaharu

Hingga saat ini, daun pohon agar-agar digunakan sebagai aksesoris dalam sesajen Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak. Setelah mengadakan dharmayatranya ke pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah berbukitan. Oleh karena sangat gersang dan sulit mencari sumber air, maka tak cocok untuk pertanian. Setelah beberapa saat di sana, merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintya para moksha.

Di tempat lain inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan semaya (janji) dirinya untuk kembali ke asalnya. Oleh karena itu, tempat terjadinya peristiwa itu disebut “Cangeling” dan lama kelamaan menjadi Cengiling sampai sekarang. 

Oleh karena itu, Ida pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati mencari (mencari) tempat yang dianggap aman dan cocok untuk mencapai Parama Moksha. Karena dianggap tidak cocok, ia kembali pindah ke tempat lain. Sebuah pura bernama Pura Kulat kemudian dibangun di situs itu. Namanya berasal dari kata Ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum menemukan tempat yang cocok untuk parama mokhsa. Kemudian dia datang ke tempat yang penuh dengan batu. Tidak ada satu orang pun di sini. Tidak ada kicau burung juga. Dia hanya merasa kesepian. Di tempat inilah kemudian didirikan sebuah pura yang diberi nama Pagoda Batu Diyi. 

Pura ini dihadiri oleh keluarga dari Banjar Tengah, desa adat di Pecatu, serta keluarga besar dari Banjar Denpasar. Di sinilah Danghyang Dwijendra merasa tidak aman untuk parama moksha. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, menahan lapar dan dahaga, akhirnya ia sampai di daerah pegunungan yang selalu mendapat terik matahari. Untuk berlindung, ia mengambil daun kumbang dan mencari sumber air minum. 

Setelah kemana-mana tanpa menemukan sumber air minum, Danghyang Dwijendra akhirnya memasukkan tongkatnya. Kemudian keluar dari air amertha. Di tempat ini telah dibangun sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan mata air yang digunakan oleh pendirian tirta hingga sekarang. Ida Pedanda Saktu Wawu Rauh kemudian kembali ke lokasi lain, untuk mendapatkan kembali kewarasannya sebelum melakukan detik-detik terakhirnya yang glamor. 

Di tempat ini didirikan sebuah pura bernama Pura Theoding yang terletak di Banjar Kangin, sebuah desa adat Pecatu. Usai sekedar menghibur, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka ia mencari tempat untuk beristirahat. Dia sangat lelah sehingga dia tertidur. Di tempat inilah kemudian didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan. Terletak di desa adat Pecatu. Mendekati detik-detik akhir parama moksa, Danghyang Dwijendra menyucikan dirinya dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai saat ini terdapat sebuah pura bernama Pura Peleburan yang terletak di Banjar Kauh, desa adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, ia melanjutkan perjalanannya ke ujung barat daya pulau Bali. Tempat ini terdiri dari tebing berbatu. Jika dilihat di bawah permukaan laut, mereka tampak tumpang tindih, berbentuk seperti kepala terjepit di atas batu karang, antara 50 hingga 100 meter di atas permukaan laut. Makanya disebut Ulu watu. Ulu = kepala dan Watu = batu atau Sebenarnya, nisan.

Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksa, dia memanggil kapten kapal yang membawanya dari Sumbawa ke pulau Bali. Nama kaptennya adalah Ki Pacek Nambangan Perahu. Pandita meminta kapten untuk membantu membawakan baju dan tongkatnya untuk istri keempatnya di Asrama Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Itu adalah jubah sutra biru muda dan tongkat kayu. 

Artefak ini masih tersimpan dengan baik di salah satu Griya Brahmana Wangsa Desa Mas. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu meninggalkan Danghyang Dwijendra Pasraman di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera mendatangi sebuah batu beser di sisi timur tumpukan batu, yang merupakan candi peninggalan kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh berlatih yoga, seperti sebilah keris lepas, hilang tak berbekas, jatuh cinta pada acintia parama moksa.

Sekitar tahun 1672 Isaka 1549 Kerajaan Mengwiraja yang rajanya I Gusti Agung Putu mabhiseka Ida Cokorde Sakti Blambangan menikah dengan wanita bernama I Gusti Agung Ayu Panji, putri Raja Buleleng bergelar I Gusti Agung Panji Shakti. 

Dalam pernikahannya, I Gusti Agung Panji Sakti memberikan hadiah berupa “ tetatadan gumi” yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Buleleng. Penataan ini berupa bdan teritorial Jimbaran di ujung selatan Bali dan wilayah Blambangan di Jawa Timur. 

Pada masa pemerintahan Raja Mengwi Ida Cokorde Sakti Blambangan yang menguasai tanah Jimbaran hingga Ulu Watu, terlihat teja gumulung (cahaya melingkar) di sekitar Ulu Watu setiap sore selama beberapa hari. Keaslian kasus tentang keberadaan teja gumulung dibuktikan dengan mengirimkan seorang abdi dalem istana Mengwiraja. 

Ternyata cahaya yang dipancarkan setiap malam berupa tumpukan es beku di sisi barat tumpukan peninggalan mantan raja Sri Wira Dalem Kesari. Raja Mengwi, setelah pertimbangan matang, membangun sebuah candi yang disebut prasada di atas batu. Sayangnya, candi tersebut tidak bertahan lama karena hancur akibat getaran gempa. 

Tapi raja tidak putus asa. Pasca gempa, dibangunlah Palinggih Meru Tumpang Tiga dan berganti nama menjadi Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Bahkan itu tidak berlangsung lama. Palinggih ini ternyata sudah menjadi abu beberapa waktu kemudian. Karena keadaan yang berubah, masyarakat adat Pecatu membangun kembali tempat pemujaan berupa pelinggih di pura tua. Itu juga tidak berlangsung lama karena gempa. Masyarakat adat Pecatu membangun kembali wilayah Meru Tungpang Tiga. Anehnya, palinggih ini juga mengalami kebakaran. Tetapi orang-orang tidak menyerah. 

Setelah kebakaran kedua, masyarakat melanjutkan pembangunan palinggih Meru Tumpang Tiga. Palinggih stana Danghyang Dwijendra masih eksis hingga saat ini. Sedangkan pada batu tempat pembuatan Danghyang Dwijendra parama moksha, dipahatkan patung seorang pendeta yang menyerupai bentuk Danghyang Dwijendra saat masih hidup. 

Tempat ini disebut “Dalem Bejurit” (artinya pertemuan batin Danghyang Dwijendra antara menjaga hidup dan mati). Di sebelah kanan arca (melambangkan Danghyang Dwijendra) terdapat batu besar yang melambangkan labu besar (labu pahit), labu tersebut digunakan Danghyang Dwijendra sebagai "perahu" saat melintasi laut di Selat Bali, berangkat dari Blambangan, Timur Jawa kemudian mendarat di Purancak. Sedangkan di sebelah kiri arca juga terdapat batu besar sebagai simbol sampan bocor (jukung bocor). Sampan kabur karena tidak bisa menampung putra-putri Danghyang Dwijendra yang diajak ke Bali bersama.

Pada lokasi di jeroan pura terdapat : 

  • a. Palinggih Meru Tumpang Tiga, stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. 
  • Candi alias prasada, stana Ida Bhatara Puser Bumi. 
  • Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (Bhuta Raja dan Kala Raja) 
  • Palinggih Dalem Bejurit (Tepas dan Arca), stana Danghyang Dwijendra alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. 
  • Meru Tumpang Kalih, stana Luhur Akasa dan Pratiwi (Rwa Bhineda). 
  • Dua buah tajuk kecil, stana Anglurah (kala dan Drokala). 
  • Dua buah tajuk kecil (di depan candi bentar), stana Anglurah (Kala dan Maha Kala). 
  • Bale gedong/kulkul, stana Bhatara Iswara. 
  • Bale pasiakrana, tempat Dharmatulla. 
  • Bale Parantenan, tempat dapur suci waktu karya. 
  • Wantilan besar, tempat umat berteduh/rapat, dan lain-lain.
Lokasi Pura Luhur Uluwatu ini satu Kawasan dengan Pantai Dreamland yaitu di Pecatu, Kec. Kuta Selatan, kab. Badung. Untuk dapat memasuki objek pura Harga Tiket Masuk Pura Luhur Uluwatu ini sebesar Rp 30.000 untuk dewasa dan Rp 15.000 untuk anak-anak. Untuk dapat menyaksikan kesenian tari adat kecak ini wisatawan harus mengeluarkan lebih besar, yaitu sebesar Rp 100.000 tapi pastinya harga itu sesuai dengan pertunjukan yang akan sobat nikmati.
Pertunjukan Tari Kecak di Pura Uluwatu

Tradisi Menjaga kebudayaan yang Adiluhung dari Masyarakat Pengempon Pura Uluwatu

Piodalan Pura Uluwatu jatuh setiap enam bulan sekali, tepatnya di Anggara Kasih Medangsia. Penduduk desa Pecatu (Pengempon) melakukan kegiatan mekiis atau melasti dimulai dari Pura Pererepan hingga sampai ke tujuan yaitu Pura Uluwatu. Pretima melambangkan Betara Sakti Wawu Rauh yang diiringi gamelan dan beberapa ritual keagamaan (dewa yadnya) yang dipersembahkan untuk memuja kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud Betara. 

Masyarakat juga melakukan kegiatan mekii dari Pura Pererepan hingga Pura Uluwatu. Pretima akan ditempatkan kembali atau dibawa kembali ke pura Pererepan pada malam hari setelah rangkaian ritual upacara yadnya selesai di pura Uluwatu. 

Masyarakat bisa beribadah atau berdoa selama kurang lebih 4 hari. Tradisi mekii juga akan dilengkapi dengan acara mekii yang menampilkan pertunjukan Barong yang dibawakan oleh warga desa adat Jimbaran. Masyarakat desa adat Jimbaran harus menampilkan tarian Barong untuk menetralkan hal-hal negatif. Tradisi mementaskan Barong dengan iringan gamelan dan acara mekiis pertunjukan pemedek akan melengkapi betapa sakralnya masyarakat memuja Ida Betara Wawu Rauh. 

Tradisi yang tak kalah pentingnya adalah upacara Nyineb, yaitu upacara penutupan kegiatan Yadnya yang ditandai dengan upacara medateng-datengan. Upacara medatengdatengan adalah upacara untuk menghadirkan wujud para dewa yang bersemayam di wilayah desa adat Pecatu.



0 Response to "Sejarah Pura Uluwatu: Perjalanan Danghyang Nirarta"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed