-->

Sejarah Masyarakat Tengger: Upacara Adat di Gunung Bromo

Masyarakat Tengger di sekitar Gunung Bromo diyakini sebagai Pengungsi dari Majapahit.
Mengenal Masyarakat Tengger di Gunung Bromo

Berbicara tentang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sobat mungkin akan berfikir tentang Gunung Semeru sebagai salah satu seven summit Indonesia, Wisata Gunung Bromo yang terkenal dengan adat Tengger atau masyarakat Tengger itu sendiri.

Informasi tambahan, selain sejarah Masyarakat tengger di Gunung Bromo, salah satu hal fenomenal lain berbau sejarah dan kebudayaan yang terkenal lainnya adalah Mitos Gunung Semeru Dalam Kitab Kuno Tantu Pagelaran.

"Jadi, Menurut kalian siapa dan bagaimanakah latar belakang masyarakat tengger itu?"

Sejak zaman Majapahit, Dataran Tenggeri dikenal sebagai kawasan keramat damai, tenang, dan bahkan penduduknya bebas dari apa yang disebut pajak Brickman General Thomas Stamford Raffles sangat mengagumi orang Tengger.

Ia menjelaskan sejarah Jawa saat berkunjung ke tempat itu Dalam iklim yang sejuk ia melihat orang Tengger dalam keadaan damai, tertib, sistematis, jujur, pekerja keras dan selalu ceria. Mereka tidak tahu judi dan Candu.

Ketika Raffles ditanya tentang zina, zina, pencurian, dll jenis kejahatan lain yang sering disebut sebagai manusia gunung menjawab bahwa hal-hal tersebut tidak dapat ditemukan di Tengger. Kejujuran dan ketulusan orang Tengger masih bisa dilihat hingga saat ini.

Tingkat kriminalitas di desa-desa Tengger hampir selalu nol. atmosfer Kedamaian, keamanan, keselamatan, dan toleransi yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tenggeri dapat dijadikan acuan dalam masa berdirinya Indonesia modern. Tengger merupakan cagar budaya (cultural landscape) yang jika dijaga dan dirawat memang, keberadaannya memberikan kontribusi yang lebih berarti tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk Indonesia.

Siapa itu Orang Tengger?

Identitas orang Tengger terkesan problematis dan membuat banyak orang kecele. Mereka bukanlah suku primitif, suku terasing, atau suku lain yang menyimpang kelompok etnis Jawa. Jumlah mereka tidak besar, sekitar 100.000 Jumlah penduduk Jawa kurang lebih 100.000.000.

Mengenai jumlah penduduk sebuah kota kecil di tengah masyarakat berkembang, Tengger kurangnya referensi untuk menemukan kembali identitas dan sejarah mereka. Sebelum lahirnya gerakan reformasi Hindu di tahun 1980-an, upaya-upaya populer Tengger mendefinisikan kembali warisan leluhurnya dalam kaitannya Masyarakat Jawa hanya mengandalkan sumber budaya lokal. Hingga saat ini, apa yang disebut "Tenggerdorf" sangat bermasalah karena Beberapa desa yang dulu dikenal sebagai "Tenggerdörfer" sudah tidak ada lagi dioperasikan oleh Bea Cukai Tengger.

Konsep yang baru dikembangkan terutama yang muncul di surat kabar, brosur dan penelitian Tengger yang termasuk dalam "Tenggerdorf" adalah desa dalam 4 kecamatan yang mayoritas penduduknya beragama Hindu Ikuti jalur Tengger. Desa-desa yang dimaksud adalah Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari dan Wonokerso (Kabupaten Sumber, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono, Podokoyo (Kecamatan Tosar, Kotapraja Pasurua), Keduwung (Kecamatan Puspo, Kotapraja). Pasuruan), Ngadas (Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang) dan Argosari dan Ranu Pani (Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang).

Masyarakat Tengger dikenal sebagai petani tradisional setempat yang kuat hidup berkelompok di perbukitan dekat lahan pertanian, Suhu udara yang dingin membuat mereka betah berada di ladang sejak pagi sampai sore hari. Persentase penduduk yang mata pencahariannya bercocok tanam sangat besar yaitu 95%, sedangkan sebagian kecil (5%) masih hidup Pejabat, pedagang, pekerja dan perusahaan jasa. sektor jasa Anda Selain itu, kuda disewakan kepada wisatawan, begitu juga di serta di luar negeri sebagai sopir jip, menyewakan kamar untuk turis.

Produk pertanian utama adalah sayuran seperti kol, kentang, wortel, bawang putih dan daun bawang. Jagung awalnya merupakan makanan pokok masyarakat Tengger. Saat ini Mereka tidak mau menanam jagung karena nilai ekonominya kecil dan digantikan oleh sayuran yang bernilai ekonomi tinggi.

Meskipun, Sebagian ladang mereka masih ditanami jagung, karena tidak semuanya Tengger mengganti makanan pokoknya dengan nasi. Hanya untuk panen Warga Tengger harus menunggu lama untuk mendapatkan jagung, hampir setahun. Sampai kini nasi aron tengger (nasi jagung) masih tercatat sebagai hidangan tradisional dalam khazanah kuliner nusantara.

Apakah Orang Tengger Keturunan Pengungsi dari Majapahit?

Meski tidak banyak, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Ada data arkeologi dan sejarah yang bisa mengungkap siapa dan seperti kehidupan Masyarakat Tengger. Prasasti batu pertama ditemukan tahun 851 Saka (929 M) menyebutkan nama desa tersebut Walandhit yang terletak di Pegunungan Tengger adalah sebuah tempat tempat suci yang dihuni oleh hulus hyang, orang yang menghabiskan hidup mereka sebagai pelayan para dewa.

Prasasti lain ditemukan pada abad yang sama menunjukkan bahwa orang melakukan ibadah mereka di daerah ini berhadapan dengan Gunung Bromo dan memuja dewa bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dikenal sebagai Dewa Brahma dalam agama Hindu.

Pada tahun 1880 seorang wanita Tengger menemukan prasasti tersebut terbuat dari kuningan di daerah pendakian yang meliputi Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berangka tahun 1327 Saka atau tahun 1407 Masehi (1405 M?).

Prasasti ini menyebutkan bahwa orang Hulun tinggal di sebuah desa bernama Walandhit Hyang, atau hamba para dewa, dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila, atau suci. Penduduk desa Walandhi dibebaskan dari kewajiban membayar tiilema, yaitu. pajak tindakan negara, karena mereka terhubung ke layanan Gunung Bromo, gunung suci. Tulisannya sangat bagus oleh Bathara Hyang Wekas di Sukha (Hayam Wuruk) di bulan Asada.

Nama Walandhit juga disebut-sebut oleh pujangga terkenal Prapanca Dari Kerajaan Majapahit di Nagarakertagama Kakawi. Wallandhit adalah sebuah nama Tempat suci yang sangat dihormati oleh Kerajaan Majapahit. Di tempat ini hidup dalam kelompok masyarakat Budha dan Saiwa. Walandhit mungkin salah satu mandala yang dipimpin oleh Dewa Guru saat itu. Dewa guru adalah siddhapandita (pendeta sempurna) yang memimpin mandala.

Padahal, mandala adalah tempat tinggal seorang pendeta di hutan atau tempat yang jauh dari keramaian, biasa disebut Wanasrama. Resi atau pertapa penyendiri mungkin juga pernah tinggal di tempat-tempat seperti itu. Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru dihuni karena Kerajaan Majapahit masih berjaya. Itu sebabnya ada percaya bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit harus diperiksa.

Pertama-tama, ada dua kemungkinan yang dipertimbangkan meskipun Walandi bukan keturunan Majapahit, kegiatan keagamaan mereka tidak jauh berbeda atau mungkin sama dengan warga Kerajaan Majapahit secara umum yaitu praktek kegiatan keagamaan yang bersifat Hindu-Buddha.

Kemungkinan lain adalah bahwa Valandhitians rela menerima para Pengungsi dari Majapahit, tertindas oleh ekspansi kerajaan Muslim Demak, terutama setelah sukses masuk Islamnya Karsyan Prawira dan sekitarnya tentara Demak pada abad ke-16 Masehi.

Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut oleh tentara Demak.

Hubungan masyarakat Walandhit dengan agama Hindu tidak hanya terlihat dari prasasti-prasasti kuno yang ditemukan, tetapi juga dari naskah-naskah kuno yang ditulis pada zaman Majapahit. Misalnya, dalam teks Tantri Kamandaka, Lautan Pasir atau Lautan Pasir digambarkan sebagai jalan pikiran manusia yang harus disucikan sebelum naik ke surga. Proses penyucian roh juga digambarkan dalam mantera upacara Entas Entas, upacara adat Tengger.

Dalam upacara adat ini, api penyucian digunakan oleh Dewa Siwa dan Dewi Uma untuk menyucikan roh manusia agar roh tersebut dapat naik ke surga. Sebelum berangkat, arwah ditempatkan di kuali merah marun yang merupakan lambang kawah Gunung Bromo.

Perhatian dan ketertarikan terhadap kekhasan pemujaan kaum Walandhit yang kemudian disebut Tengger tidak hanya ada pada masa Majapahit saja, tetapi juga pada masa penjajahan bahkan hingga era internet saat ini. Tidak ada penjelasan yang jelas kapan masyarakat yang tinggal di kawasan BromoTegger-Semeru disebut Masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger sendiri kini begitu yakin bahwa nama Tengger berasal dari gabungan dua "suku (Masyarakat)" kata terakhir nama leluhurnya, yakni Rara Anteng (TENG) dan Jaka Seger (GER). Rara Anteng kemungkinan adalah putri Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit dan Jaka Seger, putra seorang brahmana yang bertapa di Dataran Tinggi Tenggeri.

Selain itu, orang Tengger juga menunjukkan bahwa kata Tengger mengacu pada makna Tengering Budi Luhur (Tanda Budi Luhur). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa daya tarik Tengger tidak hanya terletak pada pemandangan alamnya yang indah, tetapi juga pada kekhasan status agama dan adat istiadatnya.

Hal ini dicatat tidak hanya oleh pemerhati asing tetapi juga oleh pemerhati lokal yang memeluk Islam sejak zaman Majapahit hingga zaman Keraton Surakarta. Hingga saat ini, keunikan tersebut berhasil menyita perhatian masyarakat di luar Tengger, terbukti dengan banyaknya wisatawan yang mengikuti perayaan tahunan Kasada.

Kedudukan religius Tengger yang unik ini dirinci dalam Serat Centhin, jurnal yang dibuat oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, yang kemudian naik tahta dan mendapat gelar Sinuhu Paku Buwana V di Surakarta. Serat Centhin mengisahkan pertemuan Raden Jayengsar Muslim dengan Resi Satmaka Buddha.

Pertemuan berlangsung di Desa Ngadisari, desa tertinggi di kawasan Tenggeri yang juga paling dekat dengan Gunung Bromo. Dalam pertemuan tersebut, Resi menceritakan kepada Satmaka tentang adat istiadat dan praktik keagamaan masyarakat Tengger dan agama para dewa seperti Sambo, Brahma, Wisnu, Indra, Bayu dan Kala. Di sisi lain, Raden Jayengsari juga menceritakan tentang agama yang dibawa oleh para Nabi: Nabi Adam, Kak, Nuh, Ibrahim, Dawud, Musa, Isa dan Nabi Muhammad s.a.w.

Pada masa kolonial, identitas Tengger mengalami pasang surut yang mendalam perjalanan dan pembangunan. Pejabat sebelum paruh kedua abad ke-19 Turis Belanda dan Eropa menulis laporan bahwa Tenggeresen baik-baik saja akrab dengan dewa-dewa Hindu yang menjadi fokus pemujaan mereka. namun setelah itu dewa-dewa tersebut tidak lagi populer di masyarakat, karena pada akhir abad ke-19 Pemukiman Muslim terletak di kaki Pegunungan Tengger.

Situasi akan segera dimulai berubah setelah hakim menekan orang Tengger untuk pindah agama. Perkembangan ini menyebabkan krisis identitas pada manusia Tengger dan menurunnya kepercayaan terhadap tradisi lokal mereka.

Tradisi Tengger semakin diabaikan saat Jepang menjajah Indonesia saat itu hanya beberapa Tengger yang memiliki cukup uang untuk membayar upacara tersebut. awal pada saat itu banyak teks doa Tengger yang disembunyikan dan beberapa ditemukan Bertahun-tahun kemudian dalam keadaan membusuk akibat kelembaban dan cuaca.



Macam-Macam Upacara Adat Masyarakat Tengger

Upacara adat Masyarakat Tengger memang menjadi moment penting yang bahkan dihormati oleh pihak Taman Nasional. Hal ini bisa kita lihat dari ditutupnya TNBTS khususnys Bromo pada saat perayaan upcaraadat tertentu.

Berikut adalah beberapa upacara adat yang diselenggarakan masyarakat Tengger:

Upacara Kasada

Perayaan Kasada atau atau Kasodoan, yang sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah perayaanl kurban Tenggeri yang dirayakan pada tanggal 14, 15 atau 16 bulan Kasada, saat bulan purnama menampakkan wajahnya yang membiru. biru Pesta kurban itu merupakan pesan leluhur Tengger, Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Antengi dan Jaka Seger, yang mengorbankan dirinya secara sukarela demi kesejahteraan ayahnya. ibu dan saudara kandung. Kasodoan adalah media antara Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh penjaga Tengger. Komunikasi dilakukan melalui Dukun Tengger yang merupakan pewaris aktif tradisi Tengger.

Keberangkatan dukun Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa, melainkan untuk meminta restu kepada para wali gunung Bromo. Permintaan itu ditujukan kepada Dewa Kusuma yang dikorbankan (disucikan) di kawah Bromo. Dukun Tengger tidak hanya meminta sesuatu, tetapi juga memberikan sesuatu, yakni memenuhi permintaan Raden Kusuma tersebut di atas, yang berbunyi sebagai berikut:

“Dulurku sing isih urip ana ngalam donya, ngalam padang, mbesuk aku saben wulan Kasada kirimana barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa sandhang pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan ana ngalam donya, weruh rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane rika, ya keturutan panjaluke rika ya mesti kinabulna.” (“Saudara-saudaraku yang masih hidup di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan Kasada, kirimkan kepadaku hasil pertanianmu, dan makanan yang kalian makan di dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti kukabulkan”).


Upacara Karo

Perayaan Karo atau Upacara adat Karo Tengger yang jatuh pada bulan ke-2 penanggalan Tengger (Bulan Karo) ini sangat mirip dengan Lebaran atau Perayaan Fitri yang dirayakan oleh umat Islam. Pada hari baik ini, masyarakat Tengger saling mengunjungi, kerabat dan tetangga untuk mengucapkan selamat Karo dan meminta maaf. Perayaan ini berlangsung satu hingga dua minggu. Saat itu puluhan ternak yang sebagian besar ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih untuk diambil dagingnya.

Bagi keluarga miskin, pembelian hewan untuk disembelih dilakukan secara bersama-sama. Bagi masyarakat Tengger, hari raya intan merupakan hari yang ditunggu-tunggu. Perayaan yang berlangsung hampir dua minggu ini penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan, seolah masyarakat Tengger ingin menebus penat dan kebosanan sehari-hari bekerja di ladang selama setahun. Seluruh lapisan masyarakat Tengger, tua-muda, tinggi-pendek, Hindu, Kristen, Budha, dan Islam, ikut memeriahkan perayaan Karo.

Hari raya Karo semakin semarak ketika hasil panen orang Tengger bagus. Mengapa Masyarakat Tengger mengadakan upacara atau pesta karo? Beberapa pewaris aktif tradisi Tengger dengan tegas mengatakan bahwa hari raya Karo dan selamatan merupakan hasil kesepakatan antara Kanjeng Nabi dan Ajisaka untuk merayakan wafatnya Setya atau Alif dan Satuhu atau Hana, pemuja setia kedua tokoh tersebut. . Menurut mereka, arti Karo nylameti Wong Loro adalah “penyelamatan dua orang”, Hana dan Alif atau Setya dan Satuhu. Ada yang mengatakan bahwa kisah akad antara Kanjeng Nabi dan Ajisaka hanyalah cerita rekaan (lihat Sutarto, 1997: 211-212).

Upacara Unan-Unan

Upacara ini berlangsung setiap delapan tahun sekali. Sewindu menurut penanggalan Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Tujuan dari ritual ini adalah untuk membersihkan desa dari gangguan setan dan menyucikan jiwa-jiwa yang tidak sempurna agar mereka dapat kembali ke alam sempurna semula, yaitu Nirvana. Kata unan-unan berasal dari kata 'kehilangan' tuna, yang berarti bahwa ritual ini dapat menebus kekurangan yang dilakukan dalam hembusan angin. Dalam upacara ini, Masyarakat Tengger menyembelih seekor kerbau untuk dikorbankan.

Upacara Entas-Entas

Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal dunia pada hari ke-1000 agar supaya dapat masuk surga. Biaya upacara ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan.

Upacara Pujan Mubeng

Upacara ini berlangsung di bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, adalah hari kesembilan setelah bulan Purnama warga Tengger, tua dan muda, berjalan-jalan keliling desa bersama dukun mereka memukul ketipung. Mereka berjalan dari tepi timur desa di seluruh desa. Upacara ini untuk penyucian desa terhadap masalah dan bencana. Tur berakhir dengan makan bersama di rumah dukun. Makanan yang disajikan berasal dari sumbangan warga desa.

Upacara Kelahiran

Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkait. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. Maksud upacara adalah agar bayi lahir dengan selamat dan lancar. Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan.

Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung, kemudian ditaruh di sanggar. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Upacara ini dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras).

Maksud dari upacara ini juga untuk memohon keselamtan. Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Maksud dari upacara ini adalah agar kelak sang anak pandai berbicara. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat. Bayi tersebut harus “dilindungi”, yaitu diberi mantra pada waktu ia sudah mampu membalik dirinya (tengkurap).

Upacara Tugel Kuncung atau tugel gombak

Upacara Tugel Kuncung atau tugel gombak diselenggarakan oleh orang Tengger ketika anak mereka berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak yang bersangkutan dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Hyang Widhi Wasa.

Upacara Perkawinan

Upacara perkawinan Masyarakat Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun, yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua mempelai. Selain menggunakan kalkulus saptawara dan pancawara, dukun juga menggunakan perhitungan beras berdasarkan sandang (makanan), pangan (pangan), lara (sakit) dan pati (kematian).

Hari pernikahan harus menghindari lara dan pati. Jika Anda jatuh cinta dengan lara dan pati, Anda harus melakukan ritual ngepras, yaitu menyiapkan hidangan yang telah disihir dukun dan kemudian dikorbankan. Agar aman, mereka yang tanggal pernikahannya jatuh pada hari lara dan pati harus melakukan ritual ngepras tahunan.

Puncak upacara perkawinan adalah upacara walagara, yaitu akad nikah yang dilakukan oleh seorang dukun. Pada saat upacara walagara, dukun membawakan segelas air dan menuangkannya ke dalam prasen, mengaduknya dengan pengaduk yang terbuat dari daun kelapa atau pisang, dan membuat jimat. Selanjutnya, pengantin wanita mencelupkan jari telunjuknya ke dalam air dan mengoleskannya ke dapur, pintu, dan tangan tamu dengan harapan tamu memberkati.

Upacara Kematian

Pemakaman berlangsung atas kerja sama kedua belah pihak. Tetangga mendukung peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk upacara pemakaman. Membantu Spontanitas itu berupa kerja, uang, beras, kain kafan, gula dan lain-lain. disebut ayunan.

Usai mandi, jenazah dibaringkan di lorong lalu dukun memercikkan air suci dari prasen pada mayat sambil berdoa kematian. Sebelum menggali kuburan, dukun menuangkan air ke dalam kuburan atap telah terpesona. Ini adalah tanah yang diairi dengan air yang digali kuburan. Jenazah  Masyarakat Tengger terbaring menghadap ke selatan ke Gunung Bromo.

Di malam hari, keluarga tertinggal Selamat. Almarhum digantikan oleh apa yang disebut boneka bespa, terbuat dari bunga dan daun. Bespa terletak di atas ruang umum berbagai jenis masakan.

Upacara Barikan

Upacara Barikan dilakukan setelah gempa bumi, bencana alam, gerhana, atau kejadian lain yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Tengger. Apakah peristiwa alam ini membawa pertanda buruk lima atau tujuh hari kemudian Usai acara tersebut, masyarakat Tengger mengadakan upacara barikan untuk menerima keamanan dan dapat menyangkal bahaya (jarang penyangkalan) yang akan datang. Di sisi lain, ketika peristiwa alam yang dapat diprediksi memiliki konsekuensi yang baik, Upacara barikan juga diadakan sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Maha Agung Pada saat upacara pembobolan pagar, seluruh masyarakat berkumpul di bawah pimpinan kepala desa dan pengacara mereka. Biaya upacara anggar ditanggung oleh seluruh desa.

Upacara Liliwet

Upacara Liliwet adalah upacara untuk kesejahtaraan keluarga. Upacara ini diadakan di setiap rumah penduduk. Dalam upacara ini dukun memberi mantra seluruh bagian rumah termasuk pekarangan agar terhindar dari malapetaka. Tempattempat yang diberi mantra adalah dapur, pintu, tamping, sigiran dan empat penjuru pekarangan. Sebelum upacara liliwet diadakan biasanya orang Tengger tidak memulai menggarap ladangnya.


Selain kesebelas upacara yang telah dijelaskan, sebenarnya masih banyak lagi upacara adat lainnya yang diselenggarakan masyarakat Tengger.

Masyarakat Tengger masih banyak bercocok tanam dan belum terkontaminasi oleh komunitas virtual seperti yang terjadi di beberapa Ngare. Komunitas virtual adalah komunitas di mana semua yang berlawanan seperti konstruktif-destruktif, tidak bermoral, berbudi luhur, bermoral-tidak bermoral, asli-palsu dapat eksis secara bersamaan. Fakta ini dapat dijadikan sebagai tanda bahwa masyarakat Tengger tetap teguh pada tradisi yang diwariskan oleh para pendahulu mereka. 

Selanjutnya pelajaran yang dapat diambil dari kasus Tengger adalah bahwa sikap budaya masyarakat Tengger tidak terlalu bergantung pada kekuatan-kekuatan di luar komunitasnya, baik itu aspek ekonomi, politik maupun budaya, merupakan sikap budaya yang relevan di dalam masyarakat. periode pembentukan Indonesia modern. 

Oleh karena itu, peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri tidak perlu dilakukan karena ketidaksiapan mental hanya akan mendorong ketergantungan dan mematikan kemandirian. Tradisi kerukunan, pemahaman akan perbedaan dan kemajemukan, kemandirian dari kekuatan luar, kecintaan terhadap warisan leluhur dan kecintaan terhadap tanah pertanian pemberi kehidupan adalah permata berharga peradaban yang perlu dijaga.


0 Response to "Sejarah Masyarakat Tengger: Upacara Adat di Gunung Bromo"

Post a Comment

jangan diisi

iklan dalam artikel

iklan display

Iklan dalam feed